√Percikan Rasa Di Atas Vespa
Header catatantirta.com

Percikan Rasa Di Atas Vespa

Matahari mulai meninggi. Pucuk-pucuk embun sudah menguap bersama panasnya bumi. Ku lirik lagi jam tangan dengan gugup, pukul 06.40 wib tertulis jelas. 

"Duh, aku bisa terlambat jika belum juga mendapat angkot ke sekolah."

Sebenarnya aku tak sendiri dalam kecemasan ini. Masih banyak pelajar lain yang gelisah menunggu bis ataupun angkot yang mau mengangkut kami menuju sekolah. Tapi aku lebih cemas dan khawatir karena jam pertama pelajaran sekolah ada ulangan matematika. Bu Arum sudah mengingatkan bahwa tidak ada tambahan waktu bagi siswa yang terlambat.

Tiiit tiiit....

Suara klakson memudarkan kecemasanku.

"Tata, ayo naik!"

Suara yang aku kenal memanggil tepat di depan kaki ini berdiri. Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat naik di boncengan belakang. Menepuk bahunya untuk segera melaju kencang.
Wusshh, kecepatan 60 Km/Jam berputar di speedometer.

Teng.. Teng.. Teng..

Tepat ketika kami memasuki area parkir, tanda masuk sekolah berbunyi nyaring. 

"Sudah, sana duluan. Aku masih harus cari parkir."

Tanpa banyak bicara aku langsung turun dan berlari menuju kelas. Entah sudah berapa kali Bara memberi tumpangan. Setiap kali aku kesiangan dan tidak kunjung mendapat angkot, Bara selalu datang tepat waktu.

Waktu istirahat jam pelajaran aku sempatkan melintas di kelas Bara. Rasanya keterlaluan jika tidak mengucapkan terima kasih meski itu sudah berulang kali terjadi. Belum juga sampai, Bara sudah muncul dari balik pintu kelasnya. 

"Bara" Suaraku tak sengaja melengking diantara riuh siswa yang berhamburan dari ruang kelas. Semua mata menuju padaku. Seketika wajahku memerah, aku salah tingkah.

"Eh, Bara, makasih yang tadi." Ucapku singkat sambil berlalu.

Sayup-sayup terdengar sorak sorai siswa lain. Aku tak berani menoleh. Hanya ingin berjalan cepat meninggalkan suasana canggung tadi. Langkahku terhenti di kantin yang ramai. Mataku mencari Rina dan Suci yang sudah lebih dulu ke kantin. Kami memang sudah janjian ingin makan bakso bersama.

"Tata, di sini." Rina melambaikan tangannya di depan warung mang Soleh.

Tiga mangkuk bakso dan es teh manis sudah terhidang di meja. Aku duduk dan langsung menenggak es teh manis tanpa permisi. Glek, glek, glek. Segar rasanya.

"Eh, Ta pelan-pelan minumnya. Kenapa sih buru-buru kayak dikejar hantu?" Rani mengingatkan.

"Aku haus berat nih. Sorry ya."

"Ta, kamu abis ke kelas Bara ya? Tadi pagi aku lihat kalian boncengan. Cie cie, Tata sama Bara nih." Suci menyikut sambil menggoda.

"Udah, ga usah meledek. Buruan makan baksonya nanti keburu dingin." Timpalku sambil memasukkan bakso bulat seperti bola ping pong.

Dua sahabatku ini jadi manusia paling paling sedunia. Kami sudah berteman sejak di bangku SMP. Kini kami di SMA yang sama. Meski tidak satu kelas, tetapi kami tetap berteman baik.

Hari-hari selanjutnya masih dipenuhi dengan ulangan harian. Maklumlah sudah mendekati penilaian akhir semester sehingga semua pelajaran dikebut untuk dinilai. Hari-hari itu juga aku sering membonceng Bara, Tentu saja bukan sengaja, tapi karena angkot yang ditunggu seringkali sudah penuh. Dari pada kesiangan, lebih baik barenga Bara meski sering dapat ledekan dari teman-teman.

Ah, biarlah. Aku tak pernah ambil pusing. Aku hanya ingin fokus belajar dan sekolah. Kelas 3 ini bukan waktunya main-main. Aku akan fokus dan belajar super rajin agar lulus dengan nilai terbaik dan masuk perguruan tinggi negeri. Aku ingin membuat ayah dan ibu bangga dengan prestasi yang aku dapatkan.

Hari berkumpul menjadi minggu, minggu menyatu berubah bulan, dan bulan bergerak membentuk tahun. Waktu kelulusan pun tiba. Bersyukur sekali semua nilaiku bagus. Aku puas dengan semua hasil dari kerja kerasku selama ini. Semua siswa dan orangtua berkumpul di gedung serba guna sekolah. Upacara Garduation berjalan lancar, khitmad, dan bahagia.

Selesai acara kelulusan, dilanjut acara khusus para siswa. Kami yang telah dinyatakan lulus menggelar pesta kecil setelah orangtua pulang. Saling bertukar hadiah, berfoto bersama, dan mengadakan donasi seragam sekolah.

"Ta, nanti pulangnya bareng ya. Ada yang mau aku kasih." Bara menghampiri ketika aku sedang mengambil makanan ringan di meja besar.

Tanpa menunggu jawaban, Bara berlalu begitu aja membuatku bertanya-tanya. Ah, sudahlah. Nanti juga tahu waktu bertemu. Pikirku menghapus imajinasi yang muncul di kepala.

Matahari mulai condong di sisi barat. Sinar jingga mulai menghiasi langit dengan lembut dan cantik. Satu per satu siswa mulai pulang. Begitu juga dengan Rina dan Suci. Mereka bahkan pamit lebih dulu karena ada acara lain di rumahnya.

"Ta, ayo pulang." Bara menghampiri sambil mengajak ke arah parkiran.

Aku mengikutinya dari belakang. Hanya berjarak 1 meter dari punggungnya yang dihiasi kemeja biru langit. Bara terlihat keren dengan kemeja itu.

Sampai di parkiran, Bara memindahkan vespa biru yang senada dengan kemejanya.

"Loh, kamu pakai vespa?" Tanyaku pada Bara yang sudah siap di atas motor antik itu. Biasanya Bara memakai motor matic warna merah setiap kali ke sekolah.

"Iya. Ayo naik." Sebuah helm merah mudah diserahkannya untuk ku pakai.

"Tumben pakai helm. Memang kita mau kemana?"

"Kita mau mampir ke pantai. Kamu pernah bilang kan ingin melihat sunset di pantai." Mataku langsung berbinar mendengarnya.

Angin bertiup pelan bersama laju vespa yang tak cepat. Sepanjang jalan tidak ada percakapan diantara kami. Aku terpaku melihat bola raksasa berwarna jingga yang siap tenggelam di ujung laut barat. Bahkan ketika kami berjalan di atas pasir sambil menyaksikan senja tenggelam, Bara tak kunjung berkata. Aku tak begitu peduli sebab pesona sunset di ujung sana menguasai semua ruang imajinasiku.

"Gimana, bagus kan sunsetnya? Ayo kita pulang." Bara mengajak pulang setelah matahari tenggelam sempurna.

Lagi-lagi aku mengikuti langkahnya di belakang. Satu meter dari punggungnya yang berlapis kemeja biru langit.

Sampai di sisi vespa, Bara mengeluarkan sebuah kotak merah mudah dengan pita di atasnya.

"Ini buat kamu. Aku harap kamu suka. Aku boleh membukanya jika mau."

Karena penasaran, aku segera membukanya. Sebuah jepit rambut berhias kupu-kupu berkelip. Belum sempat aku menyentuhnya, Bara sudah mengambil dan memasangkanya di rambutku. Aku kaget. Tapi tidak berusaha untuk menolak perlakuannya itu.

"Terlihat cantik di rambutmu yang panjang." Tatapan Bara membuatku salah tingkah.

"Ayo naik. Aku tak mau dimarahi ibumu karena pulang terlambat."

Kali ini ada yang berbeda saat berboncengan dengan Bara. Seperti ada percikan kembang api yang menyentuh seluruh raga. Entah rasa apa itu. Baru kali ini aku merasakannya.

Tak ada percakapan sepanjang kami berada di atas vespa. Hanya deru motor antik itu yang mengiringi bersama lembutnya udara. Otakku berpikir tentang semua yang baru saja terjadi. Apa maksud dari semua ini? Kenapa Bara memberiku pita cantik ini? Memakaikannya di rambutku tanpa ijin. Mengajakku melihat sunset nan menawan. Apa? Kenapa? 

"Ta, sudah sampai." Suara Bara memudarkan lamunanku.

"Eh, iya." Aku turun dengan patah-patah dan salah tingkah.

"Pita itu cocok di rambutmu. Semoga kamu selalu ingat aku dengan pita itu. Juga dengan sunset yang tadi kita lihat bersama. Aku akan kuliah di luar negeri. Jika kita berjodoh pasti akan bertemu lagi. Sampai jumpa, Tata." Tanpa sempat megucapkan terima kasih, Bara sudah melaju pergi.



Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta