"Rani, bagaimana skripsimu?
Aku tidak melihat buku lain kecuali novel - novel romantis di mejamu ini?"
Seza mengusik kesenanganku.
"Tenang aja, Za. Aku sudah
mulai menyusun kata pengantar," Mataku tidak beranjak dari novel yang
kubaca.
"Kata pengantar ? Aduh, yang
benar aja donk, Ran. Apa kamu tidak ingin lulus tepat waktu? Atau kamu mau
bikin skripsi soal kisah - kisah romantis?" Gerutu Seza.
"Wah, boleh juga itu Za. Usul
yang sangat brilian," Timpalku padanya.
"Paramita Maharani!" Seza
mulai kesal dengan jawabanku yang semena - mena. Dicubitnya kedua pipiku hingga
memerah. Akupun menyerah, meletakkan novel yang belum selesai.
"Iya, Seza Rahmadina. Udah
donk jangan manyun gitu. Aku pastikan skripsiku selesai tepat waktu dan kita
akan memakai toga di hari yang sama." Kupeluk teman sekamar yang sudah
menjadi sahabatku itu.
Seza, tingginya sekitar 160 cm, rambut lurusnya
sangat terawat, dua lesung pipi menghiasi wajahnya. Dia selalu menjadi teman
yang baik, tempat berbagi suka dan duka. Aku mengenalnya awal semester tiga ketika
pindah dari tempat kos yang lama. Dimana ada Seza,di situ ada Rani. Kenapa ?
Karena kami satu jurusan dan kamar kos yang sama. Kami juga sempat mendapat
predikat "kembar", karena seringnya kami memakai pakaian dan asesoris
yang sama. Ya, begitulah kami, berbeda tetapi sama.
Sore itu, kami berjalan menjauhi kampus menuju
rumah kos. Ada setitik gerimis menghiasi awan di langit cerah. Tiba - tiba aku
melihat punggung itu, punggung yang dua kali meninggalkanku. Meski hanya dua
kali, tetapi entah mengapa aku masih mengenalinya. Ah, dia si apel merah.
"Ran, kamu kenal dia?"
Dagunya maju sekitar satu centimeter. Matanya sedikit ke atas, memberi kode
tepat pada laki - laki di depan kami.
"Oh, tidak. Memangnya
kenapa?"
"Dia itu idolanya gadis -
gadis Pecinta Alam. Banyak mahasiswa baru yang gabung hanya untuk mendekatinya.
Menyebalkan sekali melihat adik kelas kegatelan, bergaya di depan dia,"
Seza nampak menggerutu. Ada pandangan yang berbeda pada punggung itu. Entahlah,
baru kali ini aku melihat sepintas cemburu di raut wajahnya.
Pantas saja hampir tidak pernah aku
melihatnya. Aku tidak tertarik dengan aktifitas itu. Naik gunung, mendaki
bukit, lewati lembah. Eh, udah kayak Ninja Hatori. Seza memang tergabung dalam
komunitas Pecinta Alam yang identik dengan naik gunung. Bersih - bersih sampah
sepanjang pendakian dan bergelut dengan gelapnya alam. Ah, aku tidak suka
petualangan itu. Lebih nyaman berada di kamar sambil membaca novel kesayangan.
Meski sudah mengurangi aktifitasnya semenjak semester enam, tetapi Seza masih
sering datang saat ada pertemuan rutin. Sabtu pagi, jadwal perkumpulan itu. Aku
tahu karena setiap sabtu pagi Seza selalu rapi, sedangkan aku masih berkutat
menyelesaikan novelku.
"Ran, aku berangkat dulu ya.
Kamu jadi beli novel baru?" Seza sudah siap menghadiri pertemuan rutin
Komunitas Pecinta Alam.
"Ya, nanti jam sembilan. Pagi
buta gini toko buku belum buka juga kali," Kembali kubenamkan kepalaku.
"Ya, aku juga tahulah. Kamu
ini betah banget sama bantal bau itu. Jangan lupa, nanti siang kita mau ketemu
pak Gunawan," Seza meledek dan berlalu. Hari ini memang kami ada janji
dengan pak Gunawan, dosen pembimbing skripsi.
Setelah mendapatkan beberapa novel,
aku segera ke kampus. Kantin menjadi pemberhentian awal siang itu, aku memesan
jus jeruk penghilang dahaga. Hampir 20 menit berlalu, Seza belum juga
menampakkan batang hidungnya hingga minumanku mulai menyusut. Padahal kami
sudah sepakat untuk bertemu di sini. Bosan menunggunya, akupun beranjak ke
markas para Pecinta Alam. Ya, dugaanku benar. Pertemuan mereka belum juga
selesai. Pintunya masih tertutup rapat. Beberapa ujung kepala nampak dari balik
jendela kaca. Semua sedang serius mendengarkan paparan dari seseorang. Suara
itu, aku mengenalnya. Aku memberanikan diri mengintip dari jendela paling
belakang. Dia, si pemberi buah cinta berdiri di depan yang lain. Sepertinya
akan ada re-organisasi di tubuh perkumpulan itu. Tepatnya akan ada pemilihan
ketua baru.
Tanpa sadar, matanya menuju padaku.
Aku terbuai wajah dan suaranya hingga menampakkan wajahku di balik kaca
jendela. Sial, kaca itu tembus pandang. Aku segera menarik tubuhku, menjauh
dari kaca. Dia memang terlihat mengagumkan, pantas saja banyak wanita yang
menyukainya. Tubuhnya padat berisi, tinggi sekitar 170 cm, gaya rambutnya
sangat serasi dengan bentuk wajahnya yang persegi. Perpaduan yang sempurna
untuk seorang laki - laki.
"Ah, ada apa denganku. Kenapa aku jadi memikirkan dia. Tahan, tarik nafas panjang, keluarkan. Tenangkan dirimu, Rani." Aku segera duduk di bangku taman, tak jauh dari jendela transparan itu.
Semoga dia tidak mengenaliku, do'aku
mengiringi langkah kaki, mundur teratur.
(Bersambung)
Waah cinta pada pandangan pertama, hehehe... Lanjutkan mba Dwi...
BalasHapusSiap Widya.,Terima kasih
HapusWaah cinta pada pandangan pertama, hehehe... Lanjutkan mba Dwi...
BalasHapusSiap Widya.,
HapusPenasaran lanjutannya.
BalasHapussemoga ga mengecewakan ya, Naris.
HapusPenasaran lanjutannya.
BalasHapus