Keheningan menyelimuti ruang redup berukuran 4m x 4m itu.
Dua orang paruh baya saling merangkul tanpa suara. Hanya hela nafas terdengar
yang perlahan mulai berirama tenang.
"Bu, tidak usah khawatir. Saya akan menyelesaikan
masalah ini dnegan kepala dingin"
Saya pamit dengan mencium punggung tangannya. Di sana sumber
keberkahan dari setiap langkah hidup. Do'a dan cinta seorang ibu adalah pintu
kemudahan untuk berbagai masalah kehidupan anaknya. Saya yakin akan hal itu
yang membuat besarnya rasa hormat saya pada wanita yang telah banyak berjuang
demi melihat saya hidup bahagia.
"Ini surat - surat yang kamu minta. Semua sudah saya
baca dan pahami. Ada tandatangan saya di setiap lebar terakhir. Kamu tidak
perlu khawatir tentang biaya hidup Raka. Saya akan tetap bertanggungjawab atas
kehidupannya".
Dia menerima semua berkas tanpa suara. Hanya binar mata
bahagia yang kutangkap ketika menatapnya. Berkas yang kuterima dua bulan lalu.
Dengan berat hati dan penuh pertimbangan, kububihkan tandatanganku disetiap lembarnya.
Ya, aku menyerah atas semua yang telah terjadi.
Dia, wanita dari anak semata wayangku. Memilih pergi bersama
laki - laki yang tidak lain adalah rekan bisnisku.
Sakit. Sungguh sakit hati ini menerima semua kenyataan yang
ada. Aku tidak habis pikir bagaimana semua ini bisa terjadi. Kapan dimulainya ?
Dimana aku saat bibit - bibit itu muncul ? Mengapa aku tidak merasakan
kejanggalan yang tenyata sudah berlangsung hampir satu tahun lamanya ?
Semua pertanyaan itu terbongkar dua bulan yang lalu. Tepat di
hari ulang tahun pernikahan kami yang ke lima. Kado tak terduga yang entah apa
rasanya. Aku hanya mampu duduk terdiam. Bahkan untuk menampar wajahnya pun aku
tak sanggup. Ingin kuberlari memburu laki - laki biadab itu. Mengoyaknya hingga
nafasnya terputus. Tetapi semua tak sanggup kulakukan. Wajah itu memberatkan
kaki dan tanganku.
Janin berusia enam bulan itu bukan darah dagingku. Aku muak
memikirkan kapan benih itu tertanam. Aku, mengutuk diriku sendiri atas
kebodohan yang hinggap di ragaku. Aaaah, sungguh luka ini begitu luas dan
dalam. Namun aku tetap bertahan hingga tidak meradang.
Jika di luar sana ramai membicarakan para Pelakor, di
sini aku terpuruk menelan pahitnya penghianatan dari belahan jiwaku. Entahlah,
aku sudah tak mampu berpikir dampak dari kekejian ini. Aku hanya berharap,
tetap bisa menjadi bapak bagi Raka, anak semata wayangku.
Biarlah dia menghabiskan waktu bersama laki - laki
pilihannya. Masa bodoh bagaimana kehidupan mereka kelak. Semoga tidak ada
pelakor yang datang pada suami barunya. Karena rasa ini masih pada dalam luka
yang mendalam.
#RuangMenulis
#WritingTresnoJalaranSokoKulino
#Odopfor99days18Jan18
#WritingTresnoJalaranSokoKulino
#Odopfor99days18Jan18
Posting Komentar