√Gamis Biru Toska Pengantar Cinta
Header catatantirta.com

Gamis Biru Toska Pengantar Cinta




"Selamat ulang tahun, " Sebuah kalimat yang tidak ingin ku lihat atau ku dengar.

Bertambahnya usia menjadi moment mengerikan bagi hidupku. Menginjak usia yang tak lagi muda, dimana teman sebayaku sudah menyekolahkan putra - putrinya ke jenjang menengah pertama. Aku, masih terkurung sendiri tanpa ada yang menemani. Tidak ada tempat bersandar, mencurahkan cinta dan kasih. Ah, aku benci hari ulang tahun. Andai waktu bisa ku atur kembali, ingin rasanya berlari dari kebodohan itu.
Masa mudaku berlalu tanpa warna. Menanti sebuah janji yang tak kunjung terpenuhi. Kepahitan dan kepedihan mendera setelah hampir lima belas tahun aku bertahan. Menunggu dia yang terlanjur singgah di hatiku. Meyakinkan diri bahwa dia akan datang dan mengajakku ke pelaminan. Namun kenyataannya semua omong kosong. Kebutaanku atas ucapan manis pembohong yang kini telah memilih orang lain. Menyingkirkan ku seperti sampah yang sudah mengendap lama. Lusuh, kusam tak berwarna. Dia, kekasih yang ku tunggu tanpa membuka hati untuk yang lain dengan mudahnya mencampakkanku begitu saja. Pesan singkat dua tahun yang lalu, meluluh lantakkan dinding yang telah kujaga untuk dirinya.

Kejam, sungguh tidak punya hati. Aku terpuruk, menyesali kebodohanku. Aku tersungkur, terjerembab dalam duka yang sangat pedih. Hatiku hancur, seakan bom atom jatuh dan membuatnya menjadi debu - debu yang tak berarti. Pikiranku kosong, entah sudah berapa lama tubuh ini bergumul selimut hitam. 
Dia, pria yang ku nanti hingga masa emasku berlalu tanpa arti. Menunggu perwujudan janji yang tertinggalkan di relung hati. Dia, lelaki yang tak tahu diri. Otaknya telah membusuk, hatinya tertutup oleh kemilau dunia. Aku, menangisinya. Memalukan, amat memalukan.

"Vi, ayo bangkit. Lekaki itu tidak pantas mendapat penantianmu. Lupakan dia, untuk apa terus menyiksa diri. Dia akan besar kepala melihatmu seperti ini. Ayo, Vi. Tunjukkan bahwa tanpa dia, kamu pun bisa hidup bahagia. Jangan biarkan dia bergembira di atas duka laramu" Ucap Raya, memeluk tubuhku yang entah sudah berapa lama tidak tersentuh air.

Raya menyadarkanku, membuatku mengumpulkan sisa - sisa debu yang hampir punah. Perlahan, aku mulai menegakkan kepala. Mencoba berdamai dengan luka yang menganga. Aku, mengumpulkan segenap energi untuk bangkit dari kelamnya janji palsu. Kesadaranku beranjak, mencoba mengubur luka yang masih basah. 

Tiga bulan berlalu, aku berusaha mencari pekerjaan baru. Semua terasa sulit, mengingat usiaku yang tak lagi muda. Jarang yang mau menggunakan jasaku. Akhirnya ku putuskan untuk berwirausaha. Dengan tabungan yang ku miliki, aku memberanikan diri, menyewa sebuah kios kecil. Kujajakan aneka busana, gamis, dan hijab segala usia. Sengaja aku menyediakan trend yang banyak diminati. Bersyukur usahaku berjalan lancar. Perlahan tapi pasti, omset toko yang ku kelola sendiri mulai merangkak naik.

"Permisi tante, gamis ini ada ukuran S-nya ga" Suara gadis kecil menyapaku. Usianya sekitar tujuh tahun.
"Sebentar, saya cek dulu ya" Aku berlalu ke tumpukkan baju mencari ukuran yang dipesan.
"Maaf,Dik. Ukuran S untuk model yang ini sudah habis. Kalau boleh tahu, gamisnya untuk acara atau harian" Ucapku mencoba menanyakan kebutuhannya.
"Ayah, gamisnya tidak ada yang sesuai denganku. Aku ingin gamis baru" Rengek manja gadis kecil bersamaan dengan seorang pria yang baru saja masuk.
"Maaf, apa ada model gamis yang cocok untuk seusia anak saya? Untuk menghadiri acara - acara resmi?" Terang pria berwajah teduh sambil membelai putrinya.

Akupun segera menawarkan beberapa model gamis yang bisa dikenakan oleh putrinya. Pilihan gadis manis itu jatuh pada gamis berwarna biru toska dengan sedikit corak bunga kecil di sekitar lengan dan ujung gamis. Dia sangat senang dengan gamis yang aku tawarkan. Selesai pembayaran, mereka pun berlalu.

Beeep.,Beeep.,Beep...,
Telepon genggamku menerima panggilan masuk.
"Assalamu'alaikum, apa benar ini Toko Viranda?" Suara seorang pria di ujung sana.
"Iya, benar. Ada yang bisa saya bantu" Jawabku singkat.
"Saya Reza yang kemarin datang membeli gamis toska bersama putri saya. Apakah gamis serupa ada ukuran M-nya? Kalau ada saya pesan sekarang" Jelas ayah dari gadis itu.
"Sebentar, pak. Saya cek dulu". Aku segera mencari ukuran yang dipesan.
Beruntung masih ada stok sesuai keinginan. Akupun langsung mengabarkannya.
"Apakah bajunya bisa dikirim, kebetulan saya sedang tidak bisa datang langsung. Kalau bisa, uangnya akan saya transfer sekarang" Suaranya nampak memelas.
"Maaf, pak. Alamatnya dimana. Kalau masih dekat sini biar saya antar sendiri. Nanti bisa bayar di tempat" Aku menawarkan diri.

Ternyata tempat tinggalnya tidak terlalu jauh. Hari itu aku menutup kios lebih cepat dari biasanya. Aku pun memutuskan untuk mengantarnya langsung selepas menutup kios. Entah angin apa yang menggerakkan kakiku untuk menyambangi rumah itu. Rumah yang akan mengubah duniaku.
Sekitar pukul 17.00 WIB, aku menemukan alamat yang dituju. Sebuah rumah sederhana, berdinding biru muda. Sebuah pohon mangga berdiri di sisi gerbang. Aku mengucap salam. Tak lama kemudian muncul gadis manis yang kemarin datang bersama ayahnya. Dia membukakan gerbang dan mempersilahkan aku masuk.

"Tante mau mengantar gamis ya. Tadi ayah sudah memberitahuku. Silahkan duduk" Gadis itu menyambutku ramah.
"Kakak, ini gamisnya sudah datang" Ucapnya setengah berteriak.

Seorang gadis muncul dari balik gorden ungu tua, wajahnya seperti baru bangun tidur. Melihat postur tubuh dan wajahnya, aku mengira usianya tidak jauh beda dari adiknya. Dia nampak kurang bersemangat, duduk bersandar di sebelah adiknya.
"Tante, gamisnya boleh dicoba dulu ya. Kalau tidak muat masih bisa ditukar ya" Si adik membuka plastik gamis.
"Ayo, kak bangun. Dicoba dulu gamisnya". Ucap si adik menyerahkan gamis itu pada kakaknya.

Sang kakak meraih gamis toska dari tangan adiknya. Wajahnya masih lesu tanpa suara. Dia beranjak ke balik gorden ungu tua.
Bruuuk.
Tiba - tiba terdengar suara dari balik gorden ungu tua. Gadis kecil di sebelahku langsung berlari. Berteriak histeris. Aku menyusulnya. Terlihat sang kakak jatuh pingsan di sisi tempat tidur. Seluruh tubuhnya dingin. Aku mengangkatnya ke atas kasur. Ku guncangkan tubuhnya agar segera tersadar. Ia tetap diam tak bergeming. Aku mencari minyak angin, ku gosokkkan ke kaki dan tangannya. Hidungnya pun ku oleskan minyak angin. Perlahan matanya mulai terbuka. Syukurlah dia kembali sadar.

