√Lavender Mengering
Header catatantirta.com

Lavender Mengering

Lavender Berseri dan Mewangi


Sore itu mendung menggelayut diiringi angin dingin dari arah selatan. Aku masih duduk menunggu, bertahan dari terpaan sang bayu yang mulai membekukan wajahku. Ku tatap sekeliling sudah mulai lengang. Kendaraan hilir mudik menjadi jarang melintas. Jarum pendek arloji di tangan kananku mendekati angka lima. Kurapatkan sweeter ungu kesayanganku.

Aku berdiri, mulai bolak-balik tak tentu arah. Gelisahku datang karena tak kunjung melihat hadirmu. 

Kemanakah kamu? 
Lupakan dengan janji kita sore ini?

Kembali kutatap arloji merah muda pemberian darimu. Ya, aku selalu menyukai apapun yang kamu berikan. Termasuk sweeter ungu yang sedang menghangatkan tubuh ini. Semua menjadi benda kesayangan dan kebanggaan yang selalu membalut ragaku.

Sepuluh menit berlalu, kamu tak kunjung datang. Kembali kusandarkan punggungku pada kursi taman bercorak bunga matahari. Gawaiku hanya diam menanti kabar darinya.

"Hai, Vio. Lamakah menungguku?" Lengan kekarnya tiba-tiba melingkar di leherku bersama bunga lavender digenggamamnya.

Aku terkejut sekaligus senang melihat kehadirannya. Ditambah serumpun bunga mungil berwarna ungu kesukaanku. Lavender. Ya, aku menyukai tumbuhan berdaun kecil dengan bunga ungu bergerombol nan cantik dan lembut. Kedamain selalu hinggap ketika aku menatap dan menyentuhnya. Segala kepenatan memuai saat aku bersama lavender. Menghabiskan senja hingga langit berubah gelap.

"Rei, terima kasih lavendernya. Jika kamu tidak membawanya, aku pasti sudah memukulmu." Aku membalas kedatangannya dengan mata berbinar.

Kami pun duduk berdampingan. Aku tidak peduli penyebab keterlambatannya. Bagiku kehadirannya sudah menghapus waktu tunggu yang telah berlalu. Keberadaannya di sisiku selalu membuatku tenang dan damai.
Rei diam beberapa saat, ia seperti menarik nafas cukup panjang. Menenangkan diri dari lelahnya. Aku memerhatikan wajahnya tanpa bosan. Dagu mengerucut ke bawah, hidung menjulang keluar, dan mata penuh bintang selalu membuat hati berdebar.

"Vio, maaf telah membuatmu menunggu. Setelah ini, aku mohon jangan lagi menunggu kedatanganku. Aku akan pergi dan mungkin tak bisa menemuimu lagi."

Rumpun lavender jatuh berserakan, lepas dari genggaman tanganku. Petir terdengar jelas di telinga tanpa ada kilat yang nampak di langit senja. Bergemuruh di dada dan menghancurkan hatiku. Nafasku berhenti seketika tertahan di kerongkongan. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja terdengar di telingaku. Tubuh ini kaku tak mampu bergerak. Aku diam seribu bahasa tak mampu berkata. 

Rei bangkit dari duduknya. Meletakkan sepucuk surat dipangkuanku. Memelukku beberapa detik kemudian pergi menjauh. Bayangannya menghilang , entak kemana ia pergi. Aku masih membatu dengan kekosongan jiwa dan raga. Tanpa air mata, tanpa suara, dan juga kedipan mata. Aku benar-benar hilang kesadaran.

Sunyi
Dingin
Kosong

*****
Tiga bulan berlalu

Lavender masih menjadi bunga favoritku. Meski dia menjadi saksi hancurnya hidupku kala itu, namun dia tidak bersalah. Lavender hanya perantara diantara runtuhnya cinta. Bukan inginnya berada di sana.

Surat ungu itu belum juga terbuka. Tiga bulan lamanya terkurung tanpa sanggup aku melihatnya. Ya, aku tidak berani mengetahui alasan kepergian Rei. 
Rei, sudah lama nama itu tidak keluar dari mulutku. 
Kini, aku pun belum sanggup membukanya. Aku belum siap menerima kenyataan yang mungkin akan membuatku semakin sakit. Biarkanlah
Kelak tangan ini akan meraih dan membukanya. Membaca barisan kata yang tak terduga.

Biarkan lavender itu mengering dan menemani hingga aku sanggup membukanya. Mengenang kembali masa yang telah terkubur lama.




#30DWCjilid13
#Day25

#Odopfor99days

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta