√Pertemuan Kesembilan Adik Kontrol HSP (Henoch Schonlein Purpura) Bagian dua
Header catatantirta.com

Pertemuan Kesembilan Adik Kontrol HSP (Henoch Schonlein Purpura) Bagian dua

Bismillah,
Selasa pagi cukup cerah dan berangin. Awan berarak seolah tengah bermain di hari yang ceria. Pukul 11.00 wib kami sudah sampai di rumah sakit. Perjalanan menuju rumah sakit lumayan lancar sebab sebelum empat roda yang kami naiki berputar, suami sudah mengecek arus lalu lintas melalui aplikasi. Jalur via tol terpantau kuning, sedangkan jalan biasa terlihat biru. Kami pun berangkat menggunakan jalur biasa dengan kecepatan stabil tanpa banyak macet.

Sekitar satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di rumah sakit. Berhubung waktu regiatrasi ulang hanya nisa dilakukan satu jam sebelum jadwal oraktek dokter, kami oun memutuskan untuk makan lwbih dulu. Satu temoat makan lamggamam kami yaitu penjual makanan di tepi sungai Malang
Sebelumnya saya sudah sering makam di warung tersebut. Saya menceritakan rasa enak menu mi goreng pad suami. Mendengar cerita enaknya makanan di warung oinggir kali tersebut suami pun penasaran. Akhirnya suami berkesempatan mencoba mi gorwng pinggir kali malang. 

Hampir satu jam kami menyelesaikan makan siang. Sebelum pukul 12.00 wib kami harus sudah berada di rumah sakit lagi. Registrasi ulang pendaftaran berobat adik sudah bisa dilakukan di atas jam 12 siang. Hal ino dikarenakan dokter yang kami tuju mulai praktek di jam 1 siang. 

Saya mendekati satu mesin APM yangbada di rumah sakitt. Mesin ini mirip ATM dengan berbagai menu yang tersedia. Saya melakukan registrasi ulang tanpa bantuan petugas. Alhamdulillah saya sering memperhatikan tahapan yang ada di mesin APM jadi bisa melakukannya sendiri. Dari mesin APM keluar kertas registrasi ulang yang menjadi bukti bahwa telah selesai pendaftaran. Ada yang berbeda dari kertas regiatrasi. Sebelumnya kertas yang tercetak berukuran A4. Sedangkan kaki ini kertasnya hanya lebih kecil. Sepertinya ada improvisasi terkait penggunaan kertas dan ini cukup bagus.

Selesai regiatrasi ulang, kami langaung menuju lantai tiga tempat dokter praktik. Kami menuju ke bagian perawat dan menyerahkan kertas registrasi. Tak menunggu lama, nama adik oun dipanggil. Prisedurnya sederhana, hanya melakukan timang berat badan. Berhubung adik sedang demam, saya meminta suster untuk mengukur suhu tubuh adik. Nah, di sini terjadi sesuatu yang menurut saya perlu diperbaiki oleh pihak perawat atau rumah sakit. Bagian perawat di lantai tiga ini tidak ada termometer. Entah karena terselip atau memang tidak tersedia. Sekian banyak suster yang sedang bertugas, tidak ada yang tahu keberadaan si termometer. Mereka saling menanyakan dan kebingungan hingga salah satu perawat memberitahu untuk mengambil termoter di salah satu ruangan dokter. Saya ingat ruangan nomor empat belas yanh dituju untuk mengambi termometer. 

Seorang suster berhas membawa termometer. Trtapi saya kecewa. Termoter yang beliau temukan adalah jenis manual yang cara kerjanya diselipkan di ketiak. Terlebih lagi, termometer tersebuy bekerja sangat-sangat lambat. Lama sekali angka pengukur suhi bergerak. Saya sampai tidak sabar dan akhirnya menguarkan termometer yang sengaja saya bawa dari rumah. Tak lama suhu tubuh adik pun diketahui 37.7⁰C. Suster memanyakan kapan waktu terakhir adik meminum paracetamol dan menganjurkan untuk meminum lagi. Karena sudah makan siang dan memang sudah lebih dari empat jam, adik pun minum paracetamol yang sengaja kami bawa untuk berjaga-jaga.

Dokter datang tepat waktu. Satu persatu pasien pun dipanggil. Hanya menunggu sekitar 15 menit giliran adik disebut namanya. Kami pun bertemu dokter dan berkonsultasi. Kami menceritakan demam dan gejala sakit perut adik yang berulang dua kali dalam waktu satu bulan terakhir. Dokter menjelaskan bahwa kemungkinan gejala autoimun kembali muncul memang samgat besar. Tinggal bagaimana meresponnya dengan baik dan penanganan yang tepat.

Dokter menyarankan agar pemberian paracetamol dilakukan ketika suhu tubuh mencapai angka 37.6⁰C. Apabila masih di bawahnya, cukup dikompres dan perbanyak minum air putih. Dokter juga membuatkan resep obat lambung untuk adik. Obatnya berbeda dengan obat yang sudah ada di rumah. Jadi dokter menyarankan untuk dihentikan dulu dan menggantinya dengan obat yang beliau siapkan. Peringatan dari beliau adalah tidak perlu minum obat lambungnya lagi apabila sudah tidak sakit dna mual.

Selesai bertemu dengan dokter, kami langsung menuju ke farmasi. Ujian kesabaran pun dimulai. Pelayanan obat di farmasi rumah sakit memang sangat lambat. Lebih dari 2 jam kami menunggu padahal jumlah pasien yang mengantri obat tidak terlalu banyak. Kami berharap pihak rumah sakit bisa melakukan perbaikan pelayanan di bagian farmasi ini. Bukan hanya kami yang merasakan jenuh dna bosan karena menunggu obat yang tak kunjung selesai. Banyak pasien lain yang bolak balik menanyakan obatnya pada petugas farmasi. Bahkan ada beberapa yang menyambangi bagian farmasi dengan nada penuh emosi. Kami sangat berharap bagian farmasi rumah sakit segera memperbaiki proses penyediaan obat agar lebih efektif dam efisien.

Sekitar pukul tiga sore kami baru selesai. Tanpa basa basi langsung melaju pulang karena sulung sendirian di rumah. Alhamdulillah arus lalu lintas masih lancar sehingga perjalanan pulang tak memakan banyak waktu. Kami sampai di rumah dengan selamat sebelum matahari berubah senja.

Hikmah yang kami ambil dari kondisi adik saat ini adalah bahwa gejala autoimun pada adik bisa terjadi kapan saja. Kami harus selalu siap menghadapinya. Kami juga harus lebih memperhatikan makanan yang dikonsumsi adik. Menjauhkan makanan instan dan berpengawet. Kami juga belajar agar terus bersyukur atas segala yang Allah takdirkan. Segala ujian yang Allah berikan membuat kami terus belajar bersyukur dan ikhlas.

Alhamdulillah

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta