Seorang bapak muda tengah asik bermain
game online. Saya sedikit melirik dan terlihat game bola (oops, maafkan
ngintip). Jarinya begitu gesit menekan layar sentuh dengan pandangan begitu
fokus. Beberapa kali nampak raut gemas dan kecewa. Mungkin karena gagal
memasukkan bola ke gawang lawan, atau karena tim jagoannya kebobolan.
Sementara itu di samping kanannya duduk
istrinya yang juga tengah sibuk dengan gawainya. Sesekali nampak senyum simpul
dan tawa renyah tanpa suara dengan mata tetap menghadap layar berukuran 4inchi
itu. Beberapa media sosial dibacanya naik dan turun. Begitu pula lebih dari
satu aplikasi pesan/chating dibukanya bergantian. Hiasan cat kuku berwarna
merah muda memancarkan kilaunya saat jari lentiknya bergerak cantik. Tombol
qwerty sudah sangat dikenali oleh jemari lentik itu hingga tidak pernah salah
alamat.
Namun suasana itu sungguh janggal
karena ada teriakan melengking seorang anak perempuan sekitar tiga tahun. Si
anak merajuk di pangkuan sang ibu, bersuara keras sambil menangis. Ia meminta
gadget yang sedang dipegang si ibu.
"Bunda! Mau main gamenya
juga", begitu lantang si balita berteriak memenuhi seisi ruangan.
Selain menangis dan berteriak, si
balita juga menghentak-hentakan kakinya ke sembarang arah. Tangannya ikut
mengamuk ingin menggapai gawai si ibu. Namun sangat disayangkan, si ibu dan si
bapak tetap fokus dengan gawainya masing-masing. Telinga mereka seakan tuli dan
tak mengenali suara anak perempuan yang sedari tadi sudah memecah keheningan.
Air matanya seakan tidak terlihat dan tak mampu menembus keteguhan hati orang
tuanya. Keteguhan memandangi smartphone di tangan mereka. Sungguh menyedihkan
menjadi saksi dari peristiwa itu.
Saya agak terganggu dengan kebisingan
itu. Begitupun Nala yang sontak terdiam memerhatikan tangisan si anak perempuan
tersebut. Sorot matanya mengisyaratkan sebuah kata "kasihan". Ia
mendekati saya dengan masih menatap si anak perempuan. Saya memeluk Nala,
memberi perhatian meyakinkannya bahwa mamanya ini tidak akan seperti itu.
Pemandangan itu berlangsung cukup lama,
hingga seorang nenek tua menghampiri mereka. Si cucu berlari memeluk neneknya.
Mencurahkan emosinya yang sedari tadi diabaikan. Lalu beberapa sentuhan lembut
di rambut lurusnya langsung meredakan tangisnya. Dengan sabar si nenek mengajak
cucunya duduk di bangku lain. Beliau memangku si cucu dan menyerahkan sebuah
gawai sederhana. Nampak sekali gawai tersebut keluaran masa lalu. Tidak nampak
tombol qwerty di tubuh handphone tersebut. Bahkan layarnya pun tidak bergerak
saat disentuh. Hanya ada tombol naik turun, ke kanan dan kiri yang menjadi
pergeseran menu. Namun si cucu tetap mau menerima gawai tersebut meski jauh di
bawah kualitas milik bapak ataupun ibunya. Layar yang kecil tidak menjadikannya
menangis, hanya beberapa kali terlihat kekesalan saat menggeser tombol
perpindahan.
Ah, betapa miris menyaksikan itu semua.
Betapa kuatnya sihir sebuah gawai hingga mengalahkan rasa peduli orang tua pada
anaknya. Bahkan tangisan melengking tak mampu melenyapkan kekuatan gaib sebuah
benda tak bernyawa.
Kejadian ini menjadi teguran bagi saya.
Mengingatkan saya untuk menjaga batas agar tidak ikut tenggelam dalam buaian
gawai. Karena layaknya manusia normal, seorang anak pun ingin merasakan
keseruan memainkan smartphone yang ia lihat. Terlebih lagi jika ibu dan
bapaknya sangat asik menikmati layar sentuh tersebut. Tentu anak pun ingin ikut
andil dalam keseruan isinya. Bukan salah seorang anak jika begitu kuat menantap
layar handphone. Karena setiap waktu dia pun melihat orang-orang di sekitarnya
sangat menyukai cahaya dari benda canggih tersebut.
Setiap orang tua adalah teladan bagi
anak-anak mereka, maka berikan contoh yang baik agar anak tumbuh menjadi
pribadi yang baik pula.
#selfreminder
Posting Komentar