√Opor Ayam Terakhir
Header catatantirta.com

Opor Ayam Terakhir

Bismillah

Masih teringat jelas raut wajah mu saat itu. Tersipu bahagia saat aku memuji opor ayam buatan mu. Sungguh, waktu itu aku mengatakannya dengan tulus. Sebab opor ayam itu benar-benar lezat. Sampai-sampai aku mengabaikan alergi ku. Aku menyantap opor ayam yang sangat istimewa itu. Tak peduli lagi jika nanti ruam ruam merah muncul beserta rasa gatal yang tak nyaman. Pokoknya aku makan opor ayam hingga tak kuat lagi beranjak dari kursi ku.

Dua hari sebelum kami pulang.

Seperti biasa, kami menghubungi kalian yang jauh di sana.
Sekadar bertanya kabar.
Masak apa?
Hujan atau tidak?
Sudah makan atau belum?
Ke ladang atau tidak?

Kami memberitahu bahwa lusa akan pulang mengantar ke dokter untuk memeriksakan kondisi mata mu yang sedang tidak baik. Ya, sudah lama cerita tentang mata mu yang buram sebelah. Berulang kali kami meminta mu untuk segera ke dokter spesialis mata. Namun, tak kunjung juga kamu lakukan. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang dan mengantar langsung ke rumah sakit.

Kami berangkat dengan hati gembira.
Pertama karena kami menyukai perjalanan ini. Kami mengunjungi mu sebagai bagian dari bakti anak kepada orang tua yang tinggal jauh. Kami sangat tahu bahwa kedatangan kami selalu kalian nantikan. Bukan karena bingkisan atau oleh-oleh yang kami bawa. Tetapi bertemu dan berbincang langsung yang membuat kalian bahagia.

Sore itu, kami sampai di rumah berwarna biru dengan bentuk seperti huruf L. Rumah yang selalu memberi kehangatan dan keramahan khas orang tua. 
Masih sangat lekat diingatan, aroma lezat tercium dari arah dapur. Harum menggugah selera membuat perut lapar seketika.

"Mae masak apa?" Selorohku sambil mencium punggung tangannya.

Satu panci besar opor ayam kampung telah matang dan siap disantap. Beliau tahu bahwa aku baru saja memiliki alergi unggas. Opor ayam itu sebenarnya untuk anak dan cucunya. Sedangkan aku, menantu perempuannya dibuatkan masakan lain yang tak kalah sedap.
Namun,
Aroma opor ayam membuatku abai. Ku keduk nasi dan ambil sepotong ayam beserta kuahnya yang kental.
Sedap sekali.
Sangat enak.
Rasa opor ayam yang tidak ada bandingannya sampai sekarang. 
Daging ayam kampung lembut dan mudah sekali dikunyah. Kuah opor kaya rempah-rempah hingga membuatnya sangat sedap. Ditambah lagi opor ayam kampung ini dimasak dengan cinta.
Cinta seorang ibu pada anak, menantu, dan cucunya.

Aku memujinya.
Memuji masakannya yang sungguh lezat, tak ada tandingannya

"Opornya enak banget, Ma. Beneran mantap." Ucap ku sambil mengangkat dua jempol tangan untuknya.

Beliau tersipu.
Beliau tersenyum bahagia.

Ungkapan kami menunjukkan bahwa masakannya enak membuat beliau bangga dan senang.

Tetapi, kami sedih

Opor ayam itu menjadi masakan terakhir dari mu untuk kami. Engkau pergi sebelum kami membalas segala kebaikan dan kasih sayang mu.
Engkau kembali pada pemilik mu tanpa sempat mengucapkan nasehat untuk kami.
Engkau menemui takdir mu secara tiba-tiba.

Sangat mendadak hingga kami melaju dengan kecepatan 150km/jam demi bisa bertemu denganmu.

Seperti petir yang menyambar kemudian bumi ini mati lampu.
Gelap
Pikiran kami buntu.

Kami tahu bahwa takdir tak bisa ditawar.
Kami paham bahwa semua yang hidup akan menemui ajal.
Kami hanya rindu.
Rindu kehangatan mu yang tak terucap namun terlihat dari laku mu.

Banyak "andai" sering terlintas di benak kami.
Tetapi kami sadar, ikhlas itu membuat semua menjadi lebih baik.

Doa kami untukmu yang selalu kami rindu.



Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta