√Senyum Di Balik Rintik Hujan
Header catatantirta.com

Senyum Di Balik Rintik Hujan

Sore itu ada arisan di rumah keluarga bu Eva. Arisan bergilir yang diadakan bergilir setiap bulan bersama tetangga komplek. Tak banyak yang hadir sebab arisan bulan Maret sebab agenda arisan harusnya dilakukan pada minggu kedua disetiap bulannya. Namun khusua untuk bulan Maret kali ini diselenggarakan pada awal bulan. Maklum, tanggal muda waktunya para ibu belanja bulanan alias kebutuhan pokok untuk satu bulan kedepan. Selain belanja bulanan, sebagian keluarga menjadikan awal bulan sebagai liburannya keluarga. Diisi dengan makan bersama di luar rumah alias retso atau berwisata ria ke tempat yang menyenangkan. Intinya berkumpul bersama keluarga di tanggal muda.

Satu minggu yang lalu, bu eva sudah mempersiapkan acara arisan. Mulai dari memesan makanan, cemilan, buah-buahan,  dan juga mineral gelas. Tak lupa bu Eva meminjam karpet milik RT sebagai tambahan alas duduk. Anggota arisan bulanan berjumlah 35 orang. Bu Eva melebihkan setiap jamuan arisan agar tidak ada tetangganya yang kekurangan saat menikmati makanan di rumahnya. Lagi pula, jikapun sisa, para tetangga tak segan membungkusnya untuk dibawa pulang. Ini hal yang lumrah dan semua sudah saling memahaminya. Ketika tuang rumah mempersilahkan hidangan untuk dibawa pulang, maka para tetangga sigap mengambil makanan secukupnya. Hampir tidak ada yang berlebihan mengambil makanan. Kami sudah saling menghormati dan menjaga adab agar kekeluargaan antar tetangga makin erat.

Prediksi bu Eva, benar. Tidak banyak tetangga yang hadir di arisan sore itu. Hanya sekitar 20 orang yang datang bersama satu dan dua anak mereka yang masih kecil. Ia memaklumi sebab kebanyakan tetangganya menjadikan awal bulan sebagai family holiday. Meski tak semua hadir, arisan bulanan tetap berlangsung dengan baik.

Diawali dengan doa, shalawat,  dan pembacaan surah Yasin, arisan komplek berjalan dengan khusus. Ketika pembacaan surah Yasin selesai, doa bersama dilantunkan sebagai penutup. Setelah acara doa selesai, bu Eva dibantu beberapa tetangga mengeluarkan suguhan arisan. Semua yang hadir nampak senang dan menikmati hidangan dari bu Eva selaku tuan rumah. Mereka berbincang santai sambil sesekali minum dan mengambil cemilan juga buah. Obrolan ringan diselingi dengan pengumuman beberpa informasi disampaikan oleh ketua arisan. Tentang kas RT, jadwal pengajian bulanan, dan yang paling penting adalah kocokan arisan. Semua berjalan menyenangkan sebab ibu-ibu komplek saling menghargai dan menghormati.

Sekitar pukul lima sore, acara arisan selesai. Ternyata masih ada suguhan yang tersisa. Padahal beberapa ibu sudah membawa pulang. Bu Eva dibantu suami dan anak-anak segera membersihkan dan merapikan rumah. Tiba-tiba langit gelap membawa iringan awan kelabu. Sesekali petir dan guntur datang bergatian tanda hujan segera datang. Keluarga bu Eva pun bergegas melipat karpet yang terelar di teras  agar tidak kebasahan. Bu Eva sibuk membungkus beberapa kue yang tersisa. Rencananya akan dibagikan pada pemulung yang biasa lewat di depan rumah. Mubazir jika dibiarkan di rumah sebab k Namun sayang, hingga hujan turun tidak ada pemulung yang lewat. Bu Eva menatap hujan dengan sedih. Terselip doa hujan segera reda hingga ia dapat keluar memberikan makanan.

Kumandang azan Magrib bergema menyambut datangnya malam. Air langit mulai berkurang ditemani angin dingin menusuk tulang. Bu Eva dan keluarga segera menunaikan salat. Suami dan dua anaknya sudah berangkat ke musala. Titik-titik hujan masih terdengar menari di atap rumah. Bu Eva bersyukur atas kelancaran arisan sore tadi. Lalu terlintas lagi makanan yang masih belum habis. Harapannya ingin berbagi agar tidak terbuang percuma. Mubazir.

Tak lama berselang, suami dan kedua anak bu Eva pulang dari musala. Rintik hujan masih ada, namun tak serapat sebelumnya. Bu Eva meminta ijin pada suaminya untuk keluar dan membagi makanan pada pemulung atau siapapun yang ditemuinya di jalan.
Sepeda motor matic warna merah berkelir hitam sudah siap dengan beberapa bungkus makanan tergantung di bagian depan. Bu Eva menyalakan motor dan menembuh titik-titik hujan. Sekitar komplek lengang. Terdengar beberapa kucing mengeong di pos ronda. Tidak ada kicau burung. Sepertinya para burung sedang menghangatkan diri di sarangnya masing-masing.

Bu Eva menebar pandangan menyapu sisi jalan dan ruko -ruko yang belum laku terjual. Laju motornya terhenti. Dua sosok tua tertangkap oleh netranya. Di sebrang sana, dua tubuh saling berhimpit duduk di depan ruko yang belum berpenghuni. Sebuah gerobak kayu berada tak jauh dari tempat mereka duduk. Bu Eva segera memutar arah motornya ke sebrang jalan. Benar saja, dua sosok itu adalah sepasang suami istri yang duduk saling menghangatkan badan diantara angin dan rintik hujan.

Motor matic warna merah berkelir hitam berhenti tepat di sebelah gerobak kayu. Bu Eva mendekati dua lanjut usia yang tengah termangu menatap dinginnya malam.

"Maaf, pak, bu. Ini saya ada sedikit makanan. Tolong diterima, ya." Ucap bu Eva sambil berjongkok di sebelah mereka.

"Alhamdulillah. Terima kasih, Neng. Kami memang belum makan." Sepasang tangan keriput menjabat bu Eva. Dingin. Tangan itu sangat dingin.

Tangan dingin itu menembus hati bu Eva. Sungguh kasihan dua lanjut usia yang semestinya duduk tenang di rumah yang hangat itu masih kedinginan di luar rumah.
"Bu, tunggu di sini ya. Saya tinggal sebentar."

Bu Eva melaju motor merahnya menuju warung makan yang letaknya tak jauh dari tempat dua lanjut usia berteduh. Dua bungkus teh manis hangat dipesan bersama nasi dan lauknya. Selepas membayar, bu Eva kembali ke lokasi dua lanjut usia tadi.

Mengejutkan. Di tempat dua lanjut usia berteduh sudah ramai. Ada dua wanita dewasa dan tiga anak kecil duduk di sekitar mereka. Bu Eva memperhatikan mereka. Nampak mereka sedang menikmati makanan yang bu Eva berikan. Pemandangan yang membuat dada terasa sesak hingga tanpa sadar matanya hangat dan berair.

 Dua lanjut usia ternyata membagikan makanan yang mereka terima dari bu Eva. Mereka tidak serakah atas apa yang dimiliki. Mereka berbagi pada orang lain yang juga memerlukan. Senyum tulus mengembang diantara mereka. Ditemani rintik hujan dan angin dinging, kehangatan tercipta dalam kesederhanaan. Mereka berkumpul dan berbagi.

Bu Eva menyeka air matanya. Ia mundur dan memutar balik motornya kembali ke warung makan. Lima teh manis hangat dan nasi bungkus menggenapi isi kantong plastiknya. Bu Eva kembali pada dua lanjut usia yang tengah berbagi. Ia mendekat dan memberikan teh manis hangat dan nasi pada mereka. Lihatlah. Senyum merekah menghiasi wajah mereka. Bahkan tiga anak kecil berlompat riang menerima nasi dan teh manis hangat.

"Terima kasih ya, Neng. Semoga makin berkah rejekinya."
"Aamiin." Balas bu Eva dengan suara parau.

"Terima kasih juga untuk bapak dan ibu yang telah mengingatkan saya agar selalu bersyukur atas segala pemberian Allah SWT. Terima kasih atas pelajaran hidup yang dicontohkan bahwa sesulit apapun diri kita, maka berbagilah meski hanya sedikit karena yang sedikit itu bisa jadi sangat berharga bagi orang lain." Bu Eva pulang ditemani rintik hujan dan senyuman.

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta