"Mau
jadi apa kamu, hah ? Anak tidak berguna, menyusahkan orang tua. Ibu malu punya
anak seperti kamu. Pergi! Ibu tidak punya anak sepertimu!" Umpatan itu
masih terus berdengung di telinganya. Sebesar apapun usahanya untuk menghapus
kalimat itu, tetap saja terus memenuhi otaknya.
"Ren,
kamu tidak ingin menjenguknya walau sebentar?" Tanyaku mengisi keheningan.
Ruangan
ini terasa sepi, meski berbagai poster
para personil Linking Park
memenuhi dinding putih yang mulai pudar. Sudah hampir satu tahun lamanya
kami tinggal seatap. Waktu yang cukup untuk mengenal pribadi kami masing -
masing. Rendra yang sudah ku anggap seperti adik sendiri.
Masih
sangat melekat diingatanku ketika pertama kali kami berjumpa. Di sebuah gedung
tua yang setiap hari aku lewati selepas bekerja. Sore itu, hujan turun tiba -
tiba. Tidak nampak mendung, langitpun masih terlihat terang. Titik - titik air
berjatuhan cukup deras, memaksaku berteduh. Langkah kakiku berbelok ke gedung
tua tak terurus itu, sepi hanya aku dan hujan yang semakin deras diiringi awan
kelam yang mulai membuat gelap. Beruntung aku cepat berlari sebelum tubuhku
basah. Mataku terhenti di salah satu sudut gedung, ternyata bukan aku saja yang
ada di gedung tua itu. Tapi tunggu, sosok itu seperti tidak bergerak. Melingkar
dengan kepala menelungkup sehingga wajahnya tak terlihat.
"Hai,
dik. Apa yang sedang kamu lakukan di sini. Apa kamu baik -baik saja?"
Ucapku penasaran. Namun, sosok itu tidak bergeming. Diam, tidak ada respon
sedikitpun. Rasa penasaranku menyeruak. Jangan - jangan dia pingsan, atau bisa
jadi sudah mati. Perlahan aku mendekatinya, terlihat tubuh itu tengah
menggigil. Aku semakin dekat dengannya, hanya sekitar dua meter lagi aku bisa
meraihnya.
"Jangan
pedulikan aku. Aku tidak apa - apa." Suaranya muncul dari balik tubuh yang
melengkung seperti udang.
Akupun
menghentikan langkahku. Tubuh berbalut kaos hitam dan celana biru donker yang terlihat sudah lusuh itu masih menggigil.
Aku yakin kalau dia dalam kondisi yang tidak baik.
"Sorry,
kamu yakin tidak apa - apa, sepertinya kamu sakit." Aku mencoba berbicara
padanya.
"Kalau
kamu punya sedikit makanan, itu bisa menolongku." Suaranya terdengar
parau.
Aku
ingat masih menyimpan sebungkus roti yang aku beli sebelum pulang bekerja tadi.
Aku mengeluarkannya, berjalan mendekatinya perlahan.
"Aku punya sedikit roti, apakah kamu juga mau minum teh untuk menghangatkan tubuhmu?" Tubuh itu menampakkan wajahnya bersamaan dengan roti yang ku letakkan di dekatnya.
"Hujan
sudah mulai reda. Ayo, kita ke kedai dekat sini. Kamu bisa makan dan minum apa
saja, aku mentraktirmu." Perlahan aku berjongkok di sebelahnya.
Wajahnya
nampak kumal, rambut pendeknya tidak beraturan, bisa dipastikan dia tidak mandi
selama beberapa hari. Dia mulai duduk, sejenak melihatku sambil mengunyah
sepotong roti dengan rakus. Mulutnya penuh dengan roti tanpa menunggunya masuk
ke tenggorokan. Aku mengajaknya ke kedai terdekat. Memesan dua camgkir teh
manis hangat dan mie rebus. Dia, masih mengikuti langkahku tanpa berkata apa -
apa.
Aku
memperhatikan, menunggunya menghabiskan semangkuk mie rebus rasa ayam bawang
dengan telur mata sapi dan taburan bawang goreng di atasnya. Dari cara makannya
terlihat jelas sudah lama perutnya hanya terisi angin yang mebuatnya menggigil
di gedung tua. Tercium bau kurang sedap dari tubuhnya yang kumal, sudah pasti
tidak ada guyuran air selama beberapa hari. Sebuah tas hitam nampak tak terisi,
hanya sebagai hiasan punggungnya yang ringkih.
"Terimak
kasih, kak. Aku berhutang padamu. Semoga kelak aku bisa membayar kebaikanmu
ini." Suaranya sedikit ringan dan wajahnya mulai segar.
"Kalau
boleh tahu, apa yang kamu lakukan di gedung tua. Apak kamu tersesat?"
Perlahan aku utarakan rasa penasaranku. Namun, dia hanya menggeleng. Wajahnya
melihat sepatu hitam dengan garis putih di bagian bawah.
"Lalu,
apa kamu sebatang kara?" Dahiku mulai berkerut, dibalas anggukan yang
hampir tidak terlihat.
"Kalau
begitu, maukah kamu ikut denganku? Kamu bisa tinggal denganku untuk sementara
waktu." Dia kembali menganggukkan kepalanya.
Kamipun
berjalan menyusuri trotoar yang basah setelah diguyur hujan deras yang membuat
kami bertemu. Perjalanan menjadi lebih lama dengan adanya dia di belakangku.
Langkah kakinya masih menaruh keraguan. Jalanan yang biasa ku lewati sepulang
bekerja menjadi lebih panjang. Jarak tempatku bekerja tidak terlalu jauh dengan
tempat tinggalku. Sengaja aku mencari kos yabg dekat demi menghemat
pengeluaran. Meski aku hidup sendiri, tapi aku harus menyisihkan gajiku yang
tidak besar sebagai bekal masa depan yang entah akan seperti apa.
Sesampainya
di tempat kos, aku memberinya handuk dan pakaian ganti. Dia menyambutnya tanpa
suara, hanya mengangguk dengan tatapan melihat lantai. Kami bergantian mandi,
karena akupun ingin menyegarkan diri selepas bekerja.
"Siapa
namamu?" Aku membuka pembicaraan.
"Rendra"
Jawabnya singkat.
"Aku
Yusuf. Kalau boleh tahu, darimana asalmu?" Ku coba mengorek identitasnya
lebih jauh.
Dia
membisu. Aku melihatnya menitikkan butiran bening di ujung matanya. Beberapa
kali punggung tangannya menyeka butiran yang cukup banyak. Isaknya mulai
terdengar, seperti ada beban yang sangat berat dalam hidupnya. Apakah dia baru
saja kehilangan keluarganya? Atau dia telah mengalami hal yang mengerikan.
Kekerasan atau pelecehan yang belakangan ini sedang marak diperbicangkan. Ah, entahlah. Aku hanya
bisa menunggu air mata itu berhenti agar dadanya tidak lagi sesak.
"Sudah
kalau kamu belum mau bercerita, istirahatlah." Aku meninggalkannya
melampiaskan gundah yang ada di hatinya.
Pagi
menyapa. Aku melihatnya sudah terjaga, atau mungkin dia tidak tidur semalaman.
Aku menelan pertanyaan yang tidak perlu
aku utarakan. Hari itu, aku mengajaknya ke bengkel tempatku bekerja. Kami
kembali menyusuri trotoar yang masih basah akibat hujan kemarin. Aku
memperkenalkannya pada bosku di bengkel. Meminta ijin dan meminta pekerjaan apa
yang bisa dilakukannya. Beruntung pak Jodi memberinya tugas membersihkan
bengkel dan bantu - bantu apa saja jika dibutuhkan. Aku berpesan padanya agar
berlaku baik dan dia menyetujuinya. Sepanjang hari aku memperhatikannya. Dia
anak yang cukup rajin dan cekatan. Hasil kerjanya yang bagus membuat pak Jodi
menerimanya sebagai karyawan bengkelnya. Walau saat itu usianya masih lima
belas tahun, tetapi pak Jodi bersedia menerimanya setelah aku memberinya
penjelasan bahwa Rendra sebatangkara.
"Rendra,
datanglah padanya walau sebentar. Dia pasti merindukanmu. Di dunia ini tidak
ada yang namanya mantan anak." Aku mencoba membujuknya.
Airmata
itu mengalir kembali setelah hilang satu tahun yang lalu. Dia duduk terisak. Aku tahu bagaimana perasaanya saat
ini. Tidak mudah kembali ke rumah yang menjadi saksi betapa dia tidak berarti.
Sangat berat bertemu wanita yang telah mencampakkannya hanya karena dia tidak
berprestasi seperti saudaranya yang lain. Dia yang selalu menjadi nomor dua
setelah kelahiran adik bungsunya di usianya yang belum genap dua tahun. Kasih
sayang yang belum terpuaskan. Kemandirian yang dipaksakan. Mengalah yang belum
dipahaminya saat itu. Iri melihat adiknya terus diperhatikan dan dirinya selalu
mendapat teriakan kemarahan sang ibu. Dia yang selalu menjadi sumber kesalahan
dari semua yang terjadi. Semua itu membuatnya jadi pribadi pendiam, memendam
apapun yang ia rasa.
Sialnya,
ketika untuk pertama kalinya dia membolos bersama teman - temannya dan bertemu
dengan sekelompok pelajar lain yang ternyata musuh dari salah satu temannya
itu. Tawuran antar pelajar yang banyak terjadi dan dia berada di sana. Dia yang
tidak tahu apa - apa ikut terjaring polisi yang datang. Beruntung hanya luka -
luka kecil yang di dapat. Beberapa temannya hampir saja mati akibat tawuran
brutal itu. Dalam ketakutannya di kantor polisi, orang tuanya berhasil
membawanya pulang. Namun apa yang terjadi di rumah ternyata lebih menakutkan
dari tawuran yang dialaminya. Ibu yang seharusnya memeluk dan
mengkhawatirkannya justru berbalik memaki - maki. Menghujaninya dengan kata -
kata yang sangat menyakitkan tanpa mendengar penjelasannya sedikitpun. Ayahnya
hanya bisa diam. Ayahnya memang selalu begitu, tidak ada kekuatan untuk melawan
sang ibu.
Puncak
dari kemarahan ibunya adalah pengusiran atas dirinya. Entah bagaimana seorang
ibu bisa mengusir anaknya keluar dari rumah yang seharusnya memberi kedamaian.
Aku rasa saat itu ibunya sedang hilang akal hingga berlaku sangat tidak adil.
Buktinya, sang ibu mencari dirinya tidak lama setelah dia pergi. Namun, Rendra
yang saat itu dalam kekalutan justru bersembunyi dan menjauh dari keluarganya.
Hingga aku bertemu dengannya di gedung tua. Berulang kali aku membujuknya untuk
kembali pada keluarganya. Terlebih lagi ibunya yang saat ini tengah sakit dan
sangat merindukannya. Ibu yang dulu mengusirnya itu telah sadar dari
kesalahannya satu tahun yang lalu hingga membuatnya merana. Memikul rindu dari
kesalahan yang dia perbuat pada anak lelakinya yang berusia lima belas tahun.
Kerinduan itu menggerogoti tubuh dan pikirannya hingga ia jatuh sakit. Ibu yang
ingin memeluk anak lelakinya dan memohon maaf. Meski telah di usir dan menjauh
dari keluargnya, Rendra tetap mengikuti kehiduoan keluarganya secara diam -
diam. Aku tahu dalm hati kecilnya ada kerinduan yang juga sama seperti yang ibunya rasakan.
"Rendra,
temuilah ibumu. Dia sangat merindukanmu. Jangan sampai ada penyesalan yang akan
menimpamu di kemudian hari." Sekali lagi aku membujuknya.
Diam.
Dia masih membisu.
#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis
Posting Komentar