Kakek kami, salah satu contoh prajurit pengusir penjajah dengan
banyak istri. Berdasar cerita dari nenek kami, kakek mempunyai sepuluh istri.
Dari sepuluh istrinya itu, tiga orang saja yang dikaruniai keturunan. Dua
diantaranya tinggal satu desa, namun beda tempat tinggal. Satu lagi berada di
desa lain yang masih satu kecamatan. Ketiga istri beliau saling mengenal.
Mereka menghormati satu sama lain. Walaupun kakek lebih memilih tinggal bersama
dengan salah satunya saja, tetapi yang lain tidak protes. Kadang saya merasa aneh dengan hal
itu. Apakah wanita atau istri jaman dahulu setegar itukah. Apakah tidak ada
rasa cemburu atau rasa benci pada madu mereka. Jawabannya di luar akal pikiran
dan hati saya. Sungguh, di luar praduga saya. Bagaimana mereka bisa menata hati
dan tetap saling menghormati.
Nenek saya adalah satu diantara istri kakek yang beruntung.
Kakek memilih tinggal bersama beliau di akhir petualangan cintanya. Mereka
dikaruniai delapan orang anak, tiga orang meninggal dunia semasa kecil.
Menyisakan lima bersaudara, dua anak perempuan dan tiga anak laki - laki.
Sedangkan dari istri yang lain, ada lima orang anak juga.
Kesepuluh anak kakek hidup rukun. Mereka saling mengasihi dan
menyayangi. Saling menolong dan menjalin silaturahim yang baik. Mereka
berinteraksi tanpa ada rasa iri ataupun dengki karena berbagi orang tua. Saya
tahu ini hasil dari didikan kakek yang bijak.
"Lah apen kepriben maning, dadi wong wadon kue kudu
manut karo bojone, ben bae nduwe garwa maning, sing penting simbah cukup
sandangane, pakanne, karo umahe" Dengan logat jawa nenek memberi
sedikit alasan tentang rasa penasaran saya.
Dalam bahasa Indonesia, kira - kira seperti ini artinya:
"Mau bagaimana lagi, yang namanya istri itu nurut sama
suami. Walaupun suami punya istri lain, biarkan saja, yang penting nenek masih
dicukupi sandang, pangan dan papan" Jelas nenek saya.
Saya menggenggam tangan nenek saat mengajukan pertanyaan itu.
Nenek tidak menampakkan kecemasan sedikit pun di wajahnya. Tangannya tetap
hangat terbalut kulit keriput. Sungguh jawaban yang sederhana. Rasa
cemburu, benci, dan sakit hati ketika mengetahui suaminya mendua terkubur
dalam. Tergantikan dengan hadirnya anak - anak yang menghiasi kehidupannya.
Nenek bertahan demi anak- anaknya.
Beliau bisa seikhlas dan sabar seperti itu sangatlah luar biasa.
Bersyukur para orangtua kami dididik untuk saling menghormati
dan menyayangi. Meskipun berbeda ibu, mereka bisa berhubungan baik. Jarang
terlibat perselisihan. Terbiasa saling mengunjungi dan berkirim kabar jika ada
acara atau kegiatan apapun. Kakek berhasil menanamkan jiwa persaudaraan
diantara anak - anak beliau. Istri - istri beliau pun jarang sekali bertengkar.
Semua hidup rukun dan saling merangkul. Begitupun dengan kami para cucu beliau.
Kami mengenal istri, anak dan cucu beliau yang lain. Kami diajarkan untuk saling
mengasihi, kami semua bersaudara.
Kakek, beliau teladan bagi kami. Bukan tentang poligami yang
beliau lakukan, tetapi lebih pada sikap beliau yang seimbang terhadap keluarga
besarnya. Kakek berhasil menyatukan semua keluarga besarnya untuk tetap saling
menjaga hubungan baik. Kami para cucu beliau saling menyayangi tanpa syarat. Tidak
peduli dari nenek mana kami berasal, semuanya adalah keluarga yang patut dijaga
dan dikasihi. Kakek, meski kini engkau sudah berpulang, kami di sini masih akan
terus bergandengan. Menjalin kekeluargaan, merajut tali persaudaraan yang
engkau ciptakan.
Kami akan tetap seperti
ini, berkumpul layaknya warna - warni
pelangi yang indah. Berbeda, namun menyatu tanpa celah menghiasi langit
setelah gerimis. Kami berasal dari darah yang sama.
Kami semua bersaudara.
#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis
istri jaman dulu memang cenderung nerimo ya dwi ...
BalasHapusya Bet, aku juga masih sering tanya sama nenek soal itu. jawabannya tetap sama, ga nambah , ga kurang.
HapusHati saya belum seluas nenek.😢
BalasHapushati saya pun begitu., mungkin ga akan bisa seluas itu.
Hapus