Awan kelabu berarak serempak menutupi langit. Kedatangan mereka menghalangi sang raja siang yang mulai menggeliatkan tubuhnya. Pagi pun nampak sendu hingga matahari mengintip syahdu. Suara kokok ayam jantan bersemangat agar mendung pergi. Namun, sepertinya air langit ingin datang lebih awal agar bisa mengalahkan sang mentari.
Bu Nuris menggapai payung biru tua kesayangannya. Ia berjaga-jaga kalau hujan datang menemaninya berbelanja sayuran. Ya, bu Nuris selalu membeli sayuran segar untuk menu keluarganya. Hari itu, ia berencana membuat gurame bakar sambal tomat sesuai permintaan suaminya. Bu Nuris pun bersemangat karena sang suami akan ikut terjun ke dapur untuk mengolah gurame. Ini akan menjadi family project akhir pekan yang menyenangkan.
Rintik hujan mulai turun ketika pagar hitam baru saja tertutup. Bu Nuris berjalan lebih cepat menuju tukang sayur langganannya. Abah tukang sayur berjualan di gerbang komplek rumahnya. Sebab itulah bu Nuris tak perlu mengendarai sepeda motornya. Cukup berjalan kaki sekitar 100 meter sebagai olahraga di pagi hari.
Sesampainya di Abah sayur, bu Nuris langsung menanyakan ketersediaan gurame incarannya. Beruntung masih ada dua ekor ukuran sedang belum ada pemiliknya. Bu Nuris pun segera memesan gurame tersebut dan meminta abang Sobur untuk membersihkan dan memotong gurame pesanannya. Abang Sobur ini adalah keponakan Abah yang ikut membantu Abah berjualan sayur. Tugasnya melayani ayam, ikan, udang, dan cumi-cumi. Terkadang juga sebgai kasir ketika Abah tengah repot melayani pembeli lain.
Selepas memesan gurame, bu Nuris beralih ke sayuran segar yang terhampar bebas di atas terpal oranye. Sayuran-sayuran itu nampak segar dan membangkitkan semangat berbelanja ibu-ibu yang menjadi langganan Abah sayur. Kubis, tempe, kemangi, timun, cabai, tomat, bawang merah, bawang putih, dan bumbu lainnya menjadi yujuan bu Nuris. Ia memilih-milih sambil sesekali berbincang dengan pembeli lain. Begitulah kebiasaan para ibu ketika berbelanja. Selain untuk membeli sayuran juga sebagai media saling bertegur sapa dan kadang ada curhatnya juga.
Sepuluh menit berlalu, bu Nuris telah selesai memilih kebutuhannya. Ia pun mendekati Abah sayur untuk menghitung belanjaan dan membayarnya. Satu per satu mulai dihitung termasuk gurame yang dipesannya. Sambil menunggu uang kembalian, bu Nuris meminta gurame pesanannya ke abang Sobur.
"Bang, mana gurame pesanan saya tadi?" Tanya bu Nuris.
"Iya, bu sebentar tadi sudah saya pisahkan." Jawab bang Sobur sambil mencuci tangan bekas memotong ayam.
Namun, bang Sobur seketika terkejut. Tangan yang tadinya akan menggapai gurame ternyata kosong. Gurame yang sudah disiapkannya hilang tanpa jejak. Bang Sobur pun terbengong beberapa saat. Tubuhnya membungkuk dan berputar mencari bungkusan plastik putih berisi gurame yang telah ia bersihkan.
"Abah, lihat gurame yang tadi di sini ga?" Tanya bang sobur pada Abah.
"Loh, Abag ga lihat. Sedari tadi, Abah melayani pembeli ga ada yang bayar gurame." Jawab Abah yang juga kebingungan.
Abah dan bang Sobur saling menatap. Mereka nampak sedih mendapati dagangannya hilang tanpa dibayar. Bu Nuris pun tak kalah kagetnya. Ia nampak bingung juga sedih melihat Abah dan bang Sobur.
"Maaf, Bu. Guramenya hilang. Sepertinya ada yang mau tapi ga bilang." Ucap Abah dengan lesu.
"Ini kembaliannya, guramenya ga usah dibayar." Lanjut Abah sambil memberikan uang kembalian.
Bu Nuris tidak tega melihat abah dan bang sobur yang masih nampak syok. Kehilangan barang dagangn memang sering terjadi. Tetapi kali ini mereka lebih sedih. Pasalnya, gurame itu harganya lumayan. Keuntungan tak didapat, malah malang yang menimpa.
"Sudah, Bah. Guramenya ga papa tetap saya bayar." Ucap bu Nuris agar Abah tak rugi.
"Ga bisa begitu, bu. Gurame belum di tangan kok mau dibayar. Ga papa, ini sudah rejeki saya. Mungkin ada yang kepengen tapi ga bisa bayar. Padahal kalau bilang pun bisa saya hutangin atau saya kasih. Tapi ya sudah lah." Jawab Abah menguatkan diri.
Abah menolak bayaran gurame dari bu Nuris. Bagi Abah, itu sudah menjadi resikonya berjualan. Kejadian ini bukan yang pertama kalinya, karena memang sering ada pembeli yang pergi dengan sekantong belanjaan tanpa membayarnya terlebih dahulu alias mencuri. Herannya, ini dilakukan oleh ibu-ibu. Entah alasan apa yang menjadikan mereka berani mencuri di tengah keramaian. Entah keterpaksaan apa yang membuat mereka mengambil barang yang bisa merugikan orang lain.
Apakah mereka tidak berpikir bahwa sayuran hasil mencuri yang dibawa pulang dan dimasak untuk keluarga adalah barang haram. Keharamannya itu mengalir ke seluruh tubuh hingga semua aliran darah.
Entahlah, mungkin mereka tak berpikir sejauh itu.
Bu Nuris pun tak bisa memaksa abah untuk menerima uangnya. Selain karena memang gurame belum diterima, bu Nuris dan keluarga pun akan kecewa karena tidak jadi membuat gurame bakar.
Akhirnya, bu Nuris mengganti gurame dengan ikan mujair yang kebetulan masih tersedia.
"Mungkin belum rejeki makan gurame bakar." Ucap bu Nuris dalam hati.
Selepas membayar mujair, bu Nuris pun pulang dengan harapan semoga Abah dan bang Sobur tetap sabar dan rejekinya lancar selalu.
"Tak ada Gurame, Mujair pun jadi"
Posting Komentar