√Aku dan Kamu seperti Kita
Header catatantirta.com

Aku dan Kamu seperti Kita

Bagian Dua

Suara adzan menyadarkanku dari kegelisahan sepanjang malam. Ada getaran di kaki dan sedikit pusing karena malam tadi mataku tak sedikitpun terpejam. Berat sekali melangkah dengan beban pikiran dan raga yang tidak stabil. Namun, panggilan Rabb ku tidak boleh diabaikan. Kulitku menegang kala jemari menyentuh air. Kesejukan yang biasanya merasuk terasa lebih dingin menyusuri setiap bagian tubuhku saat bersuci. Basuhan air mengenai wajahku hingga mataku sedikit perih. Ada kilatan cahaya menyentuh ragaku agar segera tersadar dari lamunan-lamunan malam tadi. Segera kubentangkan sajadah panjang. Bersujud mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta. Tumpah seluruh kegelisahan yang ada pada diri ini. Aku mengadukan semua yang terjadi dan sedang melanda jiwaku. Memohon petunjuk dan ketetapan hati agar dapat membuka hati dengan apa yang tengah terjadi. Antara bahagia dan kecewa, itulah yang sedang menimpa diri ini. Hanya kepadaMu tempat mengadu. Hanya kepadaMu memohon pertolongan.

Matahari nampak sendu di ufuk timur seperti mengerti apa yang kurasa. Lorong ini nampak lebih sepi, hanya aku yang berjalan melintasi dinding bergambar pernak pernik piala dunia. Ah, melihatnya membuatku semakin memikirkan dia. Kegemarannya  pada sepak bola sangat dalam sehingga aku pun mulai terkena virus bola. Bagaimana tidak, jika televisi yang kami lihat bersama selalu bergambar perebutan sebuah bola oleh 22 orang pemain. Huuf, dinding lorong ini nampak menghimpit dada dan membuat sesak. Aku mempercepat langkah, ingin segera menghilang dari euforia piala dunia.

Lima menit menunggu, bis transJakarta datang. Penumpangnya nampak masih lengang, padahal biasanya kami sudah berebut kursi mencari kenyamanan. Namun hari ini lebih leluasa mencari bangku kosong. Aku pun merapat di dekat jendela. Jalanan ibu kota masih terlihat lancar. Sisa-sisa uap embun masih terlihat diantara taman-taman kecil di sepanjang jalan. Asap tipis berwarna kelabu mulai menyebar di segala penjuru ruang. Nampak juga antrian di persimpangan lampu merah yang mulai mengular. Meski belum terlalu panjang, tetapi sudah membuat suasana riuh ramai. Semua pemandangan itu tidak mengubah isi kepalaku. Masih penuh dengan tanya yang perlu barisan jawaban pasti dari seseorang. Ya, dia yang tiba-tiba muncul dengan kabar yang mengejutkan.

Langkahku masih gontai menyusuri lintasan panjang ke luar dari koridor transJakarta. Bersimpangan dengan para pemburu rejeki di ibu kota negara. Semua nampak berjalan cepat dan sigap menghabiskan jalur yang berlipat. Aku tidak peduli. Ragaku seperti setengah sadar dan belum mampu bernapas sempurna. Bahkan sepanjang trotoar aku merasa sepi dan dingin meski kebisingan dan panasnya asap kendaraan sudah mulai memenuhi udara pagi. Tiba di depan kantor, aku kembali termangu. Ada kenangan naik ke permukaan bersama Bougenvil yang sedang bermekaran.

"Nur, besok pagi, aku ada keperluan di sekitar kantormu. Mau berangkat bareng?" Suara Fahri di ujung gawai.
"Oh, iya. Jam enam, ya." Aku menjawab sekenanya. Mataku sudah terlalu berat karena jarum pendek jam dinding menunjuk angka 12 malam.

Tuut. Telepon tertutup.

Tepat pukul 06.00 wib, aku ke luar. Tidak disangka kamu sudah duduk menunggu di atas sepeda motor.

"Hei, tumben ga ngaret." Aku menghampirinya santai.
"Iya, ayo naik sebelum jalanan ramai." Sebuah helm disodorkan padaku. Baunya masih khas pabrik, warnanya pun masih mengkilat. "Ini helm baru," Pikirku dalam hati.

Aku melirik sepeda motor bergaris merah. Nampaknya ini bukan milik mas Sasongko. Aku duduk tenang di belakang, menikmati udara pagi meski sudah bau bensin. Sepanjang jalan, kami saling diam. Tidak ada bahan cerita yang ingin kami bicarakan. Jalanan masih lengang, masih sedikit yang melintas di sana-sini. Kami pun melaju dengan lancar dan aman. Tidak butuh waktu lama, kami dekat dengan tempat yang dituju.

"Sarapan dulu, yuk. Ada bubur ayam ga di sekitar kantor?" Suaranya mengejutkanku.
"Iya, ada. Arah belakang kantor banyak pilihan di sana." Jawabku sambil menunjuk jalan ke arah belakang gedung.

Lepas memarkir motor, kami menuju tukang bubur ayam. Dua mangkok dipesan tanpa daun bawang. Ya, kami memang punya beberapa kesamaan. Salah satunya tentang daun bawang ini. Rasa khas daun bawang dirasa kurang sedap ketika bercampur di bubur ayam maupun mie ayam.

"Fahri, jilbabku bau nih. Kamu dapat helm dari mana, sih." Tanyaku sambil merapikan jilbab.
"Ish, bau apa? Itu baru keluar dari kardus, belum terjamah." Pangkasnya dengan suara sombong.
"Wah, jadi itu helm baru, ya? Motornya juga? Jaketnya juga? Bensinnya juga? Spidometernya baru muter juga?" Aku tersenyum meledek.
"Ya, ga usah ngeledek gitu. Lumayan buat kenang-kenangan kalau pernah punya uang sendiri." Jawabnya bersungut.
"Hahahahaha, udah sukses nih ceritanya. Selamat, ya. Jadi bubur ayam ini tanda syukuran? Ga modal banget, sih." Kembali aku meledeknya.
"Ish, ga bersyukur banget udah dibayarin." Raut wajahnya masih terlipat.
"Okelah, thanks, ya." Aku lihat dia tersenyum.

Bubur ayam pesanan kami pun datang. Asap mengepul memenuhi mangkok. Bau kuah khas bubur ayam membuat air liur bermunculan di permukaan lidah. Kami pun menyantapnya tanpa komando. Tidak lupa sedikit sambal bercampur menyatu dengan bubur. Ditambah segelas teh manis hangat melengkapi sedapnya sarapan pagi.

Hari itu, aku tahu. Sepeda motor itu adalah milik Fahri dan baru saja sampai dua hari yang lalu. Helm yang kupakai sengaja dibeli olehnya untuk melindungi kepalaku. Alasan yang dia berikan bahwa ada pekerjaan dekat kantorku itu tidak benar. Sebenarnya Fahri hanya akan mengunjungi salah satu teman yang juga teman kami saat SMP. Ya, dia memang sering berlaku dengan alasan yang abu-abu. Meski begitu, aku tetap menghargai semua perlakuannya padaku.

Oh, ya. Bunga Bougenvil itu membuatku teringat masa lalu karena ketika hendak meninggalkan tempat parkir, motor Fahri menyenggol pot berisi pohon Bougenvil. Beruntung itu adalah pot plastik sehingga motornya tidak cidera. Hanya saja bunga bougenvil tumbang dan pot bunganya pecah. Jadilah dia harus menggantiny dengan beberapa lembar rupiah. Lucu, aku hanya tertawa melihat kejadian itu. Tidak sedikitpun aku menolongnya. Sungguh kejadian yang terus menjadi lelucon ketika kami sedang bersama.

Fahri.
Ah, nama itu kembali terucap di dalam hati. Apa yang sedang ada di pikirannya saat ini? Apakah dia mengingatku diantara rona bahagia yang sedang dijalaninya. Entahlah, aku rasa tidak mungkin. Pasti dia sedang sibuk dengan berbagai keperluan sebelum ijab kabul terucap.



Bersambung

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta