"Permisi,
Mbak." Sebuah suara mengagetkanku. Lenyap sudah bayangannya dari anganku.
"Maaf
ya, Mbak, saya mau membersihkan lantai. Bisa tolong geser sedikit?"
Seorang petugas kebersihan kantor kembali memggoyahkan lamunanku.
Aku
pun beranjak menjauh. Berjalan menuju belakang kantor mencari sumber energi
pagi. Hmm, bubur ayam itu sudah nampak dari kejauhan. Rasanya enggan
menghampiri gerobak itu, namun hanya menu itu yang sudah siap santap. Pedagang
lain masih melakukan persiapan. Yah, mangkok bercorak ayan jago itu seakan
mengais masa lalu bersama Fahri. Saya pun menyantap bubur tanpa semangat.
Sesekali terhenti mencoba mengatur nafas yang memburu tanpa sebab.Oh, iya.
Bougenvil itu masih ada di tempat yang sama, namun kali ini sudah lebih rimbun
dan memiliki banyak teman.
Layar
arloji di tangan kiriku menunjukkan pukul 08.30 wib waktu masuk kantor masih 30
menit lagi. Aku pun beranjak dan menuju lantai 21 tempatku mengais rezeki.
Suasana kantor sudah ramai, bahkan ada yang telah temggelam dalam tumpukan
putih melebihi tinggi dagunya.
"Lemburan
yang tak berujung," Begitulah kira-kira pancaran dari raut wajah si
karyawan.
Aku
juga sering merasakannya, tertimbun lembaran setinggi 15cm dengan barisan huruf
dan angka tak terhitung. Sangat melelahkan, tetapi amat menggembirakan ketika
akhir bulan tiba dan saldo atm menggendut seperti badut. Puji syukur atas
limpahan rezeki dan keberkahan setelah berpeluh leringat siang hingga malam.
Lembur.
Satu
kata itu membuatku jatuh lagi. Jatuh dalam kenangan bersama Fahri yang amat
peduli pada dirku. Saat itu, kantor tengah naik daun. Hampir semua karyawan
masuk awal tapi pulang larut malam. Wajah-wajah lelah, penat, dan jenuh, makin
terlihat jelas ketika memasuki hari ke 15. Kantong-kantong multivitamin,
botol-botol penambah ion tubuh berserakan hampir di seluruh meja. Semua
berlomba untuk menjaga kesehatan tubuh agar tidak tumbang demi kesuksesan
proyek perusahaaan. Tak terkecuali aku. Bermacam vitamin, tablet dan cair,
masuk ke tubuhku demi menghasilkan fisik yang prima setiap hari. Namun, apalah
daya diri ini. Ragaku berontak, tidak ingin dipaksa bekerja lagi. Aku terkapar
di poliklinik kantor setelah jam makan siang berlangsung. Mulut tersasa sangat
pahit dan perut seperti diremas-remas. Kepala cenat-cenut, berputar mengelilingi
bumi. Aku pun tumbang setelah memuntahkan seluruh makan siang yang baru saja
disantap.
Siang itu, aku menghubungi Fahri. Menceritakan penderitaanku. Mengharap sebuah perhatian dari dia yang selalu peduli padaku. Benar saja, Fahri gelisah mendengar kabarku yang sedang terbaring lemah. Ia pun berjanji akan menjemputku ke kantor.
"Ga, usah jemput sekarang. Nanti sore aja, sesuai jam pulang kantor. Lumayan itungannya aku ga bolos." Suaraku lirih.
"Eh,
ini bocah. Lagi sakit juga masih mikirin absen. Udah pulang sekarang aja.
Jangan bandel." Fahri bersungut.
"Ish,
emang gitu aturannya. Kalau pulang sekarang bisa potong gaji. Mending tiduran
di poli sampe sore, jadi tetap diitung masuk kerja." Jelasku sekali lagi.
"Ya,
udah. Tar sore aku ke sana. Dasar kuli bandel." Ledeknya dalam kesal.
Suaranya menghilang bersama gawai yang kembali gelap. Mataku terpejam, menikmati rintihan tubuh meminta haknya untuk beristirahat. Okelah, aku mengalah demi menjaga kewarasan jiwa dan raga. Aliran darah terasa mulai merambat hingga kepala. Rasanya seperti pijatan relaksasi menciptakan kedamaian. Asupan oksigen membuat otak kembali bekerja dengan baik. Mengatur seluruh bagian tubuh agar berfungsi sebagaimana mestinya. Ya, istirahat dengan damai menjadi salah satu obat paling mujarab untuk segar kembali.
"Hei, Cahaya. Sudah jam empat. Kamu masih mau tidur di sini?" Suara itu sangat kukenal. Namun sentuhan hangat di kening ini baru pertama kali aku rasakan.
Mataku terbuka perlahan. Mengumpulkan kesadaran dari tidur
yang teramat nyaman. Nampak lampu benderang membuat berkilau dinding putih
bersih yang menghimpitku. Lalu pandanganku jatuh pada sorot teduhnya. Dia
berada di samping kiri bangsal dengan tangan kanannya masih bertahan di
keningku.
"Sepertinya masih demam." Ucapnya sambil memindahkan tangan kanannya dari dahiku.
"Eh, sejak kapan kamu ada di sini?" Tanyaku mencoba
untuk duduk dan bersandar.
"Baru lima menit yang lalu. Aku sudah minta ijin
perawatnya, kok. Masih pusing ga?" Wajahnya masih menyiratkan kecemasan.
Sebuah tangan hangat mendarat lagi di keningku tanpa komando.
Sentuhannya lembut penuh perhatian hingga membuatku terpesona.
"Masih panas, nih. Pulang aja, yuk. Jangan bandel, besok
ga usah ambil lemburan. Kalau diikutin mah, kerjaan ga ada habisnya."
Deretan kata terlontar dari mulutnya.
"Iya." Jawabku singkat. Mencoba bangun dan turun
dari ranjang. Lalu aku mendekati meja perawat. Mengisi daftar poli klinik dan
meminjam telepon untuk menghubungi atasanku. Ijin pun aku dapatkan untuk pulang
dan besok beristirahat tanpa memikirkan pekerjaan yang masih menumpuk.
Posting Komentar