√Apel Merah, Si Buah Cinta
Header catatantirta.com

Apel Merah, Si Buah Cinta


Bagian Empat

Seza, benarkah dia menaruh hati pada si apel merah? Lalu apakah si apel merah juga punya rasa yang sama? Rumit, benar - benar rumit. Aku tidak percaya apa yang sedang ku alami. Kejadian seperti ini biasanya aku dapatkan pada novel yang ku lahap. Tapi sekarang, aku berkubang dengan kasus yang sama. Aku harus mencari jawaban atas rasa yang ada ketika melihat punggung itu. Letupan - letupan di sudut hati yang tidak bisa kukendalikan. Aku sendiri tidak mengerti. Apakah ini sebuah tanda cinta? Tidak mungkin. Bagaimana bisa hanya melihat punggungnya, aku menyerahkan hatiku padanya. Dia, lelaki yang bahkan namanya saja aku tidak tahu.
Tunggu, pesan singkat kemarin. Darimana dia mendapat nomor ponselku. Haruskah aku bertanya padanya dan meminta penjelasan. Ah, tidak berguna.

(Beeep, beeep, beeep ) Sebuah pesan singkat masuk.
Oh, Tuhan. Baru saja aku bertanya, Engkau sudah menjawabnya.
"Rani, jika ada waktu, aku tunggu di alun - alun kota pukul 5 sore ini."
 Tanganku gemetar, mata ini tidak berkedip memandang layar ponsel. Nomor itu, meski aku belum sempat memberinya nama, tetapi tidak salah lagi adalah nomor si apel merah. Hal apa yang membuatnya ingin bertemu denganku?

Pukul 5 sore? itu berarti setengah jam lagi. Jarak dari kos ke alun - alun kota memang tidak terlalu jauh. Cukup berjalan kaki sekitar 20 menit sudah bisa melihatnya. Tetapi bagaimana aku bisa pergi, sedangkan Seza masih membutuhkanku. Walaupun tidak rawat inap, tetapi luka dikepalanya cukup serius. Apa yang harus aku katakan pada Seza kalau aku harus pergi meninggalakannya bertemu dengan si apel merah. Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya. Aku juga tidak tega meninggalkannya sendirian.

Lama aku tak bergerak, memegang ponsel tanpa kamera. Ada pertempuran hebat di dalam hati penuh kekacauan. Kutatap Seza yang masih terbaring pulas, perban di kepalanya masih belum di lepas.

"Tuhan, bantu aku keluar dari kegaduhan ini. Dadaku semakin sesak terhimpit banyak praduga."
"Maaf, aku tidak bisa menemuimu. Jika ada hal penting, kirim pesan saja." Susah payah kutulis kata - kata itu.

Kembali kutatap teman sekamar yang juga sahabatku itu. Biarlah kusimpan rapat rasa ini hingga ku yakin atas perkiraanku bahwa Seza punya rasa khusus pada si apel merah. Kutahan  pertanyaan yang menyesakkan itu menunggu penjelasan langsung darinya. Perlahan kondisi Seza mulai membaik. Dua hari kami tidak ke kampus. Setelah memeriksakan diri ke klinik dan melepas perban di kepalanya, Seza berniat kembali ke kampus.

"Ran, maafkan aku. Tentang Putra, sudah kuputuskan untuk menghentikan harapanku. Ada wanita lain yang sudah siap menjadi pendampingnya. Aku jatuh hati padanya, tetapi hati ini akan segera bangkit dan meninggalkannya. Cukup untuk semua rasa yang belum sempat aku sampaikan padanya. Aku akan fokus menyelesaikan skripsi. Jodoh itu sudah diatur, dengan siapa dan kapan dia akan datang, sudah tergariskan. Aku yakin akan hal itu."

Jadi apel merah itu bernama Putra dan Seza benar menyukainya. Aku memeluknya, mencoba meredakan airmata yang membasahi pipinya. Harusnya aku senang atas mundurnya Seza, tetapi aku sedih melihat sahabatku patah hati. Aku ikut terbenam dalam kesedihan itu. Dia, penyebab duka sahabatku. Kutengok ponselku, jam digital menunjukkan pukul 20.00 WIB dan  tidak ada pesan baru dari si apel merah.

Hari berganti minggu, bulanpun berlalu. Akhirnya toga itu kami kenakan bersama, di hari bahagia. Untuk pertama kalinya aku berkenalan dengan orang tua Seza, orang tua kami saling berkenalan. Kami mengadakan foto wisuda di sebuah studio foto yang sebelumnya telah kami booking. Setelah prosesi wisuda selesai, kami segera menuju studio foto. Seza mendapat nomor antrian lebih dulu, aku menyusul setelahnya. Ketika sedang menunggu, tiba - tiba aku melihatnya. Berbalut setelan toga, dia nampak lebih dewasa. Aku sengaja menunduk, berharap dia tidak melihatku. Tapi sepertinya terlambat, keberadaanku sudah tertangkap olehnya. Aku pun beranjak ke toilet, tidak ingin aku melihatnya.

"Rani, lama sekali kamu ke toilet. Sini bunda kenalkan pada teman bunda. Ini Tante Rosi, dia teman sekamar saat bunda kuliah dulu. Ternyata anaknya satu kampus denganmu dan hari ini juga wisuda. Kamu kenal tidak dengan dia." Bunda menunjuk seorang wanita seumurannya bersama anak laki - laki di sebelehanya. Dia, orang aku hindari. Benarkah yang aku lihat? Apel merah berdiri tepat di sebelah teman dari bundaku. Tubuhku membeku, dadaku sesak, seperti ada geranat yang siap meledak.

"Hai, aku Putra. Salam kenal."



( Bersambung )

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta