√Berjanjilah, Ini yang Terakhir Kali
Header catatantirta.com

Berjanjilah, Ini yang Terakhir Kali



Sudah sering terjadi ketika anak tantrum maka mommy nya ikutan naik darah. Berusaha sekuat tenaga, sebisa hati menahan aliran panas yang bersiap membuncah.
Sabaaar, sabaarrr.
Otak mencoba menegur hati agar otot - otot mengendur. Menahan mulut yang sudah bersiap memuntahkan luapan emosi. Menjaga tangan agar tidak melayang kemana - mana. Mengarahkan kaki berlalu kesana kemari agar tubuh tetap rileks.
Huuuuff.,
Teriakan itu belum juga mereda. Bahkan jeritannya semakin melengking. Telinga meradang, seperti panci di atas kompor. Menambah naiknya suhu di jiwa yang mulai terbujuk aliran darah penuh amarah.
Sabaaar, sabaaar.
Terus mencoba mengulang. Menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan.
Ketika pelukan belum juga mencairkan suasana yang memanas. Maka tangan ini mencari media lain agar tidak sampai menyambangi tubuh kecil yang masih meronta. Ketika histeris semakin menjadi, maka diri ini harus segera berlari. Mencari objek lain sebagai korban pelampiasan amarah yang terlanjut menjalar ke semua sendi. Mencari wadah, menumpahkan gejolak yang sudah di ubun - ubun. Layaknya bisul yang matanya sudah siap meletus, hanya menunggu satu tarikan nafas untuk melegakan atas rasa sakit yang tak tertahan lagi.
Sabaaar, sabaaar.
Hanya kata itu yang harus dan terus ditanam dalam - dalam. Lekatkan dengan erat di kepala dan di sisi empedu.
Ah, jika mulut ini terlanjur membuncah, apakah salah?
Jika jemari ini mendarat di salah satu tubuhnya, apakah wajar?
Jika hitamnya mata berpindah ke ujung cekungan, apakah dilarang?
Kembali menjerit, kali ini ditemani isak dari mulut mungilnya. Lendir jernih mengiringi tangis yang masih belum reda.
Wajah polosnya memerah, meluapkan rasa yang tidak bisa terungkap.
Ketika lelah mulai menyambanginya, suaranya pun mulai mereda. Terduduk lemas mencari sandaran jiwa. Menyapu pelipis yang sudah penuh bulir - bulir asin dan hangat.
Saat itu, emosi yang membuncah pun mulai meredup. Perlahan hilang tersapu sang bayu yang menerobos di celah - celah jendela.
Mendekat.
Ini masa yang tepat untuk mendekapnya. Melekatkan tubuh mungilnya dalam pelukan hangat. Pasrah, tubuh itu telah selesai mencurahkan hasrat kekesalannya. Lelah mendera. Membebaskan jiwa yang telah berdamai dengan hatinya.
Matanya perlahan mulai meredup dalam dekapan penuh cinta. Memerintakan anggota tubuh lain untuk segera beristirahat setelah tegang beberapa waktu.
Tangan ini merangkul, menopangnya hingga terbang ke alam mimpi. Meski matanya telah merapat, tetapi isak tangis itu masih tersisa. Lambat laun menghilang bersama jiwa yang kembali tenang.
Wahai belahan jiwa, tolong jangan kau ulangi ujian ini. Cukup sudah mengaduk - aduk rasa kasih menjadi emosi.
Wahai penyejuk hati, berjanjilah bahwa ini yang terakhir kali. Diri ini tak kuasa menahan emosi jika kelak terulang kembali.
Maafkan aku yang belum sepenuhnya mengerti tentang dirimu. Tentang luapan ketidakpahamanmu akan rasa yang belum bisa kau sampaikan.
Ampuni raga ini yang tak kuasa mengolah rasa yang bergemuruh.
Cukup ya, nak.
Ayo saling mengikat janji, bahwa ini untuk yang terakhir kali.

#Menulisharike20
#SMANSAMenulis05
#TantanganMenulis30hari
#SeptemberMenulis

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta