Kedip layar komputer membuyarkan lamunanku. Sedari pagi,
kepala ini dipenuhi kenangan bersama dia. Hari ini ia pasti sedang menghafal
kalimat ijab kabul. Ah, kembali pikiranku melambung terlalu jauh. Tidak patut
aku memikirkan dia yang akan segera menjadi milik wanita lain.
Hari berjalan begitu lambat, seolah ikut gelisah seperti
hatiku. Kuputuskan untuk lembur hingga pulang malam. Temaran lampu jalanan
mengiringi langkah kakiku. Sepanjang trotoar berhias kerlip lampu nan cantik.
Ramai lalu lalang orang melintas pun masih memenuhi jalanan. Aku, sendiri
diantara ramainya malam. Sepi memenuhi ragaku meski bisingnya ibu kota masih
sangat terasa.
Sampai di kos, aku segera membersihkan diri. Berharap
kesegaran mengembalikan semangatku. Namun sepertinya air dan khusyukku tak
mampu menghilangkan bayangan Fahri. Hingga menjelang tidur pun aku masih mendapatinya
dalam anganku. Mata lelah ini coba kupejamkan. Diiringi tembang-tembang
kesayangan. Lambat laun aku terpejam dan tenggelam dalam heningnya malam.
Tuuuut, tuuuuut, tuuuuuu.
Gawaiku bergetar lama hingga
membangunkanku. Tanganku meraba dan mencari sumber getaran itu. Ragaku tergelak
tak percaya. Sebuah nama yang sedari kemarin terbang dipikiranku berada di
layar gawai. Fahri, begitu tertulis jelas melakukan panggilan telepon. Ragu,
lama aku hanya memandangi layar berkedip-kedip. Jemari ini kaku hingga tak
sanggup menekan tombol "terima panggilan". Detik terakhir menjelang
panggilan terputus, barulah aku menekann jemariku. Hening. Hanya hening menerpa
telinga.
"Hallo, Aya. Kamu ngelindur ga nih angkat
teleponku." Suaranya memecah sunyinya malam.
"Hei, kalau diam berarti pemiliknya sedang mengigau
nih." Kembali ia berucap pelan.
"Ya." Jawabku singkat.
Aku tak menyangka Fahri menelponku, tepat di malam
terakhirnya sebagai lelaki bebas. Suaranya memang sedikit berbeda. Terdengar
lebih serius dari gaya khasnya setiap kali menelponku. Aku lebih banyak
termangu dan mendengarkan dari pada melanjutkan guyonannya yang kaku.
"Fahri, kamu besok ada acara penting. Kenapa selarut ini
belum beristirahat?" Kalimatku memotong candaannya yang garing.
Sejenak ia terdiam. Terdengar hanya suara jangkrik yang
saling bersahutan. Sepi, tidak ada musik ataupun riuhnya orang berkumpul
layaknya hajatan pernikahan. Aku sempat heran, namun urung ku tanyakan
posisinya saat ini.
"Fahri, kamu masih di sana?" Tanyaku memutus
kesunyian.
"Iya." Kali ini giliran jawabannya yang singkat.
Kusampaikan selamat dan do'a sederhana atas pernikahannya.
Sesungguhnya berat sekali kata-kata itu ke luar dan tenggorokanku. Bahkan ada
pedih melintas seperti luka yang tersayat. Namun, aku bingung apa yang harus
kusampaikan padanya.
Ingin marah? Tentu tidak ada hak bagiku untuk memarahinya.
Meminta penjelasan? Bukan kewajibannya memberi alasan padaku
yang memamng bukan siapa-siapa dalam hidupnya.
Hanya do'a yang mampu kuucapkan. Sekedar alasan untuk segera
menutup sambungan tetepon ini. Aku tak sanggup lagi jika harus mendengar
suaranya lebih lama lagi.
"Terima kasih ya, atas do'a nya. Maaf mengganggu
tidurmu. Jaga kesehatan ya, Aya." Kalimat penutup sebelum akhirnya telepon
berakhir.
"Fahri, jangan tutup teleponnya. Aku merindukanmu. Aku
belum bisa menerima kabar bahagia yang sedang menemanimu. Kenapa? Kenapa kamu
hilang dan datang seenaknya saja. Kamu anggap apa, aku ini. Siapa aku di
hatimu? Adakah menduduki slah satu ruang khusus?"
Kalimat itu bergemuruh di dalam hati tanpa sanggup aku
sampaikan. Gawaipun padam bersamaan dengan hilangnya suara yang kurindukan.
Fahri.
#SehariSatuTulisan
Posting Komentar