Kini Tiada Lagi |
Jejak dua pasang kaki membekas sepanjang pantai. Kala sore
menjelang dan penguasa siang bersiap untuk pulang. Semburatnya menyala jingga
berselimut kelabunya mega. Namun genggaman erat itu menuntunku menyusuri
hangatnya pasir hitam. Entah kekuatan apa yang mendorongku untuk terus berada
di sebelah bahu kananmu. Pertemuan dua telapak tangan hingga ke bahu memberi
kenyamanan yang begitu dalam. Ditambah pesonamu yang membuatku hilang
kesadaran.
Langkah kita terhenti pada tumpukan bongkahan batu yang
sengaja disusun rapi. Kuat dan kokoh menjadi pelindung tepian pantai agar tidak
terkikis amukan ombak. Kita duduk bersebalahan, mengantar sang raja siang
kembali ke peraduannya. Indah, sungguh indah lukisan Sang Maha Pencipta dunia.
Tanpa sadar, bahumu kini menjadi sandaran kepalaku. Seperti
hatiku yang perlahan kuserahkan sepenuhnya untukmu. Mempercayakannya padamu
agar menjaganya selalu, karena hati ini hanya satu dan kini telah menjadi
milikmu.
Berapapun aku melihat kesalahanmu, selalu terhapus oleh
curahan kehangatan ragamu. Aku terhipnotis setiap mendengar untaian kata yang
terlontar dari ranumnya bibirmu. Bahkan ketika dengan jelas menjadi saksi
kekerliruanmu, aku tak mampu untuk menghukummu. Bagiku, kamu terlalu sempurna
untuk sebuah kesalahan.
Pandanganku buram hingga keburukanmu nampak bias dan pudar.
Bersama dengan rayuan dan pengakuan, aku selalu mengakhirinya dengan senyuman.
Kesempatan itu terus bertebaran dalam setiap penyimpangan. Entah, aku pun tak
tahu mengapa kamu tak pernah pantas untuk disalahkan.
Semua kisah itu terus berputar di memoriku. Menggerogoti
sebagian jiwaku hingga lupa akan semua sisi dunia. Bahkan aku hampir lupa
dengan jati diriku. Semakin keras aku mencoba, maka bayanganmu semakin jelas di
pelupuk mataku.
Aku mohon padamu, pergilah jauh dan jangan pernah kembali.
Cukup sudah tangan ini terbuka untukmu. Kini tiada lagi peluk hangat karena
kebodohanku. Kesalahan fatal itu menjadi titik balik dimana aku akan pergi.
Membuang semua rekan jejak antara aku dan dirimu. Membakarnya hingga menjadi
abu dan tertiup sang bayu. Musnah, hilang tanpa bekas.
Aku sedang berusaha menata kembali serpihan jiwa dan ragaku.
Mengumpulkan sisa hidupku tanpa bayanganmu.
Sulit.
Ini memang teramat sulit. Namun aku akan berusaha bangkit
dengan kakiku sendiri. Persembunyian ini menjadi bagian dari caraku menghapus
butiran kisah masa lalu. Bukan untuk lari dari kenyataan, tetapi demi
membersihkan otakku dari pengaruh auramu. Jika ada alat tercanggih penghapus
memori, mungkin akulah orang pertama yang mengajukan diri. Berharap masa itu
tak pernah terbuka lagi. Lebur bersama rasa yang telah lama bersemayam.
Pergilah.
Aku tak akan pernah mengingatmu lagi. Bahkan ketika maut
datang menghampirimu, aku tidak akan sudi melihatmu untuk yang terakhir kali.
Malaikat maut memang sangat pantas menjemputmu. Aku menyetujuinya jika itu
segera terjadi. Tidak akan ada air mata untuk mengantar kepergianmu. Tidak akan
ada raungan tangis di atas gundukan tanah yang menimbun ragamu. Tawa bahagialah
yang akan tetuang saat aku benar-benar mendengar kabar itu. Bunga-bunga di atas
pusaramu menjadi tanda kebebasan atas kebodohan jiwaku.
Indah, kabar itu mungkin akan menjadi kabar terindah yang
terdengar setelah aku terbebas dari jerat busukmu. Aku akan mudah menghapusmu
dalam ingatanku. Terkubur bersama seonggok jasad penuh dosa.
Aku.
Aku telah melepas semua ikatan yang pernah ada antara kita.
Kini aku berjuang agar segera bebas dan meninggalkan semua itu. Enyahlah dari
hidupku. Biarkan lembaran baru terbuka dan membuat masa depanku lebih baik
tanpa hadirmu.
Kamu, enyahlah dari memoriku.
#30DWCjilid13
#Day16
#Odopfor99days
Posting Komentar