√Dia Cerminan Diriku
Header catatantirta.com

Dia Cerminan Diriku



Sebuah pohon jambu biji merah masih berdiri kokoh di samping kanan rumah kami. Pohon jambu biji merah itu bertambah tinggi dan rimbun. Batang dan rantingnya semakin besar dan bercabang. Daunnya masih lebat, menghasilkan bunga - bunga dan buah yang manis serta lezat. Bijinya akan merah ketika buahnya sudah masak. Setiap pohon jambu ini berbuah, banyak tetangga yang ingin mencicipinya. Ibu pun selalu mempersilahkan siapapun yang ingin ikut menikmati manisnya buah jambu biji merah itu. Ibu memberikannya secara percuma, hanya mengharap keberkahan dengan perantara buah jambu biji merah.

Aku menatap pohon itu, membuatku kembali ke masa lima tahun yang lalu. Pohon jambu biji merah menjadi saksi atas kebersamaan kami. Dia yang lahir lebih dulu dariku, lima menit saja jedanya. Dia yang menjadi teman terbaikku, memenuhi setiap ruang dalam hidupku. Aku mengenalnya sebagai cerminan dari diriku. Jangan bertanya seperti apa wajahnya. Jika ingin tahu maka cukup dengan menatapku. Ya, karena dia adalah bayangan atas diriku. Aku dan dia dalam kebersamaan semenjak kami masih berlindung di alam kandungan. Aku dan dia berbagi semua yang diberikan ibu. Aku dan dia saling memberi dan menyatu sedari kami melihat dunia. Hanya lima menit saja, jarak antara aku dan dia menghirup oksigen di dunia. 

Kami tidak pernah berebut ataupun bersaing. Bahkan saat pertama kali mencari sumber makanan kami di dunia, kami mendapatkannya dengan adil. Sisi kanan untuknya dan sisi kiri untukku. Kami mendapat semua pemberian orangtua kami secara adil. Aku dan dia selalu menjadi kami, dimanapun kaki ini berpijak.
Ibu dan ayah tidak pernah pusing dengan mainan yang dibelikan untuk kami. Hanya perlu satu jenis mainan saja, maka itu sudah cukup untuk kami berdua. Kami akan memainkannya secara bergiliran, tidak pernah ada aksi rebut merebut diantara kami. Dia, selalu menjadi nomor dua meski lahirnya lima menit lebih dulu daripada aku. Dia selalu mengalah, membuatku selalu mencintainya. Dia selalu mengutamakan kesenanganku, meski harus merelakan kegembiraanya. Lagi - lagi, aku makin jatuh cinta padanya. 

Pohon jambu biji merah itu sudah ada sejak kami mulai pandai memanjat. Dengan ketangkasanku, aku selalu mengajaknya berayun diantara batang pohon. Awalnya dia terus menolak, karena dia memang tidak menyukai ketangkasan. Tapi aku terus mendesaknya, hingga akhirnya ia pun membuntutiku, memanjat pohon jambu biji merah. Kami berpindah dari satu dahan ke dahan lain. Mencari buah yang sekiranya sudah layak untuk dimakan. Dia selalu menuruti perkatannku. Meski takut menderanya, tapi dia tetap memberanikan diri berjalan di atas batang pohon.

Kami juga membuat sebuah ayunan sederhana. Dengan mengikat kain panjang lama milik ibu, kami menyulapnya menjadi ayunan yang menyenangkan. Kali ini dia menyukainya. Dia senang menikmati hembusan angin yang menerpa rambut panjangnya. Terkadang, dia juga menghabiskan hari dengan membaca buku kesayangannya di ayunan itu. Sedangkan aku, duduk manis diantara batang pohon tidak jauh dari ikatan ayunan. Kami menikmati hobi yang sama, namun dengan cara yang berbeda. Kami tenggelam dalam rentenan huruf yang ditulis dengan rapi dan menarik.

Aku dan dia tidak jarang sekali berpisah. Kami selalu berdekatan, dimana ada dia pasti ada aku. Ada yang hilang jika aku tanpa dia. Ada sebuah kejanggalan di sudut hati, jika dia tidak membersamaiku. Kami menjaga satu sama lain. Aku dan dia beriringan menghabiskan waktu bersama. Aku menyayanginya lebih dari nyawaku sendiri. Aku mencintainya lebih dari hidupku sendiri. Aku sungguh mengasihinya.
Siang itu, sepulang sekolah kami langsung bersantai di tempat favorit kami. Pohon jambu biji merah setia menunggu dan menemani kami. Aku dengan tempat kesayangaku, di sebuah batang yang tidak jauh dari ikatan ayunan. Dia dengan kenyamanannya, berayun menikmati hembusan angin. Tiba -tiba angin besar datang, mengguncang pohon jambu biji merah kesayangan kami. Dia langsung melompat, mengkhawatirkan aku yang masih berpegang erat di batang pohon. Angin bertiup sangat kencang hingga aku tidak berani turun. Namun, dia tetap setia menungguku di bawah pohon.

Ranting - ranting mulai berjatuhan, aku merasakan gemeretak batang pohon yang ku injak tidak mampu menahan terpaan angin. 

"Dara, menjauh dari pohon. Batangnya akan patah." Aku berteriak memperingatkannya untuk menjauh karena batang pohon yang kuinjak akan segera patah.
Namun, dia tidak mempedulikanku. Dia berusaha menungguku, menjaga agar bisa menangkapku ketika batang pohon jambu patah.

Praaaak! Aku jatuh bersamaan dengan batang pohon jambu biji merah.
"Dara, awaaaaaaaaas!" Aku mendengar jeritan ibu.

Gelap. Semua menjadi gelap. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Kesadaranku kembali diantara isak tangis ibu dan ayah. Aku terbaring di sebuah bangsal dengan tangan berbalut perban yang sangat tebal. Aku tidak bisa merasakan tanganku.

"Bu, Dara mana." Aku mencari cerminan diriku. Seharusnya dia ada di sampingku. Namun saat itu aku tidak melihatnya.
"Dara ada di ruang lain, Ra." Kamu tenang saja, Dara akan baik - baik saja.

Aku tahu betul bahwa saat itu ibu berbohong. Ibu yang masih terisak mencoba menenangkanku. Namun suaranya tidak bisa menutupi kegusarannya. Mata ayah pun terlihat sembab. Itu tanda yang sangat tidak wajar.

"Bu, aku ingin bertemu Dara. Bawa aku ke tempatnya." Aku mencoba bangkit, namun kakiku terasa amat ngilu.
"Dira, kamu masih harus istirahat. Tenang saja, Dara sudah aman ditangani dokter yang hebat.

Dokter yang hebat, apa maksudnya. Kenapa harus dengan dokter yang hebat. Apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingin berlari mencari belahan jiwaku, tapi raga ini tidak sanggup bangkit. Aku tergeletak lemas di bangsal nomor 145. Dara, entah dimana dia. Aku merindukannya.

"Keluarga dari pasien Dara, mohon segera ke ruang ICU." Tiba - tiba seorang suster mendatangi ruangan kami. Ibu dan ayah langsung berhamburan. Mengikuti suster yang nampak panik.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan kesayanganku. Aku sungguh ingin menemuinya. Aku ingin melihatnya yang tidak pernah jauh dari pandanganku. Aku berusaha mengumpulkan segenap tenanga untuk bangkit. Panggilan hatiku meminta raga ini untuk segera menemuinya.

"Dek Dira, ayo naik. Saya akan mengantarmu menemui saudaramu." Seorang suster datang dengan kursi roda yang siap menampungku.

Aku menyusuri lorong, masuk ke dalam lift dan turun dengan cepat. Suster dengan hati - hati mengantarku, sambil sesekali mengecek infus yang tergantung. Sekitar lima menit, aku sudah sampai di sebuah ruangan yang sepi. Hawa dingin menyelimuti semua penjuru. Saat pintu bertulis ICU itu terbuka, aku melihatnya. Dia belahan jiwaku. Terbaring dengan perban mengelilingi kepalanya. Matanya terpejam, bibirnya nampak sangat pucat. Aku mendekatinya, berhenti tepat di sisi kiri bangsal yang penuh dengan  alat - alat medis. Entahlah, aku tidak tahu apa fungdi dari semua alat itu. Satu yang aku tahu, sebuah alat pendeteksi denyut jantung yang pernah aku lihat pada sebuah serial televisi. Alat itu terhubung dengan tubuh Dara.

Aku mencoba menyentuh tangannya. Ibu membantuku mendekap telapak tangannya yang dingin. Perlahan matanya terbuka. Menatapku dan tersenyum kecil. Wajahnya terlihat sangat lelah. Aku tak kuasa menitikkan air mata. Dia mebalas genggaman tanganku, memberi isyarat agar aku berhenti menangis. Aku ingin memeluknya, tapi tubuh ini tidak sanggup bangkit. Ku lekatkan pipiku di genggaman tangannya. Menyalurkan segenap sisa tenagaku agar dia kuat. Aku memintanya untuk kuat agar kita bisa bermain bersama - sama lagi.

Dara menatap ibu dan ayah secara bergantian. Seperti memberi isyarat untuk meminta ijin. Ibu dan ayah mengangguk berat. Dara kembali melihatku. Mencoba menggenggamku lebih erat. Sentuhan tangannya seperti jabatan perpisahan. Aku menggeleng, aku tidak setuju dengan rencananya itu. Tidak. Aku tidak mengijinkannya pergi meninggalkan aku. Tapi Tuhan Maha Berkehendak. Tatapan itu mulai meredup. Genggaman tangannya melemah seiring dengan garis lurus yang nampak di monitor. Satu tarikan nafasnya untuk yang terakhir kali nampak sangat tenang. Aku tidak lagi merasakan sentuhan tangannya. Matanya terpejam sempurna. Aku melihat darah segar membasahi perban di kepalanya.

Dara, mendahuluiku bertemu dengan Penciptanya.

Kembali ku tatap pohon jambu biji merah yang hampir di tebang ayah saat pulang dari pembaringan Dara yang terakhir. Namun, aku menghalangi ayah. Pohon jambu biji merah ini adalah penyimpan kenanganku bersama dengan cerminan jiwaku. Jika aku merindukannya, maka aku bisa melihat senyum manisnya diantara daun - daun  yang terus lebat. Meski salah satu batangnya telah menjadi penyebab kepergian Dara, tetapi kenangan indah lebih banyak di sana. 

Aku akan terus merindukanmu.

Aku sangat menyayangimu.

Dara, cerminan dari jiwaku.










#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis(27)



Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta