Apakah tidak ada orang lain yang
lebih pantas untukmu. Seorang wanita dengan fisik dan kepribadian di atas rata
- rata. Sopan santun dan tata krama yang lebih halus. Minimal dia supel dan
bisa memikat hati kami agar menerimanya menjadi anggota baru di keluarga kita.
Pertimbangkan bibit, bebet dan bobotnya. Bukankah ini hal penting seperti
ketika aku menjatuhkan pilihan pada suamiku dulu. Kamu terlalu dini memilih dia
dibanding perempuan lain di luar sana yang lebih mumpuni.
Semua penolakan itu hanya
tertahan tanpa terucap. Seorang kakak terkadang merasa punya hak atas diri
adiknya. Atas masa depan saudara kesayangannya yang kini sudah dewasa. Kakak
yang ingin punya andil untuk menentukan siapa pendamping hidup adik kecilnya.
Apakah ini hal yang wajar? Tentu saja sangat wajar. Bagaimana bisa adik yang
dijaga sedari bayi memutuskan hal yang sangat penting tanpa melibatkan dirinya.
Lalu dianggap apa aku ini? Hanya baby sitter dan peri pelindung saat susah. Ah,
terlalu jauh aku memikirkan hal ini.
“Kak, tolong buatkan seserahan
yang bagus. Ini aku sudah beli semua bahannya”. Ucapnya padaku kala itu.
Permintaannya itu tidak dapat aku
tolak. Terlalu berat jika harus membuatnya kecewa. Aku begitu menyayanginya.
Dia, anak laki - laki yang kini telah dewasa. Dia yang akan segera menjadi
pemimpin keluarga. Melihatnya bahagia adalah kewajibanku. Segala persiapan
telah selesai. Undangan sudah disebar minggu lalu. Besok adalah hari yang
penting dalam hidupnya. Langkah awal merubah kehidupannya mengarungi bahtera
rumah tangga.
Pagi ini langit diselimuti awan
kelabu. Mendung tipis menggelayut membuat mentari enggan bangkit dari
peraduannya. Kami dan keluarga besar tengah sibuk mempersiapkan diri untuk
mengantar mempelai laki - laki. Semua memakai baju seragam yang telah
disediakan. Kami nampak kompak dan serasi dengan balutan kebaya merah hati dan
batik senada. Seserahan yang sudah dibungkus apik menjadi prioritas kami.
Kebanggan kami untuk keluarga mempelai wanita. Semua dihias cantik dan menarik
dengan beberapa bentuk, kelinci, merak, panda dan bunga.
Pukul tujuh pagi kami berangkat
diiringi rintik hujan. Gerimis yang turun di musin panas, menebar bau khas
tanah yang lama tak tersiram air . Bismillah, tak lupa kami berdo'a memohon
perlindungan, keselamatan dan kelancaran agar semua dimudahkan. Kami
menggunakan empat minibus. Keluarga inti berjalan paling depan. Berisi adik
tersayang, bapak, ibu, aku dan suami serta paman dan bibi. Suami yang
mengemudi, adik duduk bersebelahan dengannya. Dia nampak gagah dengan celana
hitam dan kemeja putih yang dibalut jas hitam. Aku, bapak dan ibu di baris
kedua, sedang paman dan bibi ada di belakang.
Jarak rumah kami dengan calon
besan sekitar satu jam perjalanan. Tiga puluh menit berlalu, kami masih di perjalanan.
Smartphone adik berdering, segera ia menjawab panggilan itu.
“Apa ! Apa maksudnya ? Kamu! Kamu
keterlaluan. Tidak. Aku tidak terima. Kalian anggap apa kami ini”. Suara Adam
mengagetkan kami.
Bingung dengan apa yang sedang
terjadi, suamiku segera menepi dan menghentikan kendaraan.
"Ada apa ini, nak. Siapa
yang menelpon, kenapa kamu seperti ini". Tanya bapak sambil menyusul adik
yang sudah keluar mobil.
Kami mendekati mereka penuh
kebingungan. Ada apa ini, apa yang terjadi. Sejenak suasana hening, diselingi
kendaraan lain yang hilir mudik. Tubuh gagahnya tersandar pada pohon angsana.
Tangannya mengepal erat seperti menahan amarah yang memuncak. Wajah cerianya
berubah merah seketika. Terlihat ada bulir bening yang siap jatuh tak
terbendung. Perlahan bapak mendekatinya.
"Adam, apa yang sebenarnya
terjadi?” Bapak menyentuh bahunya dengan lembut. Adam memeluk bapak, kakinya
gemetar lemah hingga lututnya menyentuh tanah.
"Adam, ayo katakan. Ada apa?
Apa yang terjadi?" Bapak mengulang pertanyaannya.
"Maafkan Adam, pak. Adam
malu. Maafkan Adam telah membuat malu keluarga kita. Telepon tadi dari Mira. Ia
berkata bahwa akad nikah sudah berlangsung. Ia telah menjadi istri orang
lain". Suara Adam hampir tidak terdengar.
Bapak lunglai, tubuhnya hampir
saja terperosok ke selokan dekat pohon angsana. Adam memeluk erat bapak, ibu
pun ikut tersungkur diantara mereka. Gerimis di musim panas ini menjadi saksi
sebuah perlakuan yang tidak akan kami lupakan. Lalu aku, merampas handphone
adik dan melakukan panggilan.
"Hei kamu, apa maksud dari
semua ini. Kami tidak terima dengan perlakuan sepihak kalian. Tunggu, kami akan
tetap datang dan membuat kalian malu. Seperti kalian memperlakukan kami".
Ku putus sambungan telephon tanpa menunggu jawaban dari seberang sana.
"Ayo Adam, kita berhak
mendapat penjelasan yang pantas untuk semua ini. Semuanya, ayo kita lanjutkan
perjalanan".
Mobil kembali melaju. Kali ini
semua diam, hanya isak ibu yang tak henti menangis, bapak memeluknya erat. Adam
menggenggam erat smartphonenya. Tatapannya kosong namun penuh amarah.
Setengan jam kemudian kami sudah
sampai di pelataran rumah. Beberapa orang berpakaian hansip sudah menunggu. Adam
langsung berlari, berteriak memanggil nama kekasihnya. Orang - orang itu
mencoba menghalangi langkah Adam. Mencengkram kedua tangan Adam, namun kekuatan
amarah bisa di luar batas manusia biasa. Rasa benci dan emosi mengalahkan
cengkraman empat orang hansip itu. Adam terus berlalu, mengobrak - abrik apapun
yang menghalanginya. Meja dan kursi berserakan. Saudara - saudara lain mengejar
Adam, mencoba meredakan emosinya. Memeluk erat Adam, menahan sekuat tenaga agar
berhenti mengamuk. Tangan dan kakinya didekap erat agar tidak terus bergerak. Adam
meraung, memanggil nama kekasihnya. Terus berteriak tanpa henti. Saat energinya
mulai melemah, ia pun tertunduk lunglai.
Bapak, ibu , dan beberapa sesepuh
mencoba bertemu dengan si empunya rumah. Mereka digiring ke sebuah ruang
berukuran 4m x 4m. Di sana sudah menunggu keluarga dari gadis itu. Bapak, ibu
dan para sesepuh menahan diri agar situasi tidak semakin ruwet. Dengan suara
parau, bapak menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tiba - tiba
membatalkan pernikahan dan menerima pinangan keluarga lain.
"Kami semua butuh penjelasan
dari keluarga bapak, kenapa memgambil keputusan sepihak dan sangat memdadak.
Apa penyebab dari semua ini". Ucap bapak membuka pembicaraan.
Pihak ketiga yang menjadikan
pernikahan Adam dan Mira batal adalah lurah di desa tersebut. Sebelum kenal
dengan Adam, ternyata Mira sudah menjalin kasih dengan Yoga, anak lurah
tersebut. Bahkan mereka sudah bertunangan, satu tahun sebelum Adam dan Mira
bertemu. Seminggu setelah acara lamaran, Yoga pergi berlayar. Tanpa kabar
berita, bahkan orangtuanya pun tidak tahu keberadaannya. Saat itu, Mira
memutuskan untuk dekat dengan Adam. Semua berjalan mulus hingga hari
kemarin.
Pagi ini, di hari pernikahan Adam
dan Mira, Yoga datang bersama kedua orangtuanya. Parahnya, ternyata Mira yang
masih mencintai Yoga dan bersedia kembali padanya. Ngeri. Sungguh sangat mengerikan.
Bagaimana bisa seorang wanita yang akan menikah dengan kekasihnya, tiba - tiba
berpindah hati kembali pada kekasih lama yang telah meninggalkannya tanpa kabar
selama beberapa tahun. Gila. Ini benar - benar gila. Lebih gila lagi, tanpa
dosa mereka langsung menikah tanpa memikirkan perasaan Adam dan keluarga kami
yang telah mempersiapkan semua tetek bengek pernikahan ini. Bahkan kami sedang
dalam perjalanan ke sana. Apakah kalian tidak berpikir betapa pedihnya hati
orang tua kami. Betapa terpukulnya kami, seakan tidak punya arti apa - apa di kehidupan
kalian. Kami yang tiga bulan kemarin datang melamar anak gadis kalian dengan
baik - baik. Mempersiapkan pesta pernikahan yang kalian inginkan. Kami yang dengan
suka cita bersedia menyambut anggota baru di keluarga kami. Pikir. Dimana otak
kalian.
Saat itu rasanya ingin kembali ke
masa tiga bulan yang lalu. Ketika Adam mengutarakan niatnya untuk melamar Mira
dan aku dengan senyum manisku menyetujui rencana itu. Menelan penolakan yang
tak sempat aku utarakan. Penyesalan memang selalu hadir di belakang peristiwa.
Bapak kami hanya bisa terdiam, mendengar
sambil tertunduk sedih. Beliau dengan kesabaran dan kebaikannya berusaha mengerti
situasi ini. Apalah kami dibanding dengan keluarga kaya itu, keluarga lurah desa
yang bergelimang harta. Bahkan mungkin sebelah mata pun kami tak terlihat. Ibu
memeluk erat diriku. Mencari kekuatan agar tidak hilang kesadaran. Para sesepuh
sempat emosi dan tidak terima semua alasan itu, tetapi bapak menghentikan mereka.
Tidak ada gunanya meluapkan emosi di sini. Toh, mereka sudah menikah dan tidak
mungkin bercerai saat itu juga. Tidak mungkin juga terjadi perceraian, karena
pada kenyataanya Mira memilih Yoga, cinta lamanya yang juga kaya raya sebagai
pendamping hidupnya.
Di tempat lain, Adam masih tersungkur.
Dengusan nafasnya melemah setelah menghancurkan beberapa benda. Lalu Mira,
dimana dia. Mungkin sedang bersembunyi di ketiak suami barunya. Ah, aku tidak peduli
soal itu. Aku hanya ingin cepat pergi dari rumah yang biadab ini. Rumah yang seharusnya
tidak pernah kami injak. Tempat yang membuat kami semua terluka. Luka ini akan
kami jadikan sebuah do’a.
Berhati – hatilah pada orang –
orang yang teraniaya, karena do’anya bisa menembus langit dan menjadi sebuah
balasan yang setimpal.
#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis'03
Ihhh, gemez đ
BalasHapusPengen jitak Mira ya Pik
HapusGeram bacanya.ikut emosi
BalasHapusemosi pgn jitak si Mira ya Yu.
Hapus