√Monitoring Kesepuluh Anak Auotimun HSP (Hencoch Schoinlein Purpura) Bagian 2
Header catatantirta.com

Monitoring Kesepuluh Anak Auotimun HSP (Hencoch Schoinlein Purpura) Bagian 2

Monitoring Kesepuluh Anak Auotimun HSP (Hencoch Schoinlein Purpura) Bagian 2

Catatan sebelumnya :  Monitoring Kesepuluh Anak Auotimun HSP 

Alhamdulillah, pukul setengah dua siang giliran adik dipanggil suster untuk bertemu dokter. Nomor urut enam memang membutuhkan waktu menunggu yang cukup lama. Dokter spesialis konsultan alergi dan imunologi anak yang kami datangi tiap bulan memang selalu melayani dengan baik. Beliau ramah dan sabar mendengarkan keluhan dan cerita para pasiennya. Setiap kali kami berkonsultasi dan meminta saran juga masukan, beliau menjelaskan serta menerangkan semua dengan jelas.

Suasana Rumah Sakit

Rumah sakit hari itu penuh sesak oleh pasien dan keluarganya yang mendampingi. Jika diamati dengan seksama, pasien yang datang didominasi oleh para lanjut usia. Mereka didampingi oleh lebih dari satu orang. Awalnya saya berpikir kenapa harus ramai menemani ke rumah sakit yang menjadi sarangnya penyakit. Setelah saya amati ternyata mendampingi orangtua lebih sulit daripada menemani anak-anak. Orangtua harus dijaga lebih dekat dan tidak bisa ditinggal. Inilah yang menyebabkan pendampingan harus dilakukan oleh dua atau tiga orang. Terlebih lagi bagi lanjut usia yang sudah kesulitan berjalan, tentu saja harus ekstra pendampingan.

Konsultasi dengan dokter Isman berjalan menyenangkan, seperti biasanya. Kondisi adik yang seringkali tiba-tiba demam tanpa muncul penyakit lain sudah menjadi hal yang wajar. Dengan catatan tetap diawasi ambang panas tubuhnya dan pengecekan badannya secara rutin. Dikhawatirkan muncul ruam/purpura di bagian kaki atau lambungnya kembali diserang.

Saat pemeriksaan fisik, tiba-tiba adik batuk-batuk. Dokter memeriksa bagian dada dengan kondisi adik masih batuk-batuk. Padahal sebelumnya adik hanya sesekali batuk, bukan dalam kondisi sakit batuk yang sebenarnya. Lalu dokter juga memeriksa hidung adik. Benjolan di dalam lubang hidung yang harus diperhatikan lagi agar lekas kempis. Benjolan di dalam lubang hidung ini merupakan efek dari alergi atau peningkatan imunitas adik. Jadi, cukup dengan menyemprotkan air garam yang dianjurkan dokter maka benjolan tersebut bisa mengecil perlahan.

Selesai pemeriksaan fisik, saya berbincang seputar keseharian adik dan demam yang pernah dialami. Dokter menganjurkan obat penurun panas bisa diberikan ketika suhu tubuhnya sudah mencapai 37.8cD. Ini adalah batas tubuh melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Jadi, ketika suhunya masih di bawah 37.8 dc maka belum perlu dibantu paracetamol.

Cek Urine Dadakan

Konsultasi selesai, saya menanyakan pada dokter tentang cek urine. Kebetulan sudah tiga bulan adik belum cek urine untuk mengetahui kondisi ginjalnya pasca rutin mengonsumsi obat. Dokter pun menganjurkan untuk segera cek urine. Beliau membuat surat pengantar untuk cek urine di laboratoriun rumah sakit. Saya sempat bertanya bagaimana pembacaan hasil urine nya, mengingat cek laboratorium membutuhkan waktu yang cukup lama. Sekitar 1-2 jam pemeriksaan. 

Saya menanyakan pembacaan hasil urine bukan tanpa alasan. Jadwal praktek dokter Isman cukup padat. Ketika hasil lab urine selesai, kemungkinan besar dokter sudah selesai praktek di rumah sakit Hermina Bekasi dan pindah ke tempat lain. Lalu siapa yang akan membacakan hasil lab nya?

Dokter menjelaskan bahwa hasil lab akan diserahkan ke suster yang bertugas dan kemudian diteruskan ke beliau untuk dibacakan. Hasilnya akan langsung disampaikan melalui pesan whatsapp suster yang bertugas. Jujur, saat itu saya khawatir dan pesimis sebab pernah terjadi di pertemuan sebelumnya dimana dokter sangat sulit dihubungi.

Monitoring Kesepuluh Anak Auotimun HSP (Hencoch Schoinlein Purpura) Bagian 2


Untuk lebih yakin, saya mencoba memastikan hal tersebut pada suster yang mendampingi dokter praktek. Suster juga mengatakan hal yang sama. Cukup menyampaikan hasil tes urine pada suster yang berjaga lalu akan diteruskan ke dokter untuk dibacakan hasilnya. Ya sudahlah, saya pun melangkah ke lantai satu untuk cek urine.

Sampai di lantai satu saya langsung menyerahkan pengantar obat ke bagian farmasi kemudian menuju laboratorium. Dokter memberi resep obat batuk dan obat lambung untuk mengantisipasi jika sakit lambung adik kambuh. Sebenarnya saya sudah malas menunggu obat dari farmasi. Tingkat pelayanan farmasi kurang gesit dan tidak ramah. Namun, karena ada obat lambung saya harus bersabar menyerahkan resep ke farmasi.

Sambil menunggu obat di bagian farmasi, saya langsung ke laboratorium yang kebetulan berada tepat di sebelah ruang farmasi.

Mengikuti prosedur pengambilan sample air seni untuk laboratorium, saya membawa adik untuk buang air kecil. Di sini tantangan dimulai. Saat itu adik baru buang air kecil sekitar 30 menit yang lalu. Sulit memintanya untuk buang air kecil lagi sehingga saya memutuskan untuk memintanya minum air putih yang cukup banyak. Mengajak adik berbincang sambil memberi pengertian bahwa ia harus buang air kecil lagi agar bisa diperiksa.

Ujian Kesabaran

Kesabaran ini diuji. Hanya ada satu bilik toilet rumah sakit di lantai satu. Adik cukup lama berdiam di atas closed duduk hingga akhirnya bisa buang ari kecil. Saya menebalkan muka  membuka pintu toilet sebab  antrian di luar sudah cukup banyak. Segera saya berjalan tak hiraukan beberapa pasang mata menusuk dada. Langkah lebar saya ambil demi cepat sampai ke ruang laboratorium yang jaraknya sekitar 15 meter.

Ujian kesabaran berlanjut ketika menunggu hasil pemeriksaan laboratorium dan obat selesai. Perlahan adik gelisah. Ia mulai bosan dengan suasana rumah sakit. Gadget yang saya tawarkan tidak mampu meredam kebosanannya. 

Jam dinding di atas ruang farmasi menunjukkan pukul setengah tiga sore. Alhamdulillah obat farmasi sudah tersedia dalam bentuk sirup, bukan racikan. Kalau racikan, entah sampai kapan bisa selesai. Obat selesai, tetapi tidak dengan hasil tes urine. Sambil menunggu hasil cek urine, saya pun pergi ke lantai tiga tempat suster berjaga. Niatnya supaya lebih cepat ketika hasil lab keluar bisa langsung mendekat ke meja suster. 

"Inisiatif tak berjalan lancar"

Sampai di lantai 3, adik kembali rewel. Ia menangis sebab tepian jarinya sobek dan berdarah. Cukup lama saya menggendong adik agar ia berhenti menangis. Suami sempat menanyakan kondisi saya dan adik di rumah sakit. Luapan emosi pun mereda setelah menumpahkan keluh kesah ke suami meski hanya melalui pesan whatsapp.

Hingga azan Asar berkumandang, hasil urine belum juga keluar. Saya pun mengajak adik ke musala. Ketika ditinggal salat Asar, ternyata adik tertidur pulas di sudut musala. Saya pun menggendongnya keluar musala agar yang lainnya bisa bergantian salat. Saya mulai curiga kenapa hasil lab lama sekali. Biasanya hanya butuh waktu sekitar 1 jam lebih untuk hasil pemeriksaan urine. Saya pun kembali turun ke lantai satu menuju laboratorium sambil menggendong adik yang tidur.

Pukul 15.40 wib saya berjalan menghampiri ruang laboratorium untuk menanyakan kembali hasil tes urine adik. Ternyata, petugas belum menginput hasilnya. Nada keras saya pun muncul. Dibawah tekanan lelah dan menggendong adik, energi negatif pun naik ke permukaan. Saya berkata dengan nada kesal pada petugas laboratorium untuk segera menyelesaikan laporannya.

"Ini sudah dua jam lebih, kenapa masih belum selesai?" Naik dua oktaf nada suara diantara lelah.

Masih dengan rasa kesal, saya pergi menjauh dari ruang laboratorium. Menepi sejenak untuk melepas amarah yang sempat meluap. Berjalan bolak-balik sambil melihat suasana rumah sakit membuat kesadaran saya kembali pulih. Ada banyak pasien dan keluarganya dengan kondisi yang lebih susah daripada saya. Sungguh jika kalian pergi ke rumah sakit, maka rasa syukur atas nikmat Allah SWT yang diberikan akan bertambah. 

"Masih banyak orang yang kurang beruntung dan lebih susah dari dirimu". Begitu kira-kira langit-langit berbisik tepat di hati.

Tak lama berselang, gawai berdenting. Pesan berisi hasil urine adik masuk bersamaan dengan rasa syukur yang memenuhi relung hati.

Monitoring Kesepuluh Anak Auotimun HSP (Hencoch Schoinlein Purpura) Bagian 2


Kali ini saya langsung naik ke lantai 3 agar hasil lab yang baru saja keluar bisa langsung diserahkan ke suster jaga. Terpaksa saya menyela diantara keramaian. Menyapa salah satu suster dan menjelaskan bahwa saya ingin menyerahkan hasil laboratorium urine untuk dibaca oleh dokter. Suster pun menanggapi dengan baik dan meminta saya untuk menunggu. Ya, lagi-lagi menunggu menjadi ujian kesabaran hari itu. 

Adik terbangun. Kebosanan kembali menghampirinya. Sepertinya adik juga lelah karena bolak-balik ke lantai tiga. Hingga kemudian adik menangis sebab bagian tepi jarinya luka dan perih. Cukup lama saya menggendong adik yang menangis. Cemilan yang kami bawa pun tak mampu mengalihkan kejenuhan adik.

Kembalinya Tangki Syukur

Pukul 16.30 wib saya kembali mendekati suster untuk menanyakan respon dokter. Beruntung sister sigap dan menekan nomor hp dokter untuk kesekian kalinya. Saya menunggu dengan cemas. Rasa khawatir sebab hari semakin sore yang mana kereta listrik yang kami tumpangi nanti pasti penuh sesak.

Diantara kecemasan, suami mengabarkan bahwa ia sudah menunggu di stasiun Bekasi. Terima kasih ya paksu sudah menunggu kami.

Mata saya tak berhenti menatap dengan penuh pengharapan. Sepertinya suster merasa iba melihat saya yang lelah sambil menggendong adik. Suster pun berkata agar saya duduk dan akan memanggil ketika sudah ada kabar dari dokter. Tidak ada kursi kosong saat itu sebab memang sedang ramai sekali. Langkah kaki ini pun gontai menjauh dari meja suster. Kembali menenangkan diri sambil menepi beberapa meter agar suster tidak merasa terintimidasi.

Sepuluh menit berselang, suster memanggil. Masya Allah, Alhamdulillah hasil cek urine adik baik dan semua normal. Adik bisa melanjutkan obat seperti biasa dan kembali kontrol bulan depan.

Energi positif kembali memenuhi sel-sel tubuh. Segera memesan ojek online menuju stasiun tempat suami menunggu dengan sabar. Jalanan sore selalu macet. Carut marut kendaraan ingin segera sampai ke tujuan masing-masing. Ditambah lagi angkot-angkot berhenti sesuka hati menambah kemacetan. Suara klakson berlomba meraung menambah kebisingan. Ini pemandangan yang sudah biasa bagi para pejuang rupiah.

Sampai di stasiun, rasa lelah itu hilang sempurna bersama suara riang adik yang memanggil "ayah".

Ayo kembali ke rumah dan penuhi tangki syukur dan bahagia tanpa lelah.

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta