√Hanya Dua Belas Bulan
Header catatantirta.com

Hanya Dua Belas Bulan


"Ri, barusan aku lihat Seno. Dia makan bareng Intan di kantin." Ucap febi beberapa detik setelah duduk di sebelahku.

Seno? Ah, aku sedang tidak ingin mendengar nama itu. Aku harap bisa melupakannya untuk beberapa saat. 

Mungkin juga menghilangkan dia dari kehidupanku untuk seterusnya. Aku berharap tidak melihatnya, tapi itu tidak mungkin. Duniaku terasa begitu sempit setiap kali melihat bayangannya. Mataku hampir saja basah ketika harus menatap punggungnya. Telingaku hampir pecah ketika mendengar suaranya. Bagaimana aku bisa menjauh darinya, jika setiap waktu mengharuskanku untuk melibatkan dia dalam hidupku saat ini. Tuhan, kuatkan hati yang lemah ini. Ketidaknyamanan ini mungkin akan terus berlanjut hingga satu semester ke depan. Selepas toga keduaku, aku akan menghilang dari pandangannya.

"Ri, kamu melamun, ya?" Kembali febi bersuara. Kali ini menepuk lembut bahuku.

"Oh, Maaf. Aku tidak menyadari kedatanganmu, Feb." Aku kembali pada kesadaranku.

Febi, seorang sahabat terbaik yang aku miliki. Dia selalu menjadi tempat sampah untuk segala keluh kesahku. Dia punya pemikiran yang lebih dewasa. Pembawaannya cenderung tenang ketika menghadapi suatu masalah. Dia yang mengetahui dengan jelas tentang aku dan Seno. Febi selalu bisa mengembalikan semangatku yang sering kendur. Aku mendapat pencerahan yang baik setiap kali menyalurkan kegalauanku padanya. Febi selalu menjadi pendengar yang baik. Positif thinkingnya sering kali berlebihan sehingga ia tidak pernah menyimpan kekesalan pada siapapun.

Bagaimana aku bisa menyelesaikan tesisku tepat waktu. Aku masih belum bisa berdamai dengan hatiku. Andai bukan dia yang telah membuat luka ini, mungkin aku sudah bisa kembali menjalankan kehidupanku dengan normal. Meski rasa sakit itu masih membekas di hati, akan mudah penyembuhannya jika dia tidak pernah muncul di depan mataku. Tapi, semua itu tidak mungkin. Aku masih harus bersama dengannya. Duduk dalam ruang yang sama, mendengar para pembagi ilmu berdiri di depan kami. Lalu, bagaimana aku bisa melupakannya jika terkadang kami terlibat dalam satu project yang sama. Sungguh luka itu semakin menganga, perih tak terhingga.

"Maafkan aku, Ri. Ibuku tidak setuju dengan hubungan kita. Aku rasa, kita sudahi sampai di sini"

Kalimat itu masih terngiang jelas di telingaku. Saat dia memutuskan jalinan cinta yang telah bersemi setahun yang lalu. Dulu, kamu datang seperti pangeran yang gagah berani. Mengungkapkan kekagumanmu padaku. Saat itu aku masih ragu akan ketulusan kasihmu. Namun, kamu terus berjuang mendapatkan hatiku. Berbagai cara kamu lakukan untuk meraih perhatianku.Setiap hari, kamu mengirimkan sebuah bunga mawar merah lengkap dengan pita merah jambu di tangkainya. Cinta mulai tumbuh di hatiku. Aku kagum dengan usahamu meraih simpatiku. Akupun luluh dengan semua jerih payahmu itu. Melihat semua kegigihanmu, aku mulai jatuh hati padamu. Di penghujung tahun, aku menerimamu sebagai kekasihku. 

Awal tahun menjadi permulaan jalinan kasih kita. Kebahagiaan menyelimuti hubungan kita, bahkan teman - teman juga ikut gembira. Kita seperti pasangan selebriti yang selalu menjadi perbicangan dan menarik perhatian. Siapapun yang melihat kebersamaan kita akan berucap bahwa kita adalah pasanagn yang sangat serasi. Best couple. Julukan itu ditujukan untuk kita. Aku sangat bangga memilikimu. Aku yang biasa ini menjadi pilihan hatimu, sungguh beruntungnya diriku. Aku membuat cemburu banyak wanita. Mendapatkamu adalah sebuah anugerah. Tapi, itu hanya berlangsung dua belas bulan. Ya, satu tahun kebahagiaan kita. Meninggalkan kepedihan yang teramat menyakitkan.

Aku hanya bisa diam. Tubuhku membeku. Kalimat yang kamu ucapkan seperti petir di siang hari. Menyambar, melukai bunga - bunga yang sedang merekah. Aku tidak sanggup menatapmu. Raga ini hilang akal. Butir - butir bening membanjiri pipiku tanpa komando. Mereka mengalir begitu saja. Tangan ini mendadak kaku, tidak bisa menghapusnya dari mataku. Aku duduk terpaku, menyisakan bayanganmu yang semakin menjauh dan hilang dari pandanganku. Sepi. Hampa. Hati ini tiba- tiba mati rasa.
Kemana rasa cinta itu pergi. Kemana kasih sayang itu lari. Aku masih mencoba berdamai dengan diriku sendiri. Mencoba memahami posisimu sebagai seorang anak tunggal dari ibu yang amat kau cintai. Kamu memilih dia dan melepasku. Kamu mengikuti segala perkataaan ibumu. Bertekuk lulut atas semua perintah wanita yang telah melahirkanmu. 

Aku sadar siapalah diri ini. Segala yang aku miliki menjadi kekurangan di mata ibumu. Aku memang berasal dari keluarga biasa, bukan dari golongan ningrat seperti yang ibumu tentukan. Orang tuaku hanya petani yang bekerja keras membiayai pendidikanku. Aku gadis yang biasa saja, jauh dari kriteria yang didambakan ibumu. Aku memang jauh berbeda denganmu. Namun, kemana cinta yang pernah kamu perjuangkan dulu. Menghilang secara tiba - tiba tanpa ada tanda apapun. 

Kemana rasa cinta yang kamu persembahkan melalui bunga - bunga cantik itu. Apakah bisa memuai dengan mudah bersama hujan yang mengering? Apa cinta ini tidak bisa kamu perjuangkan lagi? Apa hanya segini rasa sayang yang dulu kamu kejar susah payah? Hanya dua belas bulan dan habis begitu saja? Kamu anggap apa aku ini? Aku bukan terminal cinta yang bisa kamu tinggalkan begitu saja? Huuuf, semua pertanyaan itu hanya membuatku semakin terjerumus dalam lembah kehancuran.

Siang ini, aku menyusuri lorong kampus. Nampak seseorang yang sangat aku kenal. Seno, kenapa aku harus melihatnya. Menyesakkan dada. Menambah luka yang yang masih menganga. Aku melihatnya bercengkrama dengan seorang wanita. Aku mengenalnya, gadis itu berasal dari fakultas kedokteran. Parasnya cantik, matanya agak sipit, dan rambutnya lurus menjuntai. Cara berbusananya sangat mengagumkan, sepertinya dia selalu mengikuti trend kekinian. Sedangkan aku, tidak pantas jika harus dibandingkan dengannya. Jauh sekali, layaknya seorang putri raja dengan rakyat jelata. Sontak aku mengalihkan pandanganku, berpura - pura tidak melihat kemesraan itu. Pahit, aku menelan getir lara yang mendalam.

Tepat pukul 14.00, kelas berakhir. Aku masih belum selesai dengan catatanku. Sepuluh menit berlalu, beberapa teman mulai meninggalkan ruangan. Aku terus saja merangkai kata, mengabadikannya di buku catatanku. 

"Hai, Tari. Apakah aku bisa mengganggumu sebentar?" Suara itu sepertinya pernah ku dengar. Aku mengangkat kepala. Mata itu menatapku tajam. Nada suaranya tidak asing di telingaku.

"Maaf, aku tidak ada waktu untukmu." Ku tinggalkan dia bersama dengan segala kenagan yang ada pada dirinya.











#SerpihanCahaya
#SMANSAMenulis05
#Tantangan30hariMenulis
#SeptemberMenulis(29)


Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta