Banyak kisah perselingkuhan yang viral di media sosial.
Namun aku tidak ingin mengikuti jejak mereka. Menampakkan aibku sendiri sebagai
korban dan ikut naik daun bersamaan dengan hasil "bagikan" diberbagai
komunitas. Aku bukan korban yang ingin terkenal dibarisan kisah pelakor. Aku
juga tidak mengharap sebuah ketenaran sesaat yang tak punya manfaat. Aku hanya
ingin menceritakan sepenggal perjalanan hidup yang bisa diambil hikmah dari
setiap kejadian. Cukup sebagai pelajaran berharga dan terkubur tanpa perlu
dikenang kembali.
Inilah kisahku.
Peristiwa pahit ini bermula saat anak pertamaku lahir.
Seorang bayi perempuan yang diharapkan menjadi pelengkap rumah tangga kami. Aku
dan suami bekerja di tempat yang sama. Kami memang saling mengenal daan dekat
karena interaksi pekerjaan. Ketika anak kami lahir, muncul kebingungan tentang
pengasuhan anak. Setelah berpikir panjang, keputusan yang cukup berat harus
kuambil. Kutanggalkan karirku demi mengurus buah hati kami.
Layaknya seorang ibu muda, banyak hal baru menerpaku. Aku
terlena dengan kesibukanku mengurus rumah dan merawat putri cantik kami. Meski
tidak mengabaikan kebutuhan lahir dan batin pada suamiku, namun semua terasa
berbeda. Dulu kami begitu romantis hingga banyak rekan kerja yang iri akan
kemesraan kami. Bekerja dalam satu kantor membuat interaksi kami berjalan
setiap saat. Setiap gerak memang selalu nampak dan tidak pernah terlewat. Namun
perlahan semuanya berubah. Intensitas komunikasi kami mulai renggang.
Aku selalu berusaha agar rumah selalu nampak baik dan rapi
ketika suami pulang dari kantor. Aku pun masih berdandan untuk menyamputnya di
depan pintu. Menyiapkan secangkir teh hangat di meja makan. Sampai air hangat
pun selalu siap membasahi tubuhnya untuk menyegarkan badan. Senyum dan pelukan
mesra kutumpahkan setiap kali ia pulang. Ada rindu mengendap setiap kali
melepasnya berangkat kerja. Bagaimana tidak? Aku yang terbiasa melihatnya
kemanapun ia bergerak, kini harus bersabar menantinya pulang. Memastikan
lelahnya sirna ketika melihat aku dan anak kami yang senang akan kedatangannya.
Waktu pun berlalu. Tubuhku mulai melebar akibat suntikan
hormon penangkal kehamilan yang masuk setiap bulannya. Aku pun mengurangi
jadwal perawatan kecantikan demi menghemat pengeluaran. Suami juga pernah
berpesan agar aku mengelola keuangