√Penghianatan Atas Cintaku
Header catatantirta.com

Penghianatan Atas Cintaku



Banyak kisah perselingkuhan yang viral di media sosial. Namun aku tidak ingin mengikuti jejak mereka. Menampakkan aibku sendiri sebagai korban dan ikut naik daun bersamaan dengan hasil "bagikan" diberbagai komunitas. Aku bukan korban yang ingin terkenal dibarisan kisah pelakor. Aku juga tidak mengharap sebuah ketenaran sesaat yang tak punya manfaat. Aku hanya ingin menceritakan sepenggal perjalanan hidup yang bisa diambil hikmah dari setiap kejadian. Cukup sebagai pelajaran berharga dan terkubur tanpa perlu dikenang kembali.

Inilah kisahku.

Peristiwa pahit ini bermula saat anak pertamaku lahir. Seorang bayi perempuan yang diharapkan menjadi pelengkap rumah tangga kami. Aku dan suami bekerja di tempat yang sama. Kami memang saling mengenal daan dekat karena interaksi pekerjaan. Ketika anak kami lahir, muncul kebingungan tentang pengasuhan anak. Setelah berpikir panjang, keputusan yang cukup berat harus kuambil. Kutanggalkan karirku demi mengurus buah hati kami.

Layaknya seorang ibu muda, banyak hal baru menerpaku. Aku terlena dengan kesibukanku mengurus rumah dan merawat putri cantik kami. Meski tidak mengabaikan kebutuhan lahir dan batin pada suamiku, namun semua terasa berbeda. Dulu kami begitu romantis hingga banyak rekan kerja yang iri akan kemesraan kami. Bekerja dalam satu kantor membuat interaksi kami berjalan setiap saat. Setiap gerak memang selalu nampak dan tidak pernah terlewat. Namun perlahan semuanya berubah. Intensitas komunikasi kami mulai renggang.

Aku selalu berusaha agar rumah selalu nampak baik dan rapi ketika suami pulang dari kantor. Aku pun masih berdandan untuk menyamputnya di depan pintu. Menyiapkan secangkir teh hangat di meja makan. Sampai air hangat pun selalu siap membasahi tubuhnya untuk menyegarkan badan. Senyum dan pelukan mesra kutumpahkan setiap kali ia pulang. Ada rindu mengendap setiap kali melepasnya berangkat kerja. Bagaimana tidak? Aku yang terbiasa melihatnya kemanapun ia bergerak, kini harus bersabar menantinya pulang. Memastikan lelahnya sirna ketika melihat aku dan anak kami yang senang akan kedatangannya.

Waktu pun berlalu. Tubuhku mulai melebar akibat suntikan hormon penangkal kehamilan yang masuk setiap bulannya. Aku pun mengurangi jadwal perawatan kecantikan demi menghemat pengeluaran. Suami juga pernah berpesan agar aku mengelola keuangan dengan baik. Akupun melakukan perawatan seadanya dan sewajarnya. Terlebih lagi ketika kantor sedang mengalami penurunan laba. Para pegawai dilarang lembur demi menjaga stabilitas keuangan perusahaan. Lembur berkurang, maka gaji juga berkurang. Ekonomi keluarga mulai terganggu dengan kebijakan perusahaan. Semakin kencang ikat pinggang yang kami lakukan.

Waktu pun berlalu. Pemasukan kembali meningkat seiring lonjakan kestabilan perusahaan. Suamiku sering pulang terlambat dengan alasan lembur dan terkena macet. Awalnya aku percaya, namun tiba-tiba hatiku seperti tersambar petir. Seorang teman mengabarkan tentang kedekatan suamiku dengan wanita lain. Wanita itu rekan kerja suamiku dan aku pun mengenalnya.

Nafasku sesak menerima kabar itu, namun aku berusaha tetap tenang. Aku akan meminta penjelasan kabar itu pada suamiku saat ia pulang ke rumah.
Betapa marahnya suamiku mendengar kecurigaanku. Ia bersumpah bahwa kabar itu salah. Gosip yang tidak berguna. Ia menjelaskan bahwa mereka terlibat sebuah proyek sehingga sering terlihat bersama.
 
Mendengar alasan logisnya, aku pun coba membuang kecurigaanku. Aku berusaha mempercayai suamiku. Mengumpulkan cinta agar tetap kuat demi keutuhan keluarga kami.
Namun kegelisahan semakin menerpaku. Satu demi satu bukti ketidakwajaran perilaku suamiku mulai nampak. Pernah suatu hari aku menemukan struk pembayaran di saku celana suamiku. Tertulis sebuah nama restoran cepat saji dengan dua porsi menu komplit. Aku pun menanyakan perihal itu. Suamiku menjelaskan bahwa itu makan bersama klien di luar kantor. Lain waktu aku mencium wangi parfum wanita di bajunya. Dia kembali berkelit bahwa itu tester parfum dari jualan teman kantor.
Suamiku semakin sering pulang terlambat. Alasannya ada-ada saja. Dari mulai lembur, kumpul bareng teman, main futsal dan lain-lain. Semakin lama sikapnya menjadi lebih dingin. Tidak ada kata-kata mesra. Tidak ada lagi belaian lembut yang mendarat di tubuhku. Kehidupan kami menjadi semakin hampa. Melihat tetapi tidak nampak. Dekat namun tak bersentuhan.

Kecurigaanku makin bertambah ketika suamiku sering membawa barang baru. Mulai dari kemeja, jam tangan, sampai sepatu juga baru. Katanya itu hadiah dari klien karena berhasil menjalin kerjasama dengan perusahaan. Namun aku mulai tidak langsung percaya padanya. Semua mulai tidak masuk akal. Semua perubahan pada dirinya membuatku tergerak untuk mencari kebenaran. Gaya pakaian suamiku berubaah jadi lebih gaul. Kesederhanaan yang sempat kami terapkan langsung bertolak ke arah modis dan trendi. Aku semakin cemas hingga kuputuskan untuk menemui salah satu teman yang masih satu kantor dengan suamiku.

Betapa hancur hati ini mendapati kebenaran teramat sakit. Hancur sudah pondasi kepercayaan yang kubangun dengan susah payah. Luluh lantak seperti tertimpa bom nuklir yang jatuh dari pesawat tempur. Tidak ada lagi barisan ruang, hanya tersisa serpihan debu mengepul di udara. Menguap bersama air mata yang mengalir deras.

Malam itu, keributan menguasai rumah kami. Peraboat saling bertabrakan menciptakan kegaduhan. Bantal dan guling memuntahkan kapasnya akibat hantaman yang bertubi-tubi. Bahkan jendela rumah kami porak poranda. Melebihi kapal yang pecah setelah menabrak karang.
Malam itu puncak dari amarah seorang istri atas penghianatan suaminya. Perselingkuhan menjatuhkanku ke dalam lembah luka. Aku terpuruk dalam kebodohan atas sebuah kesetiaan. Aku terjerembab akibat kemaksiatan suamiku. Aku sangat membencinya.

Malam itu suaraku menggelegar. Menembus hingga berhamburan. Aku tidak peduli para tetangga datang. Kuluapkan semua kesakitanku. Aku mengusirnya. Dia tidak berhak ada di rumah yang menjadi jerih keringatku.
Kulempar semua pakaian hingga seluruh barang atas namanya. Tidak ada lagi yang tersisa. Semua tak ingin lagi kulihat.
 
Lalu tahukah seperti apa responnya atas semua perbuatanku itu? Sungguh menambah parah luka ini. Dengan tampang tidak berdosa, dia meneriakkan kata "cerai". Sebuah kata yang tidak pernah masuk dalam kamus hidupku. Kata yang tidak sekalipin terlintas dalam benakku.

Aku lemas. Tubuhku lunglai tak bertulang. Semudah itu dia menceraikanku. Aku sungguh tidak menduganya. Penghianatan itu teramat parah hingga ia rela menghancurkan janji suci yang pernah diikrarkannya. Kejam. Perselingkuhan itu menjadi kekejaman terbesar yang dilakukan seorang suami.
Aku mengutuknya agar kesakitan juga datang menimpanya. Agar dia tahu bahwa karma itu ada. Agar dia tahu bahwa penghianatan tidak akan pernah berbuah kebahagiaan. Kesakitanku akan menciptakan kesusahan hidupnya.

Sepertinya Tuhan mendengar doaku. Kehidupan mantan suamiku bersama pelakor kejam itu kini diambang kehancuran. Mereka terbelit hutang rentenir yang tak mungkin bisa terbayar.
Sekarang, aku menjadi penonton yang sedang bertepuk tangan. Bersorak gembira atas karma yang sedang menderanya. Bahagiaku melihat deritamu. Rasakan.



#RuangMenulis
#WritingTresnoJalaranSokoKulino
#KarmaPerselingkuhan



4 komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta