√Keluarga Tanpa Hubungan Darah
Header catatantirta.com

Keluarga Tanpa Hubungan Darah

 Matahari siang ini sangat terik. Hampir tidak ada awan yang menemaninya di atas sana hingga membuat cahaya matahari bebas menghujam bumi. Panas terasa hingga badanku basah berbalut keringat. Waktu menunjukkan pukul dua siang. Seperti biasa aku pulang sekolah menyusuri trotoar yang ramai. Kota ini tak pernah sepi meski panas menyengat membakar kulit. Tak sabar rasanya ingin segera sampai di rumah. Udara yang pengap akibat asap kendaraan menambah semangatku untuk semakin cepat melangkah.

Setelah mempercepat langkah, lega rasanya melihat lampu lalu lintas di pertigaan ujung sana. Tak kurang dari sepuluh meter setelahnya adalah jalan masuk ke komplek rumahku. Lampu lalu lintas masih menyala merah, aku tak mau menunggu di bawah terik tanpa atap jika lampu hijau terlanjur menyala lagi. Segera aky berlari agar tak tertinggal oleh rombongan yang tengah menyebrang. 

Braaak, entah dari mana suara itu berasal. Tubuhku tiba-tiba tersambar motor yang tengah melambung. Aku kaget. Tubuhku terseret dan semua menjadi gelap. Sayup-sayup terdengar jeritan histeris dan kegaduhan. Entah apa yang terjadi, aku hilang kesadaran.

Netraku terbuka namun segera menyipit. Cahaya itu sangat terang hingga menyilaukan mata. Berkali-kali aku mengerjap hingga terbiasa dan melihat sekitar. Semua nampak putih bersih. Lengang dan sunyi. Ada setitik kemilau keemasan di depan sana. Indah sekali berpendar-pendar menimbulkan pelangi di sekelilingnya. Akupun melangkah mendekatinya. Semakin dekat ada rasa hangat menyiram tubuhku. Nyaman dan damai. Tanganku terulur ke depan ingin segera menyentuh kilau keemasan itu. Namun, tiba-tiba seseorang memegang tanganku.

"Nak, bangun. Nak!"

Ibu!
Aku mendengar tangisan ibu,  tetapi tak kuasa untuk membuka mata.

"Ibu, stok darah B di rumah sakit sedang kosong, adakah dari anggota keluarga yang bisa menjadi pendonor? Pasien banyak kehilangan darah dan harus segera mendapat transfusi." Dokter berkata diantara isak tangis ibu.

"Kami berbeda golongan darah, Dok. Apakah tidak bisa dibantu menghubungi PMI?" Terdengar suara ayah yang ternyata ada di dekatku juga.

"Baik, akan kami usahakan." Tukas dokter sambil berlalu pergi.

Aku menyimak semua percakan antara ibu, ayah dan dokter. Namun, aku tak bisa menggerakkan badanku. Kaku dan ngilu terasa di sekujur tubuhku. Terus kucoba untuk memanggil ibu, namun tak berhasil. Lelah, aku tak mampu lagi hingga akhirnya tak sadar lagi.

Beberapa 

"Vina, bangun, Nak. "  Ratapan ibu kembali menyadarkanku. 
Kali ini aku merasa lebih baik dan bisa menggerakkan jariku lalu mulai membuka mata.

"Ayah, cepat panggil dokter. Vina mulai siuman." Ucap ibu pada ayah yang berada di sampingnya.

Tak berapa lama, dokter datang dan memeriksaku.

"Syukur, anak ibu dan bapak sudah melewati masa kritisnya. Tinggal menunggu kondisi luka di kepalanya membaik. Semoga segera pulih" Seru dokter setelah memeriksa keadaanku.

Tujuh hari berada di rumah sakit, kondisiku semakin membaik. Pendarahan di bagian kepala sudah tertutup. Beruntungnya diriku karena kecelakaan itu tidak sampai membuat nyawaku melayang. Setiap hari, ibu menemaniku. Hampir tak pernah sedikitpun meninggalkanku. Senyum hangatnya selalu membuatku bahagia.

"Ibu, sebenarnya apa yang terjadi saat itu?" Aku bertanya pada ibu yang sedang mengupas apel.

"Kecelakaan beruntun, Vina. Kamu terseret motor hingga terluka parah di kepala dan bagian lain  sampai harus transfusi darah. Ehm sudah kamu gabusah banyak berpikir. Makan banyak biar cepat sehat ya." Suara ibu terdengar berbeda.

Saat itu aku menurut dan tak lagi banyak bertanya. Hingga datang teman dekatku menjenguk. Panjang lebar kami berbincang hingga sampai pada pertanyaan yang menurutku sangat janggal.

"Vina, kenapa golongan darahmu berbeda dengan kedua orangtuamu? Bukan kah biasanya anak memiliki golongan darah yang sama dengan salah satu orangtuanya?" Ucap Desi penarasan.

Mendengar kalimat Desi, akupun jadi bertanya-tanya. Dalam pikiranku muncul banyak pertanyaan. Berhari-haru aku menyimpan rasa ingintahuku tentang golongan darah itu. Mencoba tetap berpikir positif dan membuang jauh rada curigaku. Hingga akhirmya tepat di hari ulangtahunku yang ke-17, aku memberanikan diri mengutarakan isi hatiku.

"Ibu, apakah Vina anak kandung ibu dan ayah?"

Sontak ibu terkejut hingga menjatuhkan piring berisi irisan kue ulangtahun. Terlihat jelas ada air mata yang coba ibu tahan agar tidak tumpah. Ayah membantu ibu menjauh dari serpihan piring dan kue yang berserakan. Aura bahagia di ruang keluarga lenyap menjadi haru biru. Setelah mengantarkan ibu ke kamar, ayah memanggilku untuk menyusulnya. Terlihat ibu tergugu sambil memeluk bantal.

"Vina, ayah dan ibu tahu kamu sudah lama ingin menanyakan soal ini. Tepatnya setelah kecelakaan itu. Dengar, Nak. Ayah dan ibu sangat menyayangimu. Terlepas dari apapun tentang dirimu, kami mengasihimu sepenuh hati. Terutama ibu yang tulus menjagamu sejak kamu dilahirkan." Ayah membuka percakapan dengan wajah sendunya.

Aku tak bisa berkata-kata. Mulutku tetasa terkunci. Kakiku tak mampu ku gerakkan. Lemas badanku hingga hampir terkulai dan ibu membawaku dalam pelukannya.
Semua akhirnya terbongkar.

Tujuh belas tahun lalu, ayah dan ibu sedang duduk di teras rumah. Senja mulai turun di ujung barat. Tiba-tiba seorang wanita jatuh pingsan di luar pagar. Ayah dan ibu berlari untuk menolong. Ternyata wanita itu sedang mengandung dan akan segera melahirkan. Ayah dan ibupun membawa wanita tersebut ke bidan terdekat. Wanita itu berhasil melahirkan seorang bayi perempuan. Namun nyawanya tidak tertolong sebab mengalami pendarahan hebat. Dalam perjalanan ke rumah sakit, wanita itu mengembuskan nafasnya yang terakhir. Sebelum wanita itu benar-benar pergi, ia sempat sadar dan menitipkan bayinya pada ayah yang ikut menemaninya ke rumah sakit. Bayi perempuan itu adalah aku.

" Betapa bahagianya ibu dan ayah mendapatkanmu, Vina. Penantian sepuluh tahun pernikahan kami dan kamu hadir disaat kami telah berpasrah. Satu yang harus kamu tahu dan selalu ingat, bahwa meski kamu tidak lahir dari rahim ibu, kamu adalah anak ibu dan ayah. Tuhan menitipkan kamu pada kami sebagai anugerah tak terhingga. Kita adalah keluarga meski tanpa hubungan darah. Tuhan memberi jalan terindah hingga menjadikan ibu, ayah, dan kamu menjadi keluarga.

Ibu memelukku sangat erat. Suaranya bergetar sepanjang menceritakan perjalanan kelahiranku. Kini aku tahu bahwa ayah dan ibu bukan orangtua kandungku. Mereka bukan milikku secara biologis. Tetapi mereka adalah milikku melalui kasih sayang Tuhan. Meaki

Terima kasih ibu dan ayah karena telah menyayangiku.
Terima kasih Tuhan telah membuat mereka menjadi milikku.
Terima kasih atas keluarga yang begitu berharga. 




Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta