√Gerimis Musim Panas
Header catatantirta.com

Gerimis Musim Panas



https://mail.google.com/mail/u/0/images/cleardot.gif

Apakah tidak ada orang lain yang lebih pantas untukmu. Seorang wanita dengan fisik dan kepribadian di atas rata - rata. Sopan santun dan tata krama yang lebih halus. Minimal dia supel dan bisa memikat hati kami agar menerimanya menjadi anggota baru di keluarga kita. Pertimbangkan bibit, bebet dan bobotnya. Bukankah ini hal penting seperti ketika aku menjatuhkan pilihan pada suamiku dulu. Kamu terlalu dini memilih dia dibanding perempuan lain di luar sana yang lebih mumpuni.

Semua penolakan itu hanya tertahan tanpa terucap. Seorang kakak terkadang merasa punya hak atas diri adiknya. Atas masa depan saudara kesayangannya yang kini sudah dewasa. Kakak yang ingin punya andil untuk menentukan siapa pendamping hidup adik kecilnya. Apakah ini hal yang wajar? Tentu saja sangat wajar. Bagaimana bisa adik yang dijaga sedari bayi memutuskan hal yang sangat penting tanpa melibatkan dirinya. Lalu dianggap apa aku ini? Hanya baby sitter dan peri pelindung saat susah. Ah, terlalu jauh aku memikirkan hal ini.

“Kak, tolong buatkan seserahan yang bagus. Ini aku sudah beli semua bahannya”. Ucapnya padaku kala itu.

Permintaannya itu tidak dapat aku tolak. Terlalu berat jika harus membuatnya kecewa. Aku begitu menyayanginya. Dia, anak laki - laki yang kini telah dewasa. Dia yang akan segera menjadi pemimpin keluarga. Melihatnya bahagia adalah kewajibanku. Segala persiapan telah selesai. Undangan sudah disebar minggu lalu. Besok adalah hari yang penting dalam hidupnya. Langkah awal merubah kehidupannya mengarungi bahtera rumah tangga.

Pagi ini langit diselimuti awan kelabu. Mendung tipis menggelayut  membuat mentari enggan bangkit dari peraduannya. Kami dan keluarga besar tengah sibuk mempersiapkan diri untuk mengantar mempelai laki - laki. Semua memakai baju seragam yang telah disediakan. Kami nampak kompak dan serasi dengan balutan kebaya merah hati dan batik senada. Seserahan yang sudah dibungkus apik menjadi prioritas kami. Kebanggan kami untuk keluarga mempelai wanita. Semua dihias cantik dan menarik dengan beberapa bentuk, kelinci, merak, panda dan bunga. 
Pukul tujuh pagi kami berangkat diiringi rintik hujan. Gerimis yang turun di musin panas, menebar bau khas tanah yang lama tak tersiram air . Bismillah, tak lupa kami berdo'a memohon perlindungan, keselamatan dan kelancaran agar semua dimudahkan. Kami menggunakan empat minibus. Keluarga inti berjalan paling depan. Berisi adik tersayang, bapak, ibu, aku dan suami serta paman dan bibi. Suami yang mengemudi, adik duduk bersebelahan dengannya. Dia nampak gagah dengan celana hitam dan kemeja putih yang dibalut jas hitam. Aku, bapak dan ibu di baris kedua, sedang paman dan bibi ada di belakang. 
Jarak rumah kami dengan calon besan sekitar satu jam perjalanan. Tiga puluh menit berlalu, kami masih di perjalanan. Smartphone adik berdering, segera ia menjawab panggilan itu.

“Apa ! Apa maksudnya ? Kamu! Kamu keterlaluan. Tidak. Aku tidak terima. Kalian anggap apa kami ini”. Suara Adam mengagetkan kami. 

Bingung dengan apa yang sedang terjadi, suamiku segera menepi dan menghentikan kendaraan. 

"Ada apa ini, nak. Siapa yang menelpon, kenapa kamu seperti ini". Tanya bapak sambil menyusul adik yang sudah keluar mobil.

Kami mendekati mereka penuh kebingungan. Ada apa ini, apa yang terjadi. Sejenak suasana hening, diselingi kendaraan lain yang hilir mudik. Tubuh gagahnya tersandar pada pohon angsana. Tangannya mengepal erat seperti menahan amarah yang memuncak. Wajah cerianya berubah merah seketika. Terlihat ada bulir bening yang siap jatuh tak terbendung. Perlahan bapak mendekatinya.

"Adam, apa yang sebenarnya terjadi?” Bapak menyentuh bahunya dengan lembut. Adam memeluk bapak, kakinya gemetar lemah hingga lututnya menyentuh tanah.
"Adam, ayo katakan. Ada apa? Apa yang terjadi?" Bapak mengulang pertanyaannya.
"Maafkan Adam, pak. Adam malu. Maafkan Adam telah membuat malu keluarga kita. Telepon tadi dari Mira. Ia berkata bahwa akad nikah sudah berlangsung. Ia telah menjadi istri orang lain". Suara Adam hampir tidak terdengar.
Bapak lunglai, tubuhnya hampir saja terperosok ke selokan dekat pohon angsana. Adam memeluk erat bapak, ibu pun ikut tersungkur diantara mereka. Gerimis di musim panas ini menjadi saksi sebuah perlakuan yang tidak akan kami lupakan. Lalu aku, merampas handphone adik dan melakukan panggilan.  

"Hei kamu, apa maksud dari semua ini. Kami tidak terima dengan perlakuan sepihak kalian. Tunggu, kami akan tetap datang dan membuat kalian malu. Seperti kalian memperlakukan kami". Ku putus sambungan telephon tanpa menunggu jawaban dari seberang sana.
"Ayo Adam, kita berhak mendapat penjelasan yang pantas untuk semua ini. Semuanya, ayo kita lanjutkan perjalanan".

Mobil kembali melaju. Kali ini semua diam, hanya isak ibu yang tak henti menangis, bapak memeluknya erat. Adam menggenggam erat smartphonenya. Tatapannya kosong namun penuh amarah. 
Setengan jam kemudian kami sudah sampai di pelataran rumah. Beberapa orang berpakaian hansip sudah menunggu. Adam langsung berlari, berteriak memanggil nama kekasihnya. Orang - orang itu mencoba menghalangi langkah Adam. Mencengkram kedua tangan Adam, namun kekuatan amarah bisa di luar batas manusia biasa. Rasa benci dan emosi mengalahkan cengkraman empat orang hansip itu. Adam terus berlalu, mengobrak - abrik apapun yang menghalanginya. Meja dan kursi berserakan. Saudara - saudara lain mengejar Adam, mencoba meredakan emosinya. Memeluk erat Adam, menahan sekuat tenaga agar berhenti mengamuk. Tangan dan kakinya didekap erat agar tidak terus bergerak. Adam meraung, memanggil nama kekasihnya. Terus berteriak tanpa henti. Saat energinya mulai melemah, ia pun tertunduk lunglai.
Bapak, ibu , dan beberapa sesepuh mencoba bertemu dengan si empunya rumah. Mereka digiring ke sebuah ruang berukuran 4m x 4m. Di sana sudah menunggu keluarga dari gadis itu. Bapak, ibu dan para sesepuh menahan diri agar situasi tidak semakin ruwet. Dengan suara parau, bapak menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tiba - tiba membatalkan pernikahan dan menerima pinangan keluarga lain. 

"Kami semua butuh penjelasan dari keluarga bapak, kenapa memgambil keputusan sepihak dan sangat memdadak. Apa penyebab dari semua ini". Ucap bapak membuka pembicaraan.

Pihak ketiga yang menjadikan pernikahan Adam dan Mira batal adalah lurah di desa tersebut. Sebelum kenal dengan Adam, ternyata Mira sudah menjalin kasih dengan Yoga, anak lurah tersebut. Bahkan mereka sudah bertunangan, satu tahun sebelum Adam dan Mira bertemu. Seminggu setelah acara lamaran, Yoga pergi berlayar. Tanpa kabar berita, bahkan orangtuanya pun tidak tahu keberadaannya. Saat itu, Mira memutuskan untuk dekat dengan Adam. Semua berjalan mulus hingga hari kemarin. 
Pagi ini, di hari pernikahan Adam dan Mira, Yoga datang bersama kedua orangtuanya. Parahnya, ternyata Mira yang masih mencintai Yoga dan bersedia kembali padanya. Ngeri. Sungguh sangat mengerikan. Bagaimana bisa seorang wanita yang akan menikah dengan kekasihnya, tiba - tiba berpindah hati kembali pada kekasih lama yang telah meninggalkannya tanpa kabar selama beberapa tahun. Gila. Ini benar - benar gila. Lebih gila lagi, tanpa dosa mereka langsung menikah tanpa memikirkan perasaan Adam dan keluarga kami yang telah mempersiapkan semua tetek bengek pernikahan ini. Bahkan kami sedang dalam perjalanan ke sana. Apakah kalian tidak berpikir betapa pedihnya hati orang tua kami. Betapa terpukulnya kami, seakan tidak punya arti apa - apa di kehidupan kalian. Kami yang tiga bulan kemarin datang melamar anak gadis kalian dengan baik - baik. Mempersiapkan pesta pernikahan yang kalian inginkan. Kami yang dengan suka cita bersedia menyambut anggota baru di keluarga kami. Pikir. Dimana otak kalian.
Saat itu rasanya ingin kembali ke masa tiga bulan yang lalu. Ketika Adam mengutarakan niatnya untuk melamar Mira dan aku dengan senyum manisku menyetujui rencana itu. Menelan penolakan yang tak sempat aku utarakan. Penyesalan memang selalu hadir di belakang peristiwa.
Bapak kami hanya bisa terdiam, mendengar sambil tertunduk sedih. Beliau dengan kesabaran dan kebaikannya berusaha mengerti situasi ini. Apalah kami dibanding dengan keluarga kaya itu, keluarga lurah desa yang bergelimang harta. Bahkan mungkin sebelah mata pun kami tak terlihat. Ibu memeluk erat diriku. Mencari kekuatan agar tidak hilang kesadaran. Para sesepuh sempat emosi dan tidak terima semua alasan itu, tetapi bapak menghentikan mereka. Tidak ada gunanya meluapkan emosi di sini. Toh, mereka sudah menikah dan tidak mungkin bercerai saat itu juga. Tidak mungkin juga terjadi perceraian, karena pada kenyataanya Mira memilih Yoga, cinta lamanya yang juga kaya raya sebagai pendamping hidupnya.
Di tempat lain, Adam masih tersungkur. Dengusan nafasnya melemah setelah menghancurkan beberapa benda. Lalu Mira, dimana dia. Mungkin sedang bersembunyi di ketiak suami barunya. Ah, aku tidak peduli soal itu. Aku hanya ingin cepat pergi dari rumah yang biadab ini. Rumah yang seharusnya tidak pernah kami injak. Tempat yang membuat kami semua terluka. Luka ini akan kami jadikan sebuah do’a.

Berhati – hatilah pada orang – orang yang teraniaya, karena do’anya bisa menembus langit dan menjadi sebuah balasan yang setimpal.







#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis'03


4 komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta