"Selamat ulang tahun, " Sebuah kalimat
yang tidak ingin ku lihat atau ku dengar.
Bertambahnya usia menjadi moment mengerikan bagi hidupku.
Menginjak usia yang tak lagi muda, dimana teman sebayaku sudah menyekolahkan
putra - putrinya ke jenjang menengah pertama. Aku, masih terkurung sendiri
tanpa ada yang menemani. Tidak ada tempat bersandar, mencurahkan cinta dan
kasih. Ah, aku benci hari ulang tahun. Andai waktu bisa ku atur kembali, ingin
rasanya berlari dari kebodohan itu.
Masa mudaku berlalu tanpa warna. Menanti sebuah janji yang tak
kunjung terpenuhi. Kepahitan dan kepedihan mendera setelah hampir lima belas
tahun aku bertahan. Menunggu dia yang terlanjur singgah di hatiku. Meyakinkan
diri bahwa dia akan datang dan mengajakku ke pelaminan. Namun kenyataannya
semua omong kosong. Kebutaanku atas ucapan manis pembohong yang kini telah
memilih orang lain. Menyingkirkan ku seperti sampah yang sudah mengendap lama.
Lusuh, kusam tak berwarna. Dia, kekasih yang ku tunggu tanpa membuka hati untuk
yang lain dengan mudahnya mencampakkanku begitu saja. Pesan singkat dua tahun
yang lalu, meluluh lantakkan dinding yang telah kujaga untuk dirinya.
Kejam, sungguh tidak punya hati. Aku terpuruk, menyesali
kebodohanku. Aku tersungkur, terjerembab dalam duka yang sangat pedih. Hatiku
hancur, seakan bom atom jatuh dan membuatnya menjadi debu - debu yang tak
berarti. Pikiranku kosong, entah sudah berapa lama tubuh ini bergumul selimut
hitam.
Dia, pria yang ku nanti hingga masa emasku berlalu tanpa arti.
Menunggu perwujudan janji yang tertinggalkan di relung hati. Dia, lelaki yang
tak tahu diri. Otaknya telah membusuk, hatinya tertutup oleh kemilau dunia. Aku,
menangisinya. Memalukan, amat memalukan.
"Vi, ayo bangkit. Lekaki itu tidak pantas mendapat
penantianmu. Lupakan dia, untuk apa terus menyiksa diri. Dia akan besar kepala
melihatmu seperti ini. Ayo, Vi. Tunjukkan bahwa tanpa dia, kamu pun bisa hidup
bahagia. Jangan biarkan dia bergembira di atas duka laramu" Ucap Raya,
memeluk tubuhku yang entah sudah berapa lama tidak tersentuh air.
Raya menyadarkanku, membuatku mengumpulkan sisa - sisa debu yang
hampir punah. Perlahan, aku mulai menegakkan kepala. Mencoba berdamai dengan
luka yang menganga. Aku, mengumpulkan segenap energi untuk bangkit dari
kelamnya janji palsu. Kesadaranku beranjak, mencoba mengubur luka yang masih
basah.
Tiga bulan berlalu, aku berusaha mencari pekerjaan baru. Semua
terasa sulit, mengingat usiaku yang tak lagi muda. Jarang yang mau menggunakan
jasaku. Akhirnya ku putuskan untuk berwirausaha. Dengan tabungan yang ku miliki,
aku memberanikan diri, menyewa sebuah kios kecil. Kujajakan aneka busana,
gamis, dan hijab segala usia. Sengaja aku menyediakan trend yang banyak
diminati. Bersyukur usahaku berjalan lancar. Perlahan tapi pasti, omset toko
yang ku kelola sendiri mulai merangkak naik.
"Permisi tante, gamis ini ada ukuran S-nya ga" Suara
gadis kecil menyapaku. Usianya sekitar tujuh tahun.
"Sebentar, saya cek dulu ya" Aku berlalu ke tumpukkan
baju mencari ukuran yang dipesan.
"Maaf,Dik. Ukuran S untuk model yang ini sudah habis. Kalau
boleh tahu, gamisnya untuk acara atau harian" Ucapku mencoba menanyakan
kebutuhannya.
"Ayah, gamisnya tidak ada yang sesuai denganku. Aku ingin gamis
baru" Rengek manja gadis kecil bersamaan dengan seorang pria yang baru
saja masuk.
"Maaf, apa ada model gamis yang cocok untuk seusia anak
saya? Untuk menghadiri acara - acara resmi?" Terang pria berwajah teduh
sambil membelai putrinya.
Akupun segera menawarkan beberapa model gamis yang bisa
dikenakan oleh putrinya. Pilihan gadis manis itu jatuh pada gamis berwarna biru
toska dengan sedikit corak bunga kecil di sekitar lengan dan ujung gamis. Dia
sangat senang dengan gamis yang aku tawarkan. Selesai pembayaran, mereka pun
berlalu.
Beeep.,Beeep.,Beep...,
Telepon genggamku menerima panggilan masuk.
"Assalamu'alaikum, apa benar ini Toko Viranda?" Suara
seorang pria di ujung sana.
"Iya, benar. Ada yang bisa saya bantu" Jawabku
singkat.
"Saya Reza yang kemarin datang membeli gamis toska bersama
putri saya. Apakah gamis serupa ada ukuran M-nya? Kalau ada saya pesan
sekarang" Jelas ayah dari gadis itu.
"Sebentar, pak. Saya cek dulu". Aku segera mencari
ukuran yang dipesan.
Beruntung masih ada stok sesuai keinginan. Akupun langsung
mengabarkannya.
"Apakah bajunya bisa dikirim, kebetulan saya sedang tidak
bisa datang langsung. Kalau bisa, uangnya akan saya transfer sekarang" Suaranya
nampak memelas.
"Maaf, pak. Alamatnya dimana. Kalau masih dekat sini biar
saya antar sendiri. Nanti bisa bayar di tempat" Aku menawarkan diri.
Ternyata tempat tinggalnya tidak terlalu jauh. Hari itu aku
menutup kios lebih cepat dari biasanya. Aku pun memutuskan untuk mengantarnya
langsung selepas menutup kios. Entah angin apa yang menggerakkan kakiku untuk
menyambangi rumah itu. Rumah yang akan mengubah duniaku.
Sekitar pukul 17.00 WIB, aku menemukan alamat yang dituju.
Sebuah rumah sederhana, berdinding biru muda. Sebuah pohon mangga berdiri di
sisi gerbang. Aku mengucap salam. Tak lama kemudian muncul gadis manis yang
kemarin datang bersama ayahnya. Dia membukakan gerbang dan mempersilahkan aku
masuk.
"Tante mau mengantar gamis ya. Tadi ayah sudah
memberitahuku. Silahkan duduk" Gadis itu menyambutku ramah.
"Kakak, ini gamisnya sudah datang" Ucapnya setengah
berteriak.
Seorang gadis muncul dari balik gorden ungu tua, wajahnya
seperti baru bangun tidur. Melihat postur tubuh dan wajahnya, aku mengira
usianya tidak jauh beda dari adiknya. Dia nampak kurang bersemangat, duduk
bersandar di sebelah adiknya.
"Tante, gamisnya boleh dicoba dulu ya. Kalau tidak muat
masih bisa ditukar ya" Si adik membuka plastik gamis.
"Ayo, kak bangun. Dicoba dulu gamisnya". Ucap si adik
menyerahkan gamis itu pada kakaknya.
Sang kakak meraih gamis toska dari tangan adiknya. Wajahnya
masih lesu tanpa suara. Dia beranjak ke balik gorden ungu tua.
Bruuuk.
Tiba - tiba terdengar suara dari balik gorden ungu tua. Gadis
kecil di sebelahku langsung berlari. Berteriak histeris. Aku menyusulnya.
Terlihat sang kakak jatuh pingsan di sisi tempat tidur. Seluruh tubuhnya dingin.
Aku mengangkatnya ke atas kasur. Ku guncangkan tubuhnya agar segera tersadar.
Ia tetap diam tak bergeming. Aku mencari minyak angin, ku gosokkkan ke kaki dan
tangannya. Hidungnya pun ku oleskan minyak angin. Perlahan matanya mulai
terbuka. Syukurlah dia kembali sadar.
"Ayah, cepat pulang, kakak pingsan" Sang adik nampak
menelpon ayahnya.
"Tante, jangan pergi dulu ya. Tunggu ayah pulang. Aku takut
kakak pingsan lagi" Gadis kecil itu menggenggam erat tanganku. Aku pun
mengangguk.
Tak lama kemudian terdengar deru sepeda motor di hentikan.
Seorang pria berlari, menerobos gorden ungu tua. Wajahnya nampak cemas. Segera
ia menghampiri anak gadisnya yang sempat sadar dan membaik.
"Melda, kamu kenapa nak. Apa yang sakit, ayo kita pergi ke
dokter" Sang ayah memegang kening dan tubuh anaknya yang tengah tidur.
"Kakak sudah baikkan, yah. Tante Viranda yang menolong
kakak. Kakak juga sudah minum teh hangat dan baru saja tidur" Jelas gadis
kecil itu menenangkan ayahnya.
Pria itu menoleh padaku. Mengucapkan banyak terima kasih. Aku
membalas hanya dengan sebuah senyuman. Mulut ini seakan terkunci melihat semua
kejadian yang ada di depan mata. Kasih sayang seorang ayah nampak sangat jelas.
Raut kecemasan di wajahnya sungguh mengganggu otakku. Pikiranku membumbung
tinggi. Entahlah, aku tidak yakin dengan apa yang aku alami. Setelah melihat
ayah mereka telah hadir, aku pun pamit undur diri.
"Tante, terima kasih banyak ya. Untung ada tante, Zahra tidak tahu apa yang terjadi kalau tante
tidak ada" Gadis manis itu memelukku.
Tubuhnya hampir setinggi bahuku. Ada rasa yang aneh merasuk
hingga relung hatiku. Sungguh aku tidak mengerti rasa apa itu. Aku hanya mampu
tersenyum, tidak satu katapun tertuang dari bibirku. Tubuh ini seperti mendapat
angin yang sangat sejuk, begitu nyaman. Pelukan seorang gadis kecil menyihir
kaku seluruh tubuhku.
Hari pun berlalu, tetapi wajah itu masih menghantuiku. Pelukan
itu masih melekat erat di tubuhku. Seperti virus yang telah menetap, enggan
berpindah tempat. Kucoba untuk tak terlalu jauh berpikir. Mengacuhkan rasa yang
aku sendiri tidak tahu harus bagaimana. Ketika semua menjadi sebuah tanya,
Allah SWT membalasnya dengan indah.
"Assalamu'alaikum, tante Viranda" Dua gadis memelukku
erat. Rasa damai itu bertambah, menggerakkan kedua tangan ini untuk membalasnya,
mendekap erat dua malaikat yang muncul tiba - tiba.
Hari itu, awal babak baru dalam hidupku. Menghapus luka yang
menyisakan kepedihan. Ayah dari dua malaikat itu datang menjemputku. Membawa
penawar atas luka yang pernah menganga. Hatiku tergerak begitu saja, seperti
mendapat arahan yang kasat mata. Seorang pria yang memberiku kebahagian
berlipat ganda. Menjadikan ku seorang istri sekaligus ibu dari dua gadis cantik
yang membuatku nyaman saat memeluk mereka.
Aku, di usiaku yang tak lagi muda, mendapat anugerah Allah SWT
yang teramat luar biasa. Allah SWT mengirim seorang pria yang baik, penyayang
dan bertanggung jawab. DIA juga memberi bonus dua malaikat cantik yang amat ku
sayang. Meski mereka tidak lahir dari rahimku, tetapi cinta, kasih, dan
sayangku mengalir tulus untuk keduanya. Mereka, mengisi ruang yang telah lama
kosong. Memberi warna kehidupan yang selalu kuidamkan.
Dia, lelaki yang kutemukan di usia menjelang senja. Lebih dari
apa yang aku harapkan. Allah SWT selalu memberi apa yang dibutuhkan hambaNya,
bukan apa yang dipinta.
Dua malaikat berbusana toska, menjadi pendamping di hari
bahagia. Hari saat mereka bersatu denganku, membentuk kata menjadi Kita.
Kita, menjalin kasih penuh canda ria. Gamis biru toska, menjadi
perantara tangan Sang Maha Kuasa.
Terima Kasih atas bahagia yang telah tiba.
#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis(hari ke17)
Posting Komentar