"Ri, barusan aku lihat Seno. Dia makan bareng Intan di
kantin." Ucap febi beberapa detik setelah duduk di sebelahku.
Seno? Ah, aku sedang tidak ingin mendengar nama itu. Aku
harap bisa melupakannya untuk beberapa saat.
Mungkin juga menghilangkan dia
dari kehidupanku untuk seterusnya. Aku berharap tidak melihatnya, tapi itu
tidak mungkin. Duniaku terasa begitu sempit setiap kali melihat bayangannya.
Mataku hampir saja basah ketika harus menatap punggungnya. Telingaku hampir
pecah ketika mendengar suaranya. Bagaimana aku bisa menjauh darinya, jika
setiap waktu mengharuskanku untuk melibatkan dia dalam hidupku saat ini. Tuhan,
kuatkan hati yang lemah ini. Ketidaknyamanan ini mungkin akan terus berlanjut
hingga satu semester ke depan. Selepas toga keduaku, aku akan menghilang dari
pandangannya.
"Ri, kamu melamun, ya?" Kembali febi bersuara.
Kali ini menepuk lembut bahuku.
"Oh, Maaf. Aku tidak menyadari kedatanganmu, Feb."
Aku kembali pada kesadaranku.
Febi, seorang sahabat terbaik yang aku miliki. Dia selalu
menjadi tempat sampah untuk segala keluh kesahku. Dia punya pemikiran yang
lebih dewasa. Pembawaannya cenderung tenang ketika menghadapi suatu masalah.
Dia yang mengetahui dengan jelas tentang aku dan Seno. Febi selalu bisa
mengembalikan semangatku yang sering kendur. Aku mendapat pencerahan yang baik
setiap kali menyalurkan kegalauanku padanya. Febi selalu menjadi pendengar yang
baik. Positif thinkingnya sering kali berlebihan sehingga ia tidak
pernah menyimpan kekesalan pada siapapun.
Bagaimana aku bisa menyelesaikan tesisku tepat waktu. Aku
masih belum bisa berdamai dengan hatiku. Andai bukan dia yang telah membuat
luka ini, mungkin aku sudah bisa kembali menjalankan kehidupanku dengan normal.
Meski rasa sakit itu masih membekas di hati, akan mudah penyembuhannya jika dia
tidak pernah muncul di depan mataku. Tapi, semua itu tidak mungkin. Aku masih
harus bersama dengannya. Duduk dalam ruang yang sama, mendengar para pembagi
ilmu berdiri di depan kami. Lalu, bagaimana aku bisa melupakannya jika
terkadang kami terlibat dalam satu project yang sama. Sungguh luka itu semakin
menganga, perih tak terhingga.
"Maafkan aku, Ri. Ibuku tidak setuju dengan hubungan
kita. Aku rasa, kita sudahi sampai di sini"
Kalimat itu masih terngiang jelas di telingaku. Saat dia
memutuskan jalinan cinta yang telah bersemi setahun yang lalu. Dulu, kamu
datang seperti pangeran yang gagah berani. Mengungkapkan kekagumanmu padaku.
Saat itu aku masih ragu akan ketulusan kasihmu. Namun, kamu terus berjuang
mendapatkan hatiku. Berbagai cara kamu lakukan untuk meraih perhatianku.Setiap
hari, kamu mengirimkan sebuah bunga mawar merah lengkap dengan pita merah jambu
di tangkainya. Cinta mulai tumbuh di hatiku. Aku kagum dengan usahamu meraih
simpatiku. Akupun luluh dengan semua jerih payahmu itu. Melihat semua
kegigihanmu, aku mulai jatuh hati padamu. Di penghujung tahun, aku menerimamu
sebagai kekasihku.
Awal tahun menjadi permulaan jalinan kasih kita. Kebahagiaan
menyelimuti hubungan kita, bahkan teman - teman juga ikut gembira. Kita seperti
pasangan selebriti yang selalu menjadi perbicangan dan menarik perhatian.
Siapapun yang melihat kebersamaan kita akan berucap bahwa kita adalah pasanagn
yang sangat serasi. Best couple. Julukan itu ditujukan untuk kita. Aku
sangat bangga memilikimu. Aku yang biasa ini menjadi pilihan hatimu, sungguh
beruntungnya diriku. Aku membuat cemburu banyak wanita. Mendapatkamu adalah
sebuah anugerah. Tapi, itu hanya berlangsung dua belas bulan. Ya, satu tahun
kebahagiaan kita. Meninggalkan kepedihan yang teramat menyakitkan.
Aku hanya bisa diam. Tubuhku membeku. Kalimat yang kamu
ucapkan seperti petir di siang hari. Menyambar, melukai bunga - bunga yang
sedang merekah. Aku tidak sanggup menatapmu. Raga ini hilang akal. Butir -
butir bening membanjiri pipiku tanpa komando. Mereka mengalir begitu saja.
Tangan ini mendadak kaku, tidak bisa menghapusnya dari mataku. Aku duduk
terpaku, menyisakan bayanganmu yang semakin menjauh dan hilang dari pandanganku.
Sepi. Hampa. Hati ini tiba- tiba mati rasa.
Kemana rasa cinta itu pergi. Kemana kasih sayang itu lari.
Aku masih mencoba berdamai dengan diriku sendiri. Mencoba memahami posisimu
sebagai seorang anak tunggal dari ibu yang amat kau cintai. Kamu memilih dia dan
melepasku. Kamu mengikuti segala perkataaan ibumu. Bertekuk lulut atas semua
perintah wanita yang telah melahirkanmu.
Aku sadar siapalah diri ini. Segala yang aku miliki menjadi
kekurangan di mata ibumu. Aku memang berasal dari keluarga biasa, bukan dari
golongan ningrat seperti yang ibumu tentukan. Orang tuaku hanya petani yang
bekerja keras membiayai pendidikanku. Aku gadis yang biasa saja, jauh dari
kriteria yang didambakan ibumu. Aku memang jauh berbeda denganmu. Namun, kemana
cinta yang pernah kamu perjuangkan dulu. Menghilang secara tiba - tiba tanpa
ada tanda apapun.
Kemana rasa cinta yang kamu persembahkan melalui bunga -
bunga cantik itu. Apakah bisa memuai dengan mudah bersama hujan yang mengering?
Apa cinta ini tidak bisa kamu perjuangkan lagi? Apa hanya segini rasa sayang
yang dulu kamu kejar susah payah? Hanya dua belas bulan dan habis begitu saja?
Kamu anggap apa aku ini? Aku bukan terminal cinta yang bisa kamu tinggalkan
begitu saja? Huuuf, semua pertanyaan itu hanya membuatku semakin terjerumus
dalam lembah kehancuran.
Siang ini, aku menyusuri lorong kampus. Nampak seseorang
yang sangat aku kenal. Seno, kenapa aku harus melihatnya. Menyesakkan dada. Menambah
luka yang yang masih menganga. Aku melihatnya bercengkrama dengan seorang wanita.
Aku mengenalnya, gadis itu berasal dari fakultas kedokteran. Parasnya cantik,
matanya agak sipit, dan rambutnya lurus menjuntai. Cara berbusananya sangat
mengagumkan, sepertinya dia selalu mengikuti trend kekinian. Sedangkan aku,
tidak pantas jika harus dibandingkan dengannya. Jauh sekali, layaknya seorang
putri raja dengan rakyat jelata. Sontak aku mengalihkan pandanganku, berpura -
pura tidak melihat kemesraan itu. Pahit, aku menelan getir lara yang mendalam.
Tepat pukul 14.00, kelas berakhir. Aku masih belum selesai
dengan catatanku. Sepuluh menit berlalu, beberapa teman mulai meninggalkan
ruangan. Aku terus saja merangkai kata, mengabadikannya di buku catatanku.
"Hai, Tari. Apakah aku bisa mengganggumu
sebentar?" Suara itu sepertinya pernah ku dengar. Aku mengangkat kepala.
Mata itu menatapku tajam. Nada suaranya tidak asing di telingaku.
"Maaf, aku tidak ada waktu untukmu." Ku tinggalkan
dia bersama dengan segala kenagan yang ada pada dirinya.
#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis(29)
Posting Komentar