"Ayah, cepat pulang, kakak pingsan" Sang adik nampak menelpon ayahnya.
"Tante, jangan pergi dulu ya. Tunggu ayah pulang. Aku takut kakak pingsan lagi" Gadis kecil itu menggenggam erat tanganku. Aku pun mengangguk.

Tak lama kemudian terdengar deru sepeda motor di hentikan. Seorang pria berlari, menerobos gorden ungu tua. Wajahnya nampak cemas. Segera ia menghampiri anak gadisnya yang sempat sadar dan membaik.

"Melda, kamu kenapa nak. Apa yang sakit, ayo kita pergi ke dokter" Sang ayah memegang kening dan tubuh anaknya yang tengah tidur.
"Kakak sudah baikkan, yah. Tante Viranda yang menolong kakak. Kakak juga sudah minum teh hangat dan baru saja tidur" Jelas gadis kecil itu menenangkan ayahnya.

Pria itu menoleh padaku. Mengucapkan banyak terima kasih. Aku membalas hanya dengan sebuah senyuman. Mulut ini seakan terkunci melihat semua kejadian yang ada di depan mata. Kasih sayang seorang ayah nampak sangat jelas. Raut kecemasan di wajahnya sungguh mengganggu otakku. Pikiranku membumbung tinggi. Entahlah, aku tidak yakin dengan apa yang aku alami. Setelah melihat ayah mereka telah hadir, aku pun pamit undur diri.

"Tante, terima kasih banyak ya. Untung ada tante,  Zahra tidak tahu apa yang terjadi kalau tante tidak ada" Gadis manis itu memelukku.

Tubuhnya hampir setinggi bahuku. Ada rasa yang aneh merasuk hingga relung hatiku. Sungguh aku tidak mengerti rasa apa itu. Aku hanya mampu tersenyum, tidak satu katapun tertuang dari bibirku. Tubuh ini seperti mendapat angin yang sangat sejuk, begitu nyaman. Pelukan seorang gadis kecil menyihir kaku seluruh tubuhku.

Hari pun berlalu, tetapi wajah itu masih menghantuiku. Pelukan itu masih melekat erat di tubuhku. Seperti virus yang telah menetap, enggan berpindah tempat. Kucoba untuk tak terlalu jauh berpikir. Mengacuhkan rasa yang aku sendiri tidak tahu harus bagaimana. Ketika semua menjadi sebuah tanya, Allah SWT membalasnya dengan indah.

"Assalamu'alaikum, tante Viranda" Dua gadis memelukku erat. Rasa damai itu bertambah, menggerakkan kedua tangan ini untuk membalasnya, mendekap erat dua malaikat yang muncul tiba - tiba.

Hari itu, awal babak baru dalam hidupku. Menghapus luka yang menyisakan kepedihan. Ayah dari dua malaikat itu datang menjemputku. Membawa penawar atas luka yang pernah menganga. Hatiku tergerak begitu saja, seperti mendapat arahan yang kasat mata. Seorang pria yang memberiku kebahagian berlipat ganda. Menjadikan ku seorang istri sekaligus ibu dari dua gadis cantik yang membuatku nyaman saat memeluk mereka.

Aku, di usiaku yang tak lagi muda, mendapat anugerah Allah SWT yang teramat luar biasa. Allah SWT mengirim seorang pria yang baik, penyayang dan bertanggung jawab. DIA juga memberi bonus dua malaikat cantik yang amat ku sayang. Meski mereka tidak lahir dari rahimku, tetapi cinta, kasih, dan sayangku mengalir tulus untuk keduanya. Mereka, mengisi ruang yang telah lama kosong. Memberi warna kehidupan yang selalu kuidamkan.

Dia, lelaki yang kutemukan di usia menjelang senja. Lebih dari apa yang aku harapkan. Allah SWT selalu memberi apa yang dibutuhkan hambaNya, bukan apa yang dipinta. 
Dua malaikat berbusana toska, menjadi pendamping di hari bahagia. Hari saat mereka bersatu denganku, membentuk kata menjadi Kita.
Kita, menjalin kasih penuh canda ria. Gamis biru toska, menjadi perantara tangan Sang Maha Kuasa.
Terima Kasih atas bahagia yang telah tiba.
  





#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis(hari ke17)



Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta