√Mendadak Pulang Tanpa Sulung
Header catatantirta.com

Mendadak Pulang Tanpa Sulung



Bismillah,

Pagi yang cerah, namun berlawanan dengan fisikku hari ini. Semalaman bergadang menjaga adik yang sedang dilanda batuk berdahak membuat mata enggan melihat indahnya raja siang menggeliat. Adik masih kesulitan mengeluarkan dahak dari saluran pernapasaannya. Jadi, setiap kali adik batuk maka cenderung muntah. Malam tadi adik tidur gelisah. Tak mau tidur di bantal. Lengan tangan dan paha saya menjadi sandaran kepalanya. Mungkin di situ titik nyaman ia tidur. Sementara paha menjadi bantal, tangan tak henti memeluk dan mengelus lembut punggung adik. Malam semakin larut, namun adik tak kunjung berpindah posisi. Tak perlu ditanya bagaimana tangan dan kaki kesemutan juga kebas. Namun, semua tak jadi masalah sebab kenyamanan adik menjadi prioritas saat ini.

Pagi beranjak siang, tiba-tiba gawai berdering. Nampak panggilan videocall dari bapak mertua melalui aplikasi whatsapp. Tangan pun langsung meraih gawai yang tak jauh dari pandangan. Dalam hati berdesir, sebab tak biasanya bapak menelpon pagi-pagi. Layar gawai menampilkan bapak yang sedang memakai masker dengan latar punggung tembok berwarna biru. Saya langsung terkejut, aneh sebab jarang sekali bapak memakai masker saat menelpon. Hanya ketika datang ke tempat ramai bapak akan memakai masker. Begitupun tembok yang berwarna biru telur asin. Tembok itu terlihat asing sebab rumah bapak dicat warna putih untuk seleuruh bagian tembok. 

Suara bapak terdengar lemah dan bergetar. Napasnya agak berat dan raut wajahnya terlihat lelah. Ternyata, bapak mengabarkan bahwa beliau sedang berada di puskesmas. Bapak sedang dalam perawatan karena semalaman  badannya tidak enak, lemas, perut terasa panas, dan kepala pusing hingga tidak bisa tidur. Saya mencoba tidak panik dan mengambil mimik wajah rendah. Dalam hati perih dan mata sudah menampung butiranq air yang sedikit lagi tumpah. Sejak ibu mertua wafat, bapak sendirian tinggal di kampung. Kesedihan dan kekhawatiran bercampur aduk, namun saya coba untuk kuat. Saya tanyakan kondisi beliau saat itu dan memintanya untuk banyak beristirah dan tidak banyak pikiran.

Setelah sambungan video ditutup, saya memberitahu kondisi bapak pada suami dan adik ipar. Suami yangb sedang berada di Bogor pun meminta saya untuk bersiap pulang kampung. Tanpa ragu saya pun mengiyakan dan segera mempersiapkan semuanya. Tak banyak yang saya bawa, hanya beberapa pakaian dan perlengkapan lainnya.

Sesaat sebelum mengemas pakaian, saya mendekati sulung yang sedang membaca buku. Saya menjelaskan bahwa kita akan pulang kampung karena kakungnya sakit. Situasinya saat itu cukup berat. Sulung sedang menjalani penilaian harian di sekolahnya. Minggu depan pun akan mepaksanakan penilaian akhir tahun menjelang kenaikan kelas. Satu sisi orangtua kami sedang memebutuhkan kehadiran kami. Sisi lain anak sulung kami juga sedang menjalankan aktifitas sekolah yang akan lebih baik jika tidak ditinggalkan.

Saya mengajak sulung berdiskusi dan memberinya dua pilihan.

Pertama, sulung ikut kami pulang kampung mengunjungi kakung yang sedang sakit. Konsekuensinya adalah sulung tidak memgikuti penilaian harian dan akan menyusulnya di hari lain. Kemungkinan besar sulung akan mengerjakan penilaian susulan setelah pelaksanaan ujian akhir tahun semester dua.

Kedua, sulung tinggal di rumah bersama mbah Uti yang kebetulan sedang tinggal di rumah kami. Selain mbah Uti ada juga Ibu yang merupakan budenya. Mereka bisa menemani sulung di rumah selama kami pulang kampung. Konsekuensinya adalah sulung harus mandiri ketika belajar untuk menghadapi penilaian harian. Ia juga akan tidur dengan mbah Uti dan bersikap baik selama kami di kampung. Kelebuhannya adalah sulung daoat mengikuti penilaian harian sssuai jadwal. Selama kami berada di kampung, sulung akan diantar jemput ke sekolah oleh tetangga dekat kami.

Mendengar penjelasan saya, sulung sempat gelisah. Kami memang belum pernah meninggalkanya di rumah dalam waktu yang lama. Saya memberi ruang pada sulung untuk berpikir dna menata hatinya. Ada serpihan air di ujung matanya. Ia yang menyayangi kakeknya juga ikut sedih mengetahui kakeknya sedang sakit. Namun, rasa sukanya pada sekolah membuatnya gelisah. Semangat belajarnya sangat tinggi. Ia senang berada di sekolah bertemu dengan teman-temannya. Ia pun tak ingin tertinggal penilaian harian di sekolah.

Keputusan final pun diambil oleh sulung. Ia memilih tinggal di rumah bersama mbah Uti dan mengikuti kegiatan sekolah dengan baik.

Sebenarnya sangat berat meninggalkan sulung. Kami belum pernah pergi jauh dalam waktu yang lama tanpa sulung. Namun, keadaan meminta kami untuk mengambil keputusan yang tepat. 

Sebelum mengemasi barang untuk pulang kampung, saya menyiapkan segala keperluan sulung dulu. Semua perlengkapan sekolah sulung saya siapkan. Seragam sekolah dan pakaian untuk mengaji pun saya sediakan terpisah agar sulung mudah mengambilnya. Uang saku pun saya berikan sesuai kebutuhan. 

Ada perasaan khawatir meninggalkan sulung. Kami khawatir ia merasa diabaikan. Namun ternyata, kami salah. Selama perjalana menuju rumah bapak, kami menelpo  sulung. Panggilan video beberapa kali memastikan bahwa ia dalam kondisi baik. Bukan secara fisik saja tetapi juga psikis atau mentalnya. Sulung menyambut panggilan video kami dengan semangat dan senang. Ia menanyakan adiknya dan terlihat baik. Pandangan matanya tidak nampak sedih. Ia justru menanyakan kami sudah makan atau belum dan mengingatkan kami agar berhati-hati di jalan.

Terima kasih ya, Nak sudah mengerti akan keadaan yang sedang kita hadapi. Terima kasih karena sudah tumbuh kuat dan mandiri.


Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta