√Kutemukan Dia di Gedung Tua
Header catatantirta.com

Kutemukan Dia di Gedung Tua




"Mau jadi apa kamu, hah ? Anak tidak berguna, menyusahkan orang tua. Ibu malu punya anak seperti kamu. Pergi! Ibu tidak punya anak sepertimu!" Umpatan itu masih terus berdengung di telinganya. Sebesar apapun usahanya untuk menghapus kalimat itu, tetap saja terus memenuhi otaknya.

"Ren, kamu tidak ingin menjenguknya walau sebentar?" Tanyaku mengisi keheningan.
Ruangan ini terasa sepi, meski berbagai poster  para personil Linking Park  memenuhi dinding putih yang mulai pudar. Sudah hampir satu tahun lamanya kami tinggal seatap. Waktu yang cukup untuk mengenal pribadi kami masing - masing. Rendra yang sudah ku anggap seperti adik sendiri.

Masih sangat melekat diingatanku ketika pertama kali kami berjumpa. Di sebuah gedung tua yang setiap hari aku lewati selepas bekerja. Sore itu, hujan turun tiba - tiba. Tidak nampak mendung, langitpun masih terlihat terang. Titik - titik air berjatuhan cukup deras, memaksaku berteduh. Langkah kakiku berbelok ke gedung tua tak terurus itu, sepi hanya aku dan hujan yang semakin deras diiringi awan kelam yang mulai membuat gelap. Beruntung aku cepat berlari sebelum tubuhku basah. Mataku terhenti di salah satu sudut gedung, ternyata bukan aku saja yang ada di gedung tua itu. Tapi tunggu, sosok itu seperti tidak bergerak. Melingkar dengan kepala menelungkup sehingga wajahnya tak terlihat.

"Hai, dik. Apa yang sedang kamu lakukan di sini. Apa kamu baik -baik saja?" Ucapku penasaran. Namun, sosok itu tidak bergeming. Diam, tidak ada respon sedikitpun. Rasa penasaranku menyeruak. Jangan - jangan dia pingsan, atau bisa jadi sudah mati. Perlahan aku mendekatinya, terlihat tubuh itu tengah menggigil. Aku semakin dekat dengannya, hanya sekitar dua meter lagi aku bisa meraihnya.

"Jangan pedulikan aku. Aku tidak apa - apa." Suaranya muncul dari balik tubuh yang melengkung seperti udang.  

Akupun menghentikan langkahku. Tubuh berbalut kaos hitam dan celana biru donker  yang terlihat sudah lusuh itu masih menggigil. Aku yakin kalau dia dalam kondisi yang tidak baik.

"Sorry, kamu yakin tidak apa - apa, sepertinya kamu sakit." Aku mencoba berbicara padanya.
"Kalau kamu punya sedikit makanan, itu bisa menolongku." Suaranya terdengar parau.

Aku ingat masih menyimpan sebungkus roti yang aku beli sebelum pulang bekerja tadi. Aku mengeluarkannya, berjalan mendekatinya perlahan.

"Aku punya sedikit roti, apakah kamu juga mau minum teh untuk menghangatkan tubuhmu?" Tubuh itu menampakkan wajahnya bersamaan dengan roti yang ku letakkan di dekatnya.
 
"Hujan sudah mulai reda. Ayo, kita ke kedai dekat sini. Kamu bisa makan dan minum apa saja, aku mentraktirmu." Perlahan aku berjongkok di sebelahnya. 

Wajahnya nampak kumal, rambut pendeknya tidak beraturan, bisa dipastikan dia tidak mandi selama beberapa hari. Dia mulai duduk, sejenak melihatku sambil mengunyah sepotong roti dengan rakus. Mulutnya penuh dengan roti tanpa menunggunya masuk ke tenggorokan. Aku mengajaknya ke kedai terdekat. Memesan dua camgkir teh manis hangat dan mie rebus. Dia, masih mengikuti langkahku tanpa berkata apa - apa.
Aku memperhatikan, menunggunya menghabiskan semangkuk mie rebus rasa ayam bawang dengan telur mata sapi dan taburan bawang goreng di atasnya. Dari cara makannya terlihat jelas sudah lama perutnya hanya terisi angin yang mebuatnya menggigil di gedung tua. Tercium bau kurang sedap dari tubuhnya yang kumal, sudah pasti tidak ada guyuran air selama beberapa hari. Sebuah tas hitam nampak tak terisi, hanya sebagai hiasan punggungnya yang ringkih.

"Terimak kasih, kak. Aku berhutang padamu. Semoga kelak aku bisa membayar kebaikanmu ini." Suaranya sedikit ringan dan wajahnya mulai segar.
"Kalau boleh tahu, apa yang kamu lakukan di gedung tua. Apak kamu tersesat?" Perlahan aku utarakan rasa penasaranku. Namun, dia hanya menggeleng. Wajahnya melihat sepatu hitam dengan garis putih di bagian bawah.
"Lalu, apa kamu sebatang kara?" Dahiku mulai berkerut, dibalas anggukan yang hampir tidak terlihat.
"Kalau begitu, maukah kamu ikut denganku? Kamu bisa tinggal denganku untuk sementara waktu." Dia kembali menganggukkan kepalanya.

Kamipun berjalan menyusuri trotoar yang basah setelah diguyur hujan deras yang membuat kami bertemu. Perjalanan menjadi lebih lama dengan adanya dia di belakangku. Langkah kakinya masih menaruh keraguan. Jalanan yang biasa ku lewati sepulang bekerja menjadi lebih panjang. Jarak tempatku bekerja tidak terlalu jauh dengan tempat tinggalku. Sengaja aku mencari kos yabg dekat demi menghemat pengeluaran. Meski aku hidup sendiri, tapi aku harus menyisihkan gajiku yang tidak besar sebagai bekal masa depan yang entah akan seperti apa.
Sesampainya di tempat kos, aku memberinya handuk dan pakaian ganti. Dia menyambutnya tanpa suara, hanya mengangguk dengan tatapan melihat lantai. Kami bergantian mandi, karena akupun ingin menyegarkan diri selepas bekerja. 

"Siapa namamu?" Aku membuka pembicaraan.
"Rendra" Jawabnya singkat.
"Aku Yusuf. Kalau boleh tahu, darimana asalmu?" Ku coba mengorek identitasnya lebih jauh.

Dia membisu. Aku melihatnya menitikkan butiran bening di ujung matanya. Beberapa kali punggung tangannya menyeka butiran yang cukup banyak. Isaknya mulai terdengar, seperti ada beban yang sangat berat dalam hidupnya. Apakah dia baru saja kehilangan keluarganya? Atau dia telah mengalami hal yang mengerikan. Kekerasan atau pelecehan yang belakangan  ini sedang  marak diperbicangkan. Ah, entahlah. Aku hanya bisa menunggu air mata itu berhenti agar dadanya tidak lagi sesak. 

"Sudah kalau kamu belum mau bercerita, istirahatlah." Aku meninggalkannya melampiaskan gundah yang ada di hatinya.

Pagi menyapa. Aku melihatnya sudah terjaga, atau mungkin dia tidak tidur semalaman. Aku  menelan pertanyaan yang tidak perlu aku utarakan. Hari itu, aku mengajaknya ke bengkel tempatku bekerja. Kami kembali menyusuri trotoar yang masih basah akibat hujan kemarin. Aku memperkenalkannya pada bosku di bengkel. Meminta ijin dan meminta pekerjaan apa yang bisa dilakukannya. Beruntung pak Jodi memberinya tugas membersihkan bengkel dan bantu - bantu apa saja jika dibutuhkan. Aku berpesan padanya agar berlaku baik dan dia menyetujuinya. Sepanjang hari aku memperhatikannya. Dia anak yang cukup rajin dan cekatan. Hasil kerjanya yang bagus membuat pak Jodi menerimanya sebagai karyawan bengkelnya. Walau saat itu usianya masih lima belas tahun, tetapi pak Jodi bersedia menerimanya setelah aku memberinya penjelasan bahwa Rendra sebatangkara.

"Rendra, datanglah padanya walau sebentar. Dia pasti merindukanmu. Di dunia ini tidak ada yang namanya mantan anak." Aku mencoba membujuknya.

Airmata itu mengalir kembali setelah hilang satu tahun yang lalu. Dia duduk  terisak. Aku tahu bagaimana perasaanya saat ini. Tidak mudah kembali ke rumah yang menjadi saksi betapa dia tidak berarti. Sangat berat bertemu wanita yang telah mencampakkannya hanya karena dia tidak berprestasi seperti saudaranya yang lain. Dia yang selalu menjadi nomor dua setelah kelahiran adik bungsunya di usianya yang belum genap dua tahun. Kasih sayang yang belum terpuaskan. Kemandirian yang dipaksakan. Mengalah yang belum dipahaminya saat itu. Iri melihat adiknya terus diperhatikan dan dirinya selalu mendapat teriakan kemarahan sang ibu. Dia yang selalu menjadi sumber kesalahan dari semua yang terjadi. Semua itu membuatnya jadi pribadi pendiam, memendam apapun yang ia rasa. 

Sialnya, ketika untuk pertama kalinya dia membolos bersama teman - temannya dan bertemu dengan sekelompok pelajar lain yang ternyata musuh dari salah satu temannya itu. Tawuran antar pelajar yang banyak terjadi dan dia berada di sana. Dia yang tidak tahu apa - apa ikut terjaring polisi yang datang. Beruntung hanya luka - luka kecil yang di dapat. Beberapa temannya hampir saja mati akibat tawuran brutal itu. Dalam ketakutannya di kantor polisi, orang tuanya berhasil membawanya pulang. Namun apa yang terjadi di rumah ternyata lebih menakutkan dari tawuran yang dialaminya. Ibu yang seharusnya memeluk dan mengkhawatirkannya justru berbalik memaki - maki. Menghujaninya dengan kata - kata yang sangat menyakitkan tanpa mendengar penjelasannya sedikitpun. Ayahnya hanya bisa diam. Ayahnya memang selalu begitu, tidak ada kekuatan untuk melawan sang ibu.

Puncak dari kemarahan ibunya adalah pengusiran atas dirinya. Entah bagaimana seorang ibu bisa mengusir anaknya keluar dari rumah yang seharusnya memberi kedamaian. Aku rasa saat itu ibunya sedang hilang akal hingga berlaku sangat tidak adil. Buktinya, sang ibu mencari dirinya tidak lama setelah dia pergi. Namun, Rendra yang saat itu dalam kekalutan justru bersembunyi dan menjauh dari keluarganya. Hingga aku bertemu dengannya di gedung tua. Berulang kali aku membujuknya untuk kembali pada keluarganya. Terlebih lagi ibunya yang saat ini tengah sakit dan sangat merindukannya. Ibu yang dulu mengusirnya itu telah sadar dari kesalahannya satu tahun yang lalu hingga membuatnya merana. Memikul rindu dari kesalahan yang dia perbuat pada anak lelakinya yang berusia lima belas tahun. Kerinduan itu menggerogoti tubuh dan pikirannya hingga ia jatuh sakit. Ibu yang ingin memeluk anak lelakinya dan memohon maaf. Meski telah di usir dan menjauh dari keluargnya, Rendra tetap mengikuti kehiduoan keluarganya secara diam - diam. Aku tahu dalm hati kecilnya ada kerinduan yang juga sama  seperti yang ibunya rasakan.

"Rendra, temuilah ibumu. Dia sangat merindukanmu. Jangan sampai ada penyesalan yang akan menimpamu di kemudian hari." Sekali lagi aku membujuknya.

Diam. Dia masih membisu.








#SerpihanCahaya

#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis
 



Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta