√Sebelah Bangku
Header catatantirta.com

Sebelah Bangku


Seorang bapak muda tengah asik bermain game online. Saya sedikit melirik dan terlihat game bola (oops, maafkan ngintip). Jarinya begitu gesit menekan layar sentuh dengan pandangan begitu fokus. Beberapa kali nampak raut gemas dan kecewa. Mungkin karena gagal memasukkan bola ke gawang lawan, atau karena tim jagoannya kebobolan.


Sementara itu di samping kanannya duduk istrinya yang juga tengah sibuk dengan gawainya. Sesekali nampak senyum simpul dan tawa renyah tanpa suara dengan mata tetap menghadap layar berukuran 4inchi itu. Beberapa media sosial dibacanya naik dan turun. Begitu pula lebih dari satu aplikasi pesan/chating dibukanya bergantian. Hiasan cat kuku berwarna merah muda memancarkan kilaunya saat jari lentiknya bergerak cantik. Tombol qwerty sudah sangat dikenali oleh jemari lentik itu hingga tidak pernah salah alamat.


Namun suasana itu sungguh janggal karena ada teriakan melengking seorang anak perempuan sekitar tiga tahun. Si anak merajuk di pangkuan sang ibu, bersuara keras sambil menangis. Ia meminta gadget yang sedang dipegang si ibu.

 "Bunda! Mau main gamenya juga", begitu lantang si balita berteriak memenuhi seisi ruangan.

Selain menangis dan berteriak, si balita juga menghentak-hentakan kakinya ke sembarang arah. Tangannya ikut mengamuk ingin menggapai gawai si ibu. Namun sangat disayangkan, si ibu dan si bapak tetap fokus dengan gawainya masing-masing. Telinga mereka seakan tuli dan tak mengenali suara anak perempuan yang sedari tadi sudah memecah keheningan. Air matanya seakan tidak terlihat dan tak mampu menembus keteguhan hati orang tuanya. Keteguhan memandangi smartphone di tangan mereka. Sungguh menyedihkan menjadi saksi dari peristiwa itu.


Saya agak terganggu dengan kebisingan itu. Begitupun Nala yang sontak terdiam memerhatikan tangisan si anak perempuan tersebut. Sorot matanya mengisyaratkan sebuah kata "kasihan". Ia mendekati saya dengan masih menatap si anak perempuan. Saya memeluk Nala, memberi perhatian meyakinkannya bahwa mamanya ini tidak akan seperti itu.


Pemandangan itu berlangsung cukup lama, hingga seorang nenek tua menghampiri mereka. Si cucu berlari memeluk neneknya. Mencurahkan emosinya yang sedari tadi diabaikan. Lalu beberapa sentuhan lembut di rambut lurusnya langsung meredakan tangisnya. Dengan sabar si nenek mengajak cucunya duduk di bangku lain. Beliau memangku si cucu dan menyerahkan sebuah gawai sederhana. Nampak sekali gawai tersebut keluaran masa lalu. Tidak nampak tombol qwerty di tubuh handphone tersebut. Bahkan layarnya pun tidak bergerak saat disentuh. Hanya ada tombol naik turun, ke kanan dan kiri yang menjadi pergeseran menu. Namun si cucu tetap mau menerima gawai tersebut meski jauh di bawah kualitas milik bapak ataupun ibunya. Layar yang kecil tidak menjadikannya menangis, hanya beberapa kali terlihat kekesalan saat menggeser tombol perpindahan.

Ah, betapa miris menyaksikan itu semua. Betapa kuatnya sihir sebuah gawai hingga mengalahkan rasa peduli orang tua pada anaknya. Bahkan tangisan melengking tak mampu melenyapkan kekuatan gaib sebuah benda tak bernyawa.
Kejadian ini menjadi teguran bagi saya. Mengingatkan saya untuk menjaga batas agar tidak ikut tenggelam dalam buaian gawai. Karena layaknya manusia normal, seorang anak pun ingin merasakan keseruan memainkan smartphone yang ia lihat. Terlebih lagi jika ibu dan bapaknya sangat asik menikmati layar sentuh tersebut. Tentu anak pun ingin ikut andil dalam keseruan isinya. Bukan salah seorang anak jika begitu kuat menantap layar handphone. Karena setiap waktu dia pun melihat orang-orang di sekitarnya sangat menyukai cahaya dari benda canggih tersebut.
Setiap orang tua adalah teladan bagi anak-anak mereka, maka berikan contoh yang baik agar anak tumbuh menjadi pribadi yang baik pula.


#selfreminder

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta