√Dia, cinta pertama lelakiku
Header catatantirta.com

Dia, cinta pertama lelakiku



"Bu,  mau makan apa hari ini? Kita belanja sekarang, yuk." Aku memeluk lengan kanannya.
"Apa sajalah, nak. Semua bisa ibu makan." Jawabnya singkat.

Pagi mulai merona, menyumbangkan hembusan sejuk melalui pintu utama yang baru saja terbuka. Seminggu ke depan, ada tamu istimewa di gubuk kami. Tamu yang selalu kami rindukan dan kami sayangi. Beliau mempunyai posisi yang penting dalam kehiudpan kami. Seorang wanita tangguh, tidak senang jika hanya diam tanpa aktifitas. Tubuhnya akan pegal - pegal apabila hanya makan, nonton tv dan bersantai. Yah, begitulah beliau yang masih menyibukkan diri mengelola beberapa kebun di kampung halaman suami. Menanam cabai, pisang, singkong, tomat, kopi dan tembakau. 

Tempat tinggalnya di sebuah dusun yang terletak diantara gunung Sindoro dan gunung Sumbing. Dataran tinggi yang sejuk dengan udara segar dan berkabut setiap pagi. Saat mentari pulang di ujung barat, maka suasana mendadak hening. Hanya terdengar nyanyian para penghuni malam menciptakan lantunan merdu berteman sang rembulan. Sunyi dan damai membuat setiap makhluk ingin segera mencari kehangatan di balik selimut yang tebal.

Kami berjalan beriringan menyusuri rumah tetangga dan pertokoan di jalan utama komplek. Sebuah pasar mini kami sambangi pagi itu. Sayurannya masih segar dan bersih. Beberapa jenis ikan yang masih hiudp bisa dipilih dalam sebuah kolam besar. Ada ikan mas, nila, mujaer dan lele. Aku memberinya kesempatan untuk memilih sayuran dan bahan makanan yang beliau inginkan. Aku menjinjing keranjang kecil dan mengekor di belakangnya. Siap menampung apapun yang jatuh dari tangannya. 

Selepas berbelanja, kami kembali berjalan melintasi pertokoan dan beberapa rumah tetangga. Sesampainya di rumah, semua bahan makanan segera kami bawa ke dapur. Kali ini aku bertugas sebagai asisten dan beliau adalah koki utamanya. Aku mencuci sebungkus buncis dan tahu putih. Beliau mempersiapkan bumbu dan meraciknya. Beliau menugaskanku untuk mengiris tipis buncis yang telah bersih. Kemudian mengiris bawang mewah dan cabai. Beliau mulai beraksi, mengolah semua bahan makanan tersebut menjadi hidangan sederhana yang sedap dan lezat. Tumis buncis dan tahu bacem tersaji. Ditambah sebuah telor ceplok khusus untuk anak cucu kesayangannya. Harumnya masakan membuat perut keroncongan dan air liur mengalir. Ditambah setoples kerupuk udang sebagai pelengkap, membuat lidah ingin segera menikmatinya. 

Aku segera memanggil suami dan anak balita kami yang masih asyik menyiram tanaman di halaman. Memberitahukan bahwa sarapan sudah siap dan segera makan sebelum semuanya menjadi dingin. Mereka segera cuci tangan dan bergabung dengan aku dan ibu. Kami sarapan bersama dengan lauk sederhana yang spesial. Hidangan tersebut adalah menu kesukaan anak lelakinya yang sekarang telah menjadi ayah dari anakku. Keringatnya bercucuran, bibirnya memerah. Suamiku makan dengan sangat lahap. Dua piring nasi sanggup ditelannya pagi itu.

Beliau seorang wanita sederhana yang sangat mengenal anak lelakinya. Anak lelaki yang kini telah menjadi bagian dari perjalanan hidupku sejak tiga tahun yanglalu. Mulai dari sifat, hobi sampai makanan kesukaan suami, beliau sangat tahu. Bahkan sampai model sepatu dan baju pun beliau sangat memahaminya. Aku sendiri masih meraba - raba semua yang ada pada diri suamiku. Aku, harus mengorek banyak informasi darinya tentang lelaki yang lahir rahimnya  itu.

Hal umum yang biasa dikhawatirkan seorang istri yang baru saja mendapat suami adalah berinteraksi dengan ibu dari suaminya. Ibu dari lelaki yang kini menjadi pendamping hidupnya. Wanita yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membesarkan dan mendidik anak laki - laki yang kini menjadi pemimpin keluarga. Begitu banyak kecemasan yang muncul sehingga kadang ada yag berspekulasi sebelum bergaul langsung dengan sang ibu mertua. Ada yang akrab dengan mudah, namun tidak sedikit yang sering berselisih bahkan menimbulkan kebencian. Kamu termasuk yang mana? Semoga tergolong dalam kelompok akur dengan mertua.

Dari Aisyah r.a, ia berkata, saya berkata kepada Rasulullah SAW,                                                                 "Ya Rasulullah, siapakah manusia yang paling besar haknya kepada seorang perempuan/istri? Beliau menjawab,"Suaminya." Aku (Aisah) berkata,"Dan siapakah manusia yang paling berhak terhadap seorang laki-laki/suami? Beliau menjawab,"Ibunya." (Hadits Riwayat Imam An-Nasa'i, Al-Hakim, dan Imam Al-Bazzar) 

Dari hadist tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa setiap anak laki- laki / suami mempunyai kewajiban untuk mendahulukan ibunya daripada yang lain. Sebagai seorang istri, aku mencoba memahami hal tersebut. Berdamai dengan ibu mertua menjadi pilihanku dari awal aku mengenal beliau. Aku menghoratinya, mencoba memahami karakternya, mempelajari kesukaannya dan mengamati kebiasaannya. Aku juga berusaha untuk membuatnya nyaman ketika berada diantara aku dan suami. Perlahan aku mencoba mengambil hatinya. Menjadikannya sama seperti ibuku sendiri. Ini adalah caraku untuk mendapatkan cintanya agar tidak ada kesenjangan diantara kami. 

Sebagai seorang anggota baru di keluarganya, tentu saja aku yang harus menyesuaikan diri terlebih dulu. Terus menjaga hubungan yang baik antara ibu dan menantunya. Semua usahaku membuahkan hasil yang baik. Aku mendapatkan cintanya. Aku mendapat perlakuan seperti seorang anak perempuan yang lahir dari rahimnya. Ya, aku merengkuh kasih sayangnya. Membuatnya menyayangiku sama seperti cintanya pada suamiku. 

Aku bahagia telah menjadi bagian dari kehidupannya. Melalui hari -  hari tanpa ada sengketa antara aku dan dia. Walaupun terkadang ada rasa yang kurang pas dengan hatiku, tetapi aku mencoba menyampaikan dengan baik. Mengungkapkan apa yang mengganjal di hatiku tanpa harus melukai perasaanya. Meski telah belajar mengalah darinya, tentu ada masa dimana aku juga harus meluapkan apa yang membuatku tidak nyaman terkait dengannya. Itu semua aku ungkapkan dari hati seorang anak perempuan yang ingin dimengerti oleh ibunya. Memposisikan diri sebagai anak, bukan menantu, membuatku bisa lebih intim dengannya. Buktinya aku bisa bermanja - manja di bahunya. Bercanda ria ketika bersama dengannya. Kamipun menjalin kolaborasi yang kompak saat di dapur.

Dia, cinta pertama lelakiku. Ibu yang akan terus punya hak atas diri lelakiku. Dia juga akan terus menjadi ibuku. Karena dialah, aku mendapatkan lelaki yang hebat. Karena beliaulah, kami bisa bersatu. Kebersamaanku dengan anak lelakinya adalah buah dari restu dan cinta kasihnya.

Terima kasih ibu telah menjadi pahlawan atas anak lelaki yang kini menjalin bahtera rumah tangga bersamaku.






#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis(23

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta