Sebuah
pohon jambu biji merah masih berdiri kokoh di samping kanan rumah kami. Pohon
jambu biji merah itu bertambah tinggi dan rimbun. Batang dan rantingnya semakin
besar dan bercabang. Daunnya masih lebat, menghasilkan bunga - bunga dan buah
yang manis serta lezat. Bijinya akan merah ketika buahnya sudah masak. Setiap
pohon jambu ini berbuah, banyak tetangga yang ingin mencicipinya. Ibu pun
selalu mempersilahkan siapapun yang ingin ikut menikmati manisnya buah jambu
biji merah itu. Ibu memberikannya secara percuma, hanya mengharap keberkahan dengan
perantara buah jambu biji merah.
Aku
menatap pohon itu, membuatku kembali ke masa lima tahun yang lalu. Pohon jambu
biji merah menjadi saksi atas kebersamaan kami. Dia yang lahir lebih dulu
dariku, lima menit saja jedanya. Dia yang menjadi teman terbaikku, memenuhi
setiap ruang dalam hidupku. Aku mengenalnya sebagai cerminan dari diriku.
Jangan bertanya seperti apa wajahnya. Jika ingin tahu maka cukup dengan
menatapku. Ya, karena dia adalah bayangan atas diriku. Aku dan dia dalam
kebersamaan semenjak kami masih berlindung di alam kandungan. Aku dan dia
berbagi semua yang diberikan ibu. Aku dan dia saling memberi dan menyatu sedari
kami melihat dunia. Hanya lima menit saja, jarak antara aku dan dia menghirup
oksigen di dunia.
Kami
tidak pernah berebut ataupun bersaing. Bahkan saat pertama kali mencari sumber
makanan kami di dunia, kami mendapatkannya dengan adil. Sisi kanan untuknya dan
sisi kiri untukku. Kami mendapat semua pemberian orangtua kami secara adil. Aku
dan dia selalu menjadi kami, dimanapun kaki ini berpijak.
Ibu
dan ayah tidak pernah pusing dengan mainan yang dibelikan untuk kami. Hanya
perlu satu jenis mainan saja, maka itu sudah cukup untuk kami berdua. Kami akan
memainkannya secara bergiliran, tidak pernah ada aksi rebut merebut diantara
kami. Dia, selalu menjadi nomor dua meski lahirnya lima menit lebih dulu
daripada aku. Dia selalu mengalah, membuatku selalu mencintainya. Dia selalu
mengutamakan kesenanganku, meski harus merelakan kegembiraanya. Lagi - lagi,
aku makin jatuh cinta padanya.
Pohon
jambu biji merah itu sudah ada sejak kami mulai pandai memanjat. Dengan
ketangkasanku, aku selalu mengajaknya berayun diantara batang pohon. Awalnya
dia terus menolak, karena dia memang tidak menyukai ketangkasan. Tapi aku terus
mendesaknya, hingga akhirnya ia pun membuntutiku, memanjat pohon jambu biji
merah. Kami berpindah dari satu dahan ke dahan lain. Mencari buah yang
sekiranya sudah layak untuk dimakan. Dia selalu menuruti perkatannku. Meski
takut menderanya, tapi dia tetap memberanikan diri berjalan di atas batang
pohon.
Kami
juga membuat sebuah ayunan sederhana. Dengan mengikat kain panjang lama milik
ibu, kami menyulapnya menjadi ayunan yang menyenangkan. Kali ini dia
menyukainya. Dia senang menikmati hembusan angin yang menerpa rambut
panjangnya. Terkadang, dia juga menghabiskan hari dengan membaca buku
kesayangannya di ayunan itu. Sedangkan aku, duduk manis diantara batang pohon
tidak jauh dari ikatan ayunan. Kami menikmati hobi yang sama, namun dengan cara
yang berbeda. Kami tenggelam dalam rentenan huruf yang ditulis dengan rapi dan
menarik.
Aku
dan dia tidak jarang sekali berpisah. Kami selalu berdekatan, dimana ada dia
pasti ada aku. Ada yang hilang jika aku tanpa dia. Ada sebuah kejanggalan di
sudut hati, jika dia tidak membersamaiku. Kami menjaga satu sama lain. Aku dan
dia beriringan menghabiskan waktu bersama. Aku menyayanginya lebih dari nyawaku
sendiri. Aku mencintainya lebih dari hidupku sendiri. Aku sungguh mengasihinya.
Siang
itu, sepulang sekolah kami langsung bersantai di tempat favorit kami. Pohon
jambu biji merah setia menunggu dan menemani kami. Aku dengan tempat
kesayangaku, di sebuah batang yang tidak jauh dari ikatan ayunan. Dia dengan
kenyamanannya, berayun menikmati hembusan angin. Tiba -tiba angin besar datang,
mengguncang pohon jambu biji merah kesayangan kami. Dia langsung melompat,
mengkhawatirkan aku yang masih berpegang erat di batang pohon. Angin bertiup
sangat kencang hingga aku tidak berani turun. Namun, dia tetap setia menungguku
di bawah pohon.
Ranting
- ranting mulai berjatuhan, aku merasakan gemeretak batang pohon yang ku injak tidak
mampu menahan terpaan angin.
"Dara,
menjauh dari pohon. Batangnya akan patah." Aku berteriak memperingatkannya
untuk menjauh karena batang pohon yang kuinjak akan segera patah.
Namun,
dia tidak mempedulikanku. Dia berusaha menungguku, menjaga agar bisa
menangkapku ketika batang pohon jambu patah.
Praaaak!
Aku jatuh bersamaan dengan batang pohon jambu biji merah.
"Dara,
awaaaaaaaaas!" Aku mendengar jeritan ibu.
Gelap.
Semua menjadi gelap. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Kesadaranku
kembali diantara isak tangis ibu dan ayah. Aku terbaring di sebuah bangsal
dengan tangan berbalut perban yang sangat tebal. Aku tidak bisa merasakan
tanganku.
"Bu,
Dara mana." Aku mencari cerminan diriku. Seharusnya dia ada di sampingku.
Namun saat itu aku tidak melihatnya.
"Dara
ada di ruang lain, Ra." Kamu tenang saja, Dara akan baik - baik saja.
Aku
tahu betul bahwa saat itu ibu berbohong. Ibu yang masih terisak mencoba
menenangkanku. Namun suaranya tidak bisa menutupi kegusarannya. Mata ayah pun
terlihat sembab. Itu tanda yang sangat tidak wajar.
"Bu,
aku ingin bertemu Dara. Bawa aku ke tempatnya." Aku mencoba bangkit, namun
kakiku terasa amat ngilu.
"Dira,
kamu masih harus istirahat. Tenang saja, Dara sudah aman ditangani dokter yang
hebat.
Dokter
yang hebat, apa maksudnya. Kenapa harus dengan dokter yang hebat. Apa yang
sebenarnya terjadi. Aku ingin berlari mencari belahan jiwaku, tapi raga ini
tidak sanggup bangkit. Aku tergeletak lemas di bangsal nomor 145. Dara, entah
dimana dia. Aku merindukannya.
"Keluarga
dari pasien Dara, mohon segera ke ruang ICU." Tiba - tiba seorang suster
mendatangi ruangan kami. Ibu dan ayah langsung berhamburan. Mengikuti suster
yang nampak panik.
Sebenarnya
apa yang terjadi dengan kesayanganku. Aku sungguh ingin menemuinya. Aku ingin
melihatnya yang tidak pernah jauh dari pandanganku. Aku berusaha mengumpulkan
segenap tenanga untuk bangkit. Panggilan hatiku meminta raga ini untuk segera
menemuinya.
"Dek
Dira, ayo naik. Saya akan mengantarmu menemui saudaramu." Seorang suster
datang dengan kursi roda yang siap menampungku.
Aku
menyusuri lorong, masuk ke dalam lift dan turun dengan cepat. Suster dengan
hati - hati mengantarku, sambil sesekali mengecek infus yang tergantung.
Sekitar lima menit, aku sudah sampai di sebuah ruangan yang sepi. Hawa dingin
menyelimuti semua penjuru. Saat pintu bertulis ICU itu terbuka, aku melihatnya.
Dia belahan jiwaku. Terbaring dengan perban mengelilingi kepalanya. Matanya
terpejam, bibirnya nampak sangat pucat. Aku mendekatinya, berhenti tepat di
sisi kiri bangsal yang penuh dengan alat
- alat medis. Entahlah, aku tidak tahu apa fungdi dari semua alat itu. Satu
yang aku tahu, sebuah alat pendeteksi denyut jantung yang pernah aku lihat pada
sebuah serial televisi. Alat itu terhubung dengan tubuh Dara.
Aku
mencoba menyentuh tangannya. Ibu membantuku mendekap telapak tangannya yang
dingin. Perlahan matanya terbuka. Menatapku dan tersenyum kecil. Wajahnya
terlihat sangat lelah. Aku tak kuasa menitikkan air mata. Dia mebalas genggaman
tanganku, memberi isyarat agar aku berhenti menangis. Aku ingin memeluknya,
tapi tubuh ini tidak sanggup bangkit. Ku lekatkan pipiku di genggaman
tangannya. Menyalurkan segenap sisa tenagaku agar dia kuat. Aku memintanya
untuk kuat agar kita bisa bermain bersama - sama lagi.
Dara
menatap ibu dan ayah secara bergantian. Seperti memberi isyarat untuk meminta
ijin. Ibu dan ayah mengangguk berat. Dara kembali melihatku. Mencoba
menggenggamku lebih erat. Sentuhan tangannya seperti jabatan perpisahan. Aku
menggeleng, aku tidak setuju dengan rencananya itu. Tidak. Aku tidak
mengijinkannya pergi meninggalkan aku. Tapi Tuhan Maha Berkehendak. Tatapan itu
mulai meredup. Genggaman tangannya melemah seiring dengan garis lurus yang
nampak di monitor. Satu tarikan nafasnya untuk yang terakhir kali nampak sangat
tenang. Aku tidak lagi merasakan sentuhan tangannya. Matanya terpejam sempurna.
Aku melihat darah segar membasahi perban di kepalanya.
Dara,
mendahuluiku bertemu dengan Penciptanya.
Kembali
ku tatap pohon jambu biji merah yang hampir di tebang ayah saat pulang dari
pembaringan Dara yang terakhir. Namun, aku menghalangi ayah. Pohon jambu biji
merah ini adalah penyimpan kenanganku bersama dengan cerminan jiwaku. Jika aku
merindukannya, maka aku bisa melihat senyum manisnya diantara daun - daun yang terus lebat. Meski salah satu batangnya
telah menjadi penyebab kepergian Dara, tetapi kenangan indah lebih banyak di
sana.
Aku
akan terus merindukanmu.
Aku sangat
menyayangimu.
Dara,
cerminan dari jiwaku.
#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis(27)
Posting Komentar