Kertas Lipat |
Bagaimana mestinya agar bisa membuatmu kembali padaku ?
Segala upaya telah kulakukan demi mendapat sedikit saja simpati darimu. Entah terbuat
dari apa hingga kamu begitu kukuh tak bergeming. Bahkan ketika aku terlanjur terperosok
dalam palung kebodohan karena teramat mengiginkanmu. Mata ini berusaha untuk
terus terjaga, menatap layar biru. Menanti sebuah nama muncul dengan gambar
sebuah gagang telepon. Berdering, menandakan adanya panggilan yang selalu aku
nantikan.
Sesak dada ini, seperti air mendidih yang meletup - letup,
mendorong tutup panci hingga isinya meluber ke luar. Membuat hentakan -
hentakan, berteriak mengusir penghalang gelembung yang terus mengepul. Meminta
kebebasan agar terurai bersama udara yang tak terhingga jumlahnya. Tolong,
lepaskan aku dari belenggu karismamu yang terlanjur menyihir pikiranku. Aku
hampir mati mengingat semua pesonamu. Gerak - gerik yang begitu normal, namun
mampu menutup semua sudut mataku hingga hanya dapat melihatmu.
" Sam, kenapa kamu tega menelantarkanku. Setelah pendekatan
yang kamu lakukan, ini yang kamu sisakan untukku. Rasa lelah tak berujung. Kemana
lagi aku harus mencarimu?"
Pertanyaan tanpa jawaban itu sudah berlalu enam bulan
lamanya. Aku putus harapan, tidak ada sedikitpun informasi tentang keberadaanmu.
Facebook, Line, dan semua media sosial milikmu raib. Semua bersih tanpa jejak,
bahkan teman - temanmu pun mencari dirimu, sama seperti diriku.
Belum hilang dari ingatanku saat terakhir bersama denganmu.
Sebuah pesan whatsapp masuk ke gawaiku. Memberi komando agar menemuimu di
tempat favorit kita. Aku sungguh heran karena jam di dinding kamarku menunjuk
pada angka sembilan. Malam itu langit kelabu, rintik hujan mulai membasahi
tanah yang gelap. Tapi, karena itu permintaanmu, maka segera kulempar selimut
yang baru saja menutupi tubuhku.
Bersama si merah roda dua, hanya butuh waktu 30 menit untuk
sampai ke sana. Area parkir sudah mulai sepi, tentu karena esok menjadi tanda
berakhirnya akhir pekan. Aku tidak menemukan sosokmu, meski mataku telah menyebar
ke segala penjuru. Kusambar gawai dan menelponmu, namun tak tersambung.
" Non, Raras. Ini ada titipan dari mas Sam,"
Sebuah kertas lipat disodorkan pamam penjual es kelapa muda kesukaan kita.
" Hai, Rose. Aku hanyalah debu. Tersapu mengikuti angin
dan lebur tertimpa hujan." Sebaris kata yang kini mulai kupahami maknanya.
Meski sapaan itu bagian dari kedekatan kita, namun aku mulai
tidak menyukainya. Untuk apa panggilan itu kamu berikan, jika kini kamu
menghilang seperti debu yang memuai tersiram hujan. Sulit untuk mencari dan
menemukanmu kembali.
Enam bulan tentu waktu yang cukup untuk membuatku sadar,
bahwa kini kamu benar - benar pergi. Tidak ada alasan, tidak juga perselisihan.
Semua baik - baik saja, wajar dan biasa. Minggu yang selalu kita lalui di taman
kota dengan es kelapa muda sebagai menu utama. Tak ada tanda seikitpun akan
hadirnya sebuah kertas lipat pengantar hancurnya hati ini. Hari demi hari
setelahnya, aku tidak lagi bisa melihatmu. Setiap kenalan yang kutemui selalu
menggeleng dan mengerdikkan bahunya dengan tatapan penuh tanya. Berminggu -
minggu kutunggu kabar darimu, namun semua sia - sia. Hanya pekat yang kulihat
setiap menatap kenangan indah yang telah kita lalui bersama.
Kini aku menyerah. Kusimpan semua keindahan jalannya hariku
bersamamu. Menegakkan wajah dan kembali menapakkan kaki pada kenyataan. Nyata,
bahwa kini kamu telah tiada.
Posting Komentar