"Ayah
sudah, hentikan. Ini anakmu bukan budak yang bisa kamu pukul sesuka
hatimu" Ibu berteriak sambil memeluk anak lelaki yang sudah memar akibat
beberapa pukulan di tubuhnya.
Leo,
adik lelakiku yang kini berusia delapan tahun. Masa dimana sedang bersenang - senang
mengenal dunia. Sekarang Leo duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Prestasi
belajar Leo cukup bagus. Dia selalu mendapat peringkat lima besar di kelasnya.
Leo sangat senang bermain lego sejak kecil. Dia juga suka bermain catur
semenjak pamannya datang dan mengenalkan permainan itu padanya. Bahkan Leo diam
- diam berlatih dengan kelompok catur setiap hari rabu selepas pulang sekolah.
Berbeda
dengan ibu, ayah tidak mendukung bakat Leo. Ayah terus menuntut Leo berlatih
renang, basket, dan sepak bola. Olahraga menantang dengan kekuatan fisik yang
optimal. Renang menjadi prioritas yang harus dikuasai Leo. Ayah mendaftarkannya
kursus renang dengan jadwal khusus. Setiap hari minggu menjadi hari yang
mengerikan bagi Leo. Hari dimana dia pasti mendapat pukulan ketika pulang dari
berlatih renang. Entah kenapa ayah begitu berambisi agar Leo bisa berenang,
padahal dia tidak menyukainya.
Sejak
kecil Leo tidak senang bermain di kolam renang, dia lebih suka menyusun batu -
batu di tepi kolam menjadi bentuk yang ia suka. Tetapi ayah menuntutnya untuk
bisa mengapung di air. Memaksanya melayang dan bergerak di air. Pernah Leo
mengalami trauma yang cukup parah karena ayah menenggelamkannya, hingga ia
lemas hampir pingsan. Leo takut melihat air, tidak mau mandi, bahkan mendengar
gemericik air pun langsung berlari ketakutan.
"Ibu,
aku tidak mau berenang lagi. Aku gak suka air. Kenapa ayah selalu memaksa"
Isak Leo sepulang berlatih renang.
Ibu
hanya mengelus kepalanya pelan, tidak ada penjelasan yang keluar dari mulutnya.
Hanya nasehat agar Leo lebih rajin berlatih.
"Leo,
cobalah berlatih lebih keras agar kamu bisa membuat ayah senang" Ibu
memeluk Leo erat.
Aku,
setiap kali hanya bisa menatap Leo dari balik kamarku. Ibu selalu menyuruhku
untuk tidak ikut campur untuk urusan yang satu ini. Tetapi lama - lam aku mulai
jengah dengan sikap ayah yang semakin keterlaluan. Lebam di tubuh Leo sudah terlalu
banyak karena belum sembuh luka minggu kemarin, minggu berikutnya ida sudah
mendapat pukulan lagi. Hanya karena Leo belum juga bisa berenang setelah hampir
satu tahun ia menjalani latihan. Sungguh, aku sudah tidak kuat untuk terus
bersembunyi. Sore itu, sengaja aku menunggu Leo di luar gerbang. Kali ini, aku
yang akan mewakilinya untuk menerima pukulan itu.
Pukul
16.00 WIB, seperti dugaanku, Leo sampai di rumah. Ia terkejut melihatku berada
di luar gerbang.
"Kak,
apa yang kakak lakukan di sini? Tanya Leo sambil menuntun sepedanya.
"Aku
sengaja menunggumu pulang. Ayo aku temani kamu masuk" Aku mengiringi
langkah Leo.
Seperti biasa, Leo sudah pasti belum ada berarti tentang latihannya berenang. Ayah sudah menunggunya di ruang tamu dengan wajah merah dan tangan mengepal. Ayah selalu memantau Leo, menelpon pelatih renangnya setiap jam kursus selesai. Kali ini hari sepertinya akan menjadi hari terparah. Meja ruang tamu itu tidak kosong seperti biasanya. Di sana tergeletak sepotong kayu yang siap mendarat di tubuh Leo. Dengan menahan napas, Leo mendekati ayah yang tengah berdiri memegang balok kayu di tangan kanannya.
"Silahkan ayah, pukul saja di bagian mana yang ayah kehendaki. Ucap Leo tanpa mengharap iba dari ayah.
Aku
menarik tubuh Leo, memasang badan ke hadapan ayah. Kali ini aku yang akan
menjadi tumbal.
"Ayah,
cukup sudah ayah menyakiti Leo. Pukul saja aku. Aku pun tidak bisa berenang.
Seharusnya ayah juga menghukumku. Teriakku sambil menarik lengan Leo.
"Apa
yang kamu lakukan Dinda, cepat masuk ke kamarmu. Jangan salahkan ayah jika juga
merasakan balok ini" Ayah mencoba mendorong tubuhku dan menarik Leo.
Aku
memberontak, mendekap tubuh Leo. Mengabaikan kemarahan ayah yang terus meledak
dan semakin menjadi.
"Dinda
! Sekali lagi ayah bilang, minggir. Jangan lindungi anak yang tidak berguna
seperti adikmu itu. Biar ayah memberinya pelajaran bahwa anak laki - laki
haruslah kuat, harus bisa berenang, bisa menjaga diri dan keluarganya. Bukan hanya
duduk menatap bidak catur dan memindahkannya di papan hitam putih itu. Dasar
anak tidak berguna" Ucap ayah dengan terus memburu Leo.
Aku bingung, tidak habis pikir apa yang ayah inginkan. Kenapa Leo harus bisa berenang, kenapa harus menjadi lelaki yang kuat, kenapa tidak boleh bermain catur. Alasan apa yang mendasari semua ini. Ibu. Ibu selalu mengalihkan perhatiannya setiap kali aku bertanya padanya. Namun, kali ini sepertinya ibu pun sudah tidak tahan lagi. Melihat ayah yang semakin kalap dan mulai hilang akal. Ibu berteriak histeris.
"Sudah cukup ! Hentikan ayah, hentikan semua ini. Ibu sudah lelah melihat semua ini. Teriak ibu seraya merangkul kaki ayah, mendekap sekuat tenaga agar ayah berhenti memburu Leo.
Ayah
pun terduduk. Sunyi. Isak tangis memenuhi seisi ruang tamu.
"Ayah,
sudahi semua ini. Hilangkan masa lalu itu. Lupakan semua kejadian yang
menyeramkan itu. Semua bukan salah ayah. Semua terjadi karena kehendak Sang
Pencipta. Ayah tak sepatutnya membebankan masa lalu itu pada Leo. Leo tidak
tahu apa -apa tentang masa kelam itu. Ibu memeluk ayah, mencoba menenangkan.
Hari itu adalah hari terakhir ayah memukul Leo. Semua sudah terungkap. Ayah menyadari bahwa kesalahannya di masa lalu tidak harus dibebankan pada Leo. Dulu, ketika ayah dan keluarganya sedang menaiki kapal penyebrangan, tiba - tiba badai datang. Kapal menjadi oleng karena tidak sanggup menahan terpaan badai. Kapal pun terbalik dan tenggelam. Semua keluarga ayah tidak tertolong. Ayah menyalahkan dirinya karena dia tidak bisa berenang sehingga tidak dapat menyelamatkan keluarganya. Ayah terapung di laut selama 2 hari tanpa makan dan minum. Beruntung ayah selamat setelah team SAR menemukannya dalam kondisi lemas. Semenjak kejadian itu, ayah ingin agar kelak anaknya bisa berenang. Ayah berharap anak - anaknya menjadi anak yang kuat agar bisa melindungi keluarganya. Ambisi itu menutup kesadaran ayah bahwa setiap orang punya bakat yang berbeda. Setiap orang punya keahlian yang berbeda. Ayah selalu diburu masa lalunya yang buruk.
Semenjak
hari itu, ayah merubah sikapnya. Tidak ada lagi pukulan mendarat di tubuh Leo,
yang ada hanyalah peluk hangat. Peluk dan senyum kebanggaan karena Leo berhasil
menjuarai beberapa turnamen catur.
Masa
lalu adalah bagian dari perjalanan hidup. Kejadian yang lampau menjadi
pembelajaran, bukan sebagai bayang - bayang penghalang masa depan.
#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis'05
Posting Komentar