Bagian Tiga
" Hai, Ran. Maaf sudah nunggu
lama ya. Ayo cepat ke ruang pak Gun. Kita sudah sangat terlambat." Seza
menarik lenganku.
Kami berjalan melintasi ruangan tadi. Di sana, dia masih ada
di sana. Aku melihat punggungnya di dalam ruangan itu, sepertinya aku semakin
hafal punggung itu.
Pak Gunawan terlihat kecewa melihat
kehadiran kami. Hampir satu jam kami terlambat, wajar saja beliau marah. Ini
gara - gara Seza, nyaris saja pak Gun menolak untuk meladeni kami. Kami meminta
maaf padanya atas keterlambatan kami. Beruntung aku berhasil meluluhkan
hatinya, sehingga beliau sudi melanjutkan bimbingan skripsi hari itu.
"Wah, kamu memang cocok jadi
novelis, Ran. Kata - katamu itu ampuh, meredakan merah di pipi pak Gun. Ada
gunanya juga berguling - guling sambil baca novel," Seza meledekku.
”Awas kamu Za. Puas meledekku.
Sudah habiskan saja minumanmu itu. Aku sudah bosan melihat kantin hari ini. Ayo
cepat kita pulang," Kusodorkan es teh manis ke mulutnya agar segera
berhenti mengejekku.
"Baiklah Paramita Maharani.
Ini bukan sepenuhnya salahku loh. Pertemuan tadi membahas rencana pemilihan
ketua dan pengurus Pecinta Alam yang baru. Kepengurusan harus segera dialihkan
karena kami akan fokus pada skripsi masing - masing," Seza mencoba membela
diri.
Matahari mulai condong ke barat
dengan sinarnya yang meredup. Kami meninggalkan kantin yang mulai sepi.
Berjalan menyusuri trotoar, menikmati semilir angin menjadi rutinitas kami
setiap hari. Jarak antara kampus dengan kos kami tidak begitu jauh, sehingga
berjalan kaki menjadi pilihan kami. Banyak hal seru yang bisa kami dapatkan
sepanjang jalan menuju kos.
Sesampainya di kamar kos, aku
segera mengeluarkan novel yang baru saja kubeli. Aku sudah ambil posisi paling
nyaman untuk menikmati untaian kata yang membawaku jauh, tenggelam dalam kisah
romantis.
"Rani, sebaiknya kamu simpan
dulu novel itu. Ingat pesan pak Gun tadi, banyak susunan kata yang kurang tepat
pada skripsimu," Seza melotot, melihatku menyobek plastik tipis pelindung
novel.
"Baiklah, Seza
Rahmadina," Kugapai kembali tas ransel yang baru saja turun dari
punggungku.
(Bip bip, bip bip) Tiba - tiba
ponsel Seza berdering. Pias wajahnya berubah, ada semburat merah muda menghiasi
wajahnya. Matanya fokus pada layar di tangan kanannya, senyum tipis mengembang.
Terlihat rona bahagia di mimik wajahnya. Beberapa minggu ini, Seza memang
sering seyum - senyum sendiri. Aku tidak ingin bertanya padanya, karena dia
akan menceritakan sendiri segala yang dialaminya. Jika tidak diceritakan maka
aku tidak akan menanyakannnya. Kami memang bersahabat, tetapi kami bisa menjaga
privasi masing - masing.
Aku menatapnya penuh curiga dan
sepertinya Seza menyadari perhatianku itu.
"Hei, Ran. Hentikan tatapan
itu. Aku belum siap menceritakannya padamu. Suatu hari nanti, aku akan membuka
semuanya." Aku mengangguk tanda setuju.
Seza kembali menatap layar
laptopnya, kembali fokus mengerjakan sesuatu. Akupun menelan ludah. Meredakan
rasa penasaranku atas apa yang terjadi pada sahabatku ini. Biarlah, dia akan
curhat di waktu yang ia inginkan.
Jam dinding kamar kos menunjukkan
pukul 19:00. Koreksi skripsi sudah rampung. Gerimis ringan masih menghiasi
langit, membuat para bintang bersembunyi, entah dimana mereka berada.
"Za, kayaknya enak nih bikin
mie rebus plus telor. Kamu mau ga?"
"Ga dulu ya, Ran. Sebentar
lagi aku mau keluar, ada yang harus lakukan," Seza memasukkan buku dan
sebuah flashdisk ke dalam tasnya.
"Kamu mau kemana, Za? Di luar
gerimis loh. Mau aku temani?" Seza menggeleng. "Aku cuma sebentar, kamu
masak sendiri dulu ya."
Seza pamit, ia nampak bersemangat
menembus gerimis malam itu. Aku semakin curiga atas sikapnya itu. Kemana dia
akan pergi ? Siapa yang ingin ditemuinya?
Satu jam berselang, ponselku
berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tidak kukenal.
"Seza pingsan, tolong segera
ke Klinik Permata Bunda"
Aku terkejut. Kuhempaskan novel
yang baru saja kupegang. Seza, apa yang terjadi dengannya. Secepat kilat aku
berlari. Beruntung masih ada tukang ojek tak jauh dari kos. Sekitar sepuluh
menit aku sampai di Klinik Permata Bunda. Aku kembali berlari, bertanya pada
penjaga klinik. Kemudian seorang perawat mengarahkanku ke sebuah ruangan, di
sana Seza terbaring lemah. Tunggu, di sisi kanan bangsal berdiri seseorang yang
kukenal. Tubuhnya menghadap ke arah Seza sehingga hanya punggungnya yang
terlihat. Tapi aku paham betul pemilik punggung itu. Si apel merah. Ya, itu si
apel merah.
Aku berjalan mendekat, nampak Seza
masih memejamkan mata dengan perban di kepalanya. Lelaki itu menyadari
kehadiranku, dia menoleh. Tubuhnya mundur beberapa langkah, memberi ruang agar
aku bisa mendekati Seza. Kupegang tangannya, dingin sekali. Matanya terpejam,
nampak seperti sedang tertidur pulas.
"Bisa kita keluar sebentar,
aku ingin bicara," Suara itu menghentikan tetes tangisku.
Aku mengikutinya, berjalan
memandang punggung itu. Ada rasa berbeda yang tidak aku mengerti setiap
melihatnya. Kami duduk di luar ruangan tempat
Seza terbaring. Baru saja ingin kutanyakan apa yang terjadi, dia sudah memulai
percakapan.
"Sebelumnya aku minta maaf,
aku tidak tahu harus menghubungi siapa. Aku tahu kamu dan Seza sering bersama,
jadi aku mengabarimu."
"Apa yang sebenarnya terjadi,
kenapa Seza bisa jadi seperti ini?"Aku penasaran.
Sesaat suasana menjadi hening. Aku
menunggu penjelasan darinya. Dia nampak menarik nafas dalam, seperti menata diri.
"Aku meminta Seza untuk
merekap hasil pertemuan siang tadi. Sebagai sekretaris, aku menugaskannya agar
selesai malam ini dan menyerahkannya padaku. Berhubung gerimis tidak kunjung reda aku berniat membatalkannya.
Namun, Seza bilang bahwa tidak masalah dengan gerimis ini. jadi kami sepakat
bertemu di warung Pakde Moro. Saat Seza sampai dan baru saja duduk, tiba - tiba
Via datang. Via itu anak dari teman ibuku. Dia menjadi pilihan ibuku sebagai
calon pendamping hidupku. Via mengira bahwa Seza adalah wanita yang menjadi
penyebab penolakanku padanya. Tanpa aku sadari ternyata Via membuntutiku. Dia
menyerang Seza, membuat Seza jatuh dan pelipisnya terbentur ujung meja. Aku
sungguh minta maaf, tidak ada niat membuat Seza jadi seperti ini."
Aku diam. Tidak ada yang bisa aku
katakan. Semua bercampur aduk di kepalaku. Jadi, selama ini yang membuat Seza
berseri - seri adalah si Apel merah. Seza menembus gerimis hanya untuk bertemu
dengannya. Apakah Seza menaruh hati padanya? Lalu Via, wanita lain di kehidupan
si Apel merah. Ah, entah kenapa aku malah memikirkn hal itu.
Aku ini siapa? Aku
tidak punya hak mencampuri kehidupannya.
( Bersambung )
Posting Komentar