√Aku dan Kamu seperti Kita (3)
Header catatantirta.com

Aku dan Kamu seperti Kita (3)

"Permisi, Mbak." Sebuah suara mengagetkanku. Lenyap sudah bayangannya dari anganku.
"Maaf ya, Mbak, saya mau membersihkan lantai. Bisa tolong geser sedikit?" Seorang petugas kebersihan kantor kembali memggoyahkan lamunanku.

Aku pun beranjak menjauh. Berjalan menuju belakang kantor mencari sumber energi pagi. Hmm, bubur ayam itu sudah nampak dari kejauhan. Rasanya enggan menghampiri gerobak itu, namun hanya menu itu yang sudah siap santap. Pedagang lain masih melakukan persiapan. Yah, mangkok bercorak ayan jago itu seakan mengais masa lalu bersama Fahri. Saya pun menyantap bubur tanpa semangat. Sesekali terhenti mencoba mengatur nafas yang memburu tanpa sebab.Oh, iya. Bougenvil itu masih ada di tempat yang sama, namun kali ini sudah lebih rimbun dan memiliki banyak teman.

Layar arloji di tangan kiriku menunjukkan pukul 08.30 wib waktu masuk kantor masih 30 menit lagi. Aku pun beranjak dan menuju lantai 21 tempatku mengais rezeki. Suasana kantor sudah ramai, bahkan ada yang telah temggelam dalam tumpukan putih melebihi tinggi dagunya.
"Lemburan yang tak berujung," Begitulah kira-kira pancaran dari raut wajah si karyawan.
Aku juga sering merasakannya, tertimbun lembaran setinggi 15cm dengan barisan huruf dan angka tak terhitung. Sangat melelahkan, tetapi amat menggembirakan ketika akhir bulan tiba dan saldo atm menggendut seperti badut. Puji syukur atas limpahan rezeki dan keberkahan setelah berpeluh leringat siang hingga malam.

Lembur.
Satu kata itu membuatku jatuh lagi. Jatuh dalam kenangan bersama Fahri yang amat peduli pada dirku. Saat itu, kantor tengah naik daun. Hampir semua karyawan masuk awal tapi pulang larut malam. Wajah-wajah lelah, penat, dan jenuh, makin terlihat jelas ketika memasuki hari ke 15. Kantong-kantong multivitamin, botol-botol penambah ion tubuh berserakan hampir di seluruh meja. Semua berlomba untuk menjaga kesehatan tubuh agar tidak tumbang  demi kesuksesan proyek perusahaaan. Tak terkecuali aku. Bermacam vitamin, tablet dan cair, masuk ke tubuhku demi menghasilkan fisik yang prima setiap hari. Namun, apalah daya diri ini. Ragaku berontak, tidak ingin dipaksa bekerja lagi. Aku terkapar di poliklinik kantor setelah jam makan siang berlangsung. Mulut tersasa sangat pahit dan perut seperti diremas-remas. Kepala cenat-cenut, berputar mengelilingi bumi. Aku pun tumbang setelah memuntahkan seluruh makan siang yang baru saja disantap.

Siang itu, aku menghubungi Fahri. Menceritakan penderitaanku. Mengharap sebuah perhatian dari dia yang selalu peduli padaku. Benar saja, Fahri gelisah mendengar kabarku yang sedang terbaring lemah. Ia pun berjanji akan menjemputku ke kantor.

"Ga, usah jemput sekarang. Nanti sore aja, sesuai jam pulang kantor. Lumayan itungannya aku ga bolos." Suaraku lirih.
"Eh, ini bocah. Lagi sakit juga masih mikirin absen. Udah pulang sekarang aja. Jangan bandel." Fahri bersungut.
"Ish, emang gitu aturannya. Kalau pulang sekarang bisa potong gaji. Mending tiduran di poli sampe sore, jadi tetap diitung masuk kerja." Jelasku sekali lagi.
"Ya, udah. Tar sore aku ke sana. Dasar kuli bandel." Ledeknya dalam kesal.

Suaranya menghilang bersama gawai yang kembali gelap. Mataku terpejam, menikmati rintihan tubuh meminta haknya untuk beristirahat. Okelah, aku mengalah demi menjaga kewarasan jiwa dan raga. Aliran darah terasa mulai merambat hingga kepala. Rasanya seperti pijatan relaksasi menciptakan kedamaian. Asupan oksigen membuat otak kembali bekerja dengan baik. Mengatur seluruh bagian tubuh agar berfungsi sebagaimana mestinya. Ya, istirahat dengan damai menjadi salah satu obat paling mujarab untuk segar kembali.

"Hei, Cahaya. Sudah jam empat. Kamu masih mau tidur di sini?" Suara itu sangat kukenal. Namun sentuhan hangat di kening ini baru pertama kali aku rasakan.
Mataku terbuka perlahan. Mengumpulkan kesadaran dari tidur yang teramat nyaman. Nampak lampu benderang membuat berkilau dinding putih bersih yang menghimpitku. Lalu pandanganku jatuh pada sorot teduhnya. Dia berada di samping kiri bangsal dengan tangan kanannya masih bertahan di keningku.

"Sepertinya masih demam." Ucapnya sambil memindahkan tangan kanannya dari dahiku.
"Eh, sejak kapan kamu ada di sini?" Tanyaku mencoba untuk duduk dan bersandar.
"Baru lima menit yang lalu. Aku sudah minta ijin perawatnya, kok. Masih pusing ga?" Wajahnya masih menyiratkan kecemasan.

Sebuah tangan hangat mendarat lagi di keningku tanpa komando. Sentuhannya lembut penuh perhatian hingga membuatku terpesona.

"Masih panas, nih. Pulang aja, yuk. Jangan bandel, besok ga usah ambil lemburan. Kalau diikutin mah, kerjaan ga ada habisnya." Deretan kata terlontar dari mulutnya.
"Iya." Jawabku singkat. Mencoba bangun dan turun dari ranjang. Lalu aku mendekati meja perawat. Mengisi daftar poli klinik dan meminjam telepon untuk menghubungi atasanku. Ijin pun aku dapatkan untuk pulang dan besok beristirahat tanpa memikirkan pekerjaan yang masih menumpuk.

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta