Pagi itu mentari terlihat biasa saja. Tidak nampak pertanda
akan hadirnya sebuah peristiwa. Seperti hari - hari yang lalu, rutinitas
pagiku adalah bangun tidur, merapikan selimut dan kasur, kemudian bergegas
mandi. Kumandang adzan terdengar sangat menggema, jaraknya hanya lima puluh
meter untuk sampai ke kamar kos yang ku tempati. Alarm yang selalu membuatku
terjaga dari buaian mimpi. Beruntungnya aku, karena selalu diingatkan akan
kewajibanku kepada Sang Pencipta alam semesta.
Sekitar tiga puluh menit ku habiskan waktu untuk
mempersiapkan diriku sebelum berangkat bekerja. Jarak yang tidak terlalu jauh
membuatku dapat bersantai menikmati berita pagi di stasiun televisi. Bismillah,
langkah kakiku menuju tempat mengais rejeki. Berbaur dengan teman, bercengkrama
sejenak sambil menunggu bus jemputan datang. Kami para pegawai pabrik berbaris
sepanjang jalan dengan seragam kerja yang beragam. Dari warna dan tulisan di
saku baju, bisa diketahui nama perusahaan tempat kami bekerja.
Bus jemputan pun datang, membawa kami menuju bangunan besar
dengan warna biru menghiasi dinding - dindingnya. Ya, perusahaan manufacturing
kami identik dengan warna biru. Sebagai pegawainya, kami selalu bangga dengan
warna itu. Bahkan kami menyebutnya Kampus Biru.
Setiap hari, sepuluh menit sebelum jam kerja dimulai, kami
melakukan meeting bersama. Mendengarkan informasi terbaru terkait
pekerjaan yang kami lakukan. Kali ini ada info tambahan. Pihak management
memberlakukan baju dan topi khusus untuk departemen kami. Baju itu semacam
rompi yang mengandung antistatik. Ini bertujuan untuk menjaga kualitas dari
produk yang kami buat. Masing - masing dari kami menerima dua buah rompi dan
satu topi. Kami pun mendapat bordir nama
yang harus dipasang di saku kiri rompi dan topi bagian kiri yang telah
dibagikan. Ini bertujuan agar mudah mengenali setiap karyawan, karena dengan
baju dan topi yang sama akan sulit membedakan siapa pemakainya.
"Mas, ini baju, topi dan bordir namamu, tadi mbak Rini menitipkannya padaku" Ucapku
padanya yang duduk bersebalahan denganku.
Ia hanya melirik sebentar sambil berucap terima kasih, namun
mata dan tangannya masih fokus pada layar dekstop. Ah, aku tahu pasti
apa yang sedang dia lakukan. Deadline laporan kualitas produk, itu yang menjadi
kewajibannya setiap pagi. Ku tinggalkan dia dengan kesibukan paginya. Waktu pun
berjalan seperti biasa. Aku dan dia, berjarak satu meter tetapi jarang bertegur
sapa. Aku dengan pekerjaanku, dia dengan tugas - tugasnya.
Mentari mulai bergeser ke sisi barat, pertanda waktu pulang
segera tiba. Aku pun berkemas, bersiap meninggalkan meja kerjaku. Aku menemukan
baju, topi, dan bordir nama masih tergeletak di meja sebelah. Poisisinya masih
sama ketika aku meletakkannya tadi pagi. Dia selalu begitu, bergelut dengan
pekerjaan yang tiada habisnya. Membuatnya lupa waktu dan melewatkan banyak hal.
"Kamu sudah mau pulang ya" Ucapnya sambil menarik
kursi dan duduk di meja kerjanya.
"Iya, kenapa" Jawabku tanpa melihatnya.
"Ini seragam mulai dipakai kapan ? Tanyanya membolak -
balikkan baju yang sejak pagi tak tersentuh.
"Besok sudah harus dipakai, lengkap dengan bordir
namanya" Jelasku singkat.
"Harus besok? Duh, hari ini aku lembur, banyak masalah
produk. Aku nitip kamu saja ya, tolong jahitkan sekalian" Tubuhnya mengarah
padaku.
"Oh, ya sudah sini, aku bawa sekalian" Ku ambil seragam
miliknya dan berlalu dari hadapannya.
Meski hanya berjarak satu meter, kami memang jarang sekali
berbicara. Hanya hal - hal terkait pekerjaan saja yang menjadi topik singkat di
sela - sela jam kerja.
Turun dari bus pengantar karyawan, aku langsung menuju kios
penjahit bersama beberapa teman. Namun kami kurang beruntung, si abang penjahit
tidak membuka kiosnya. Kami pun gagal menggunakan jasanya.
"Ta, jahit manual aja. Toh cuma bordir nama" Saran
Lipah pada kami.
Kami pun berbalik pulang. Ya, menjahit sendiri tidak apalah.
Hanya bordir nama saja, tidak harus rapih yang penting terpasang.
Keesokan hari, dia menungguku di pintu gedung. Wajahnya
menunduk, jarinya bermain smartphone. Rompi dan topi memang sudah harus dipakai
sebelum masuk ke gedung tempat kami bekerja.
"Ini seragamnya" Ku sodorkan plastik berisi rompi
dan topi. Aku pun berlalu tanpa mengaharap ucapan terima kasih darinya.
Hari itu berlalu, aku tidak melihatnya mampir di meja kerjanya.
Sudah tidak aneh lagi, meja berjarak satu meter itu memang jarang disambangi
penghuninya. Aku larut dengan pekerjaanku, delapan jam kerja terlewat begitu
saja. Ujung minggu pun datang, waktunya melupakan pekerjaan. Menyegarkan otak
dan badan, bermalas - malasan serta menikmati drama korea yang sudah kusiapkan.
Bep bep, bep bep, ponsel bergetar. Sebuah pesan singkat
mampir dari nomor yang belum terdaftar.
"Makasih untuk jahitannya, tapi kurang rapi sedikit di
bagian topi".
Sejenak aku terdiam menatap layar ponsel, memikirkan siapa
pengirim pesan singkat ini. Jahitan. Topi. Oh, aku tersadar. Ini pasti dari
pemilik meja kerja tak bertuan. Aku memang telah menjahit manual bordir nama di
rompi dan topinya, karena kios si abang penjahit tutup. Aku tidak membalas
pesan itu, biarkanlah, tidak perlu dibalas, pikirku.
Liburan telah usai, senin pun menjelang. Aku, kembali
menjalani rutinitas hidupku. Bangun dan berangkat berkeja seperti biasa.
"Hei, yang kemarin aku sms itu benar nomor mu kan"
Tegurnya menatap layar desktop.
"Iya, benar" Aku pun tetap dengan posisiku,
menatap layar desktop.
Semenjak pesan singkat itu, kami mulai berkomunikasi. Bukan
saling bertatap layaknya komunikasi dua arah. Kami bercakap melalui sebuah
aplikasi chating. Di sela - sela bekerja ataupun saat libur bekerja. Perlahan
kami menjadi sering bertegur sapa. Aku mulai mengenalnya lebih jauh.
Jahitan tanganku, menjadi awal bersatunya hatiku dan hatinya.
#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis
(Hutang,07Sept2017)
Posting Komentar