√Aku dan Kamu seperti Kita (Bagian 5)
Header catatantirta.com

Aku dan Kamu seperti Kita (Bagian 5)


Kedip layar komputer membuyarkan lamunanku. Sedari pagi, kepala ini dipenuhi kenangan bersama dia. Hari ini ia pasti sedang menghafal kalimat ijab kabul. Ah, kembali pikiranku melambung terlalu jauh. Tidak patut aku memikirkan dia yang akan segera menjadi milik wanita lain.

Hari berjalan begitu lambat, seolah ikut gelisah seperti hatiku. Kuputuskan untuk lembur hingga pulang malam. Temaran lampu jalanan mengiringi langkah kakiku. Sepanjang trotoar berhias kerlip lampu nan cantik. Ramai lalu lalang orang melintas pun masih memenuhi jalanan. Aku, sendiri diantara ramainya malam. Sepi memenuhi ragaku meski bisingnya ibu kota masih sangat terasa.

Sampai di kos, aku segera membersihkan diri. Berharap kesegaran mengembalikan semangatku. Namun sepertinya air dan khusyukku tak mampu menghilangkan bayangan Fahri. Hingga menjelang tidur pun aku masih mendapatinya dalam anganku. Mata lelah ini coba kupejamkan. Diiringi tembang-tembang kesayangan. Lambat laun aku terpejam dan tenggelam dalam heningnya malam.

Tuuuut, tuuuuut, tuuuuuu. 
Gawaiku bergetar lama hingga membangunkanku. Tanganku meraba dan mencari sumber getaran itu. Ragaku tergelak tak percaya. Sebuah nama yang sedari kemarin terbang dipikiranku berada di layar gawai. Fahri, begitu tertulis jelas melakukan panggilan telepon. Ragu, lama aku hanya memandangi layar berkedip-kedip. Jemari ini kaku hingga tak sanggup menekan tombol "terima panggilan". Detik terakhir menjelang panggilan terputus, barulah aku menekann jemariku. Hening. Hanya hening menerpa telinga.

"Hallo, Aya. Kamu ngelindur ga nih angkat teleponku." Suaranya memecah sunyinya malam.
"Hei, kalau diam berarti pemiliknya sedang mengigau nih." Kembali ia berucap pelan.
"Ya." Jawabku singkat.

Aku tak menyangka Fahri menelponku, tepat di malam terakhirnya sebagai lelaki bebas. Suaranya memang sedikit berbeda. Terdengar lebih serius dari gaya khasnya setiap kali menelponku. Aku lebih banyak termangu dan mendengarkan dari pada melanjutkan guyonannya yang kaku.

"Fahri, kamu besok ada acara penting. Kenapa selarut ini belum beristirahat?" Kalimatku memotong candaannya yang garing.

Sejenak ia terdiam. Terdengar hanya suara jangkrik yang saling bersahutan. Sepi, tidak ada musik ataupun riuhnya orang berkumpul layaknya hajatan pernikahan. Aku sempat heran, namun urung ku tanyakan posisinya saat ini.

"Fahri, kamu masih di sana?" Tanyaku memutus kesunyian.
"Iya." Kali ini giliran jawabannya yang singkat.

Kusampaikan selamat dan do'a sederhana atas pernikahannya. Sesungguhnya berat sekali kata-kata itu ke luar dan tenggorokanku. Bahkan ada pedih melintas seperti luka yang tersayat. Namun, aku bingung apa yang harus kusampaikan padanya.
Ingin marah? Tentu tidak ada hak bagiku untuk memarahinya.
Meminta penjelasan? Bukan kewajibannya memberi alasan padaku yang memamng bukan siapa-siapa dalam hidupnya.

Hanya do'a yang mampu kuucapkan. Sekedar alasan untuk segera menutup sambungan tetepon ini. Aku tak sanggup lagi jika harus mendengar suaranya lebih lama lagi.

"Terima kasih ya, atas do'a nya. Maaf mengganggu tidurmu. Jaga kesehatan ya, Aya." Kalimat penutup sebelum akhirnya telepon berakhir.

"Fahri, jangan tutup teleponnya. Aku merindukanmu. Aku belum bisa menerima kabar bahagia yang sedang menemanimu. Kenapa? Kenapa kamu hilang dan datang seenaknya saja. Kamu anggap apa, aku ini. Siapa aku di hatimu? Adakah menduduki slah satu ruang khusus?"

Kalimat itu bergemuruh di dalam hati tanpa sanggup aku sampaikan. Gawaipun padam bersamaan dengan hilangnya suara yang kurindukan.

Fahri.




#SehariSatuTulisan

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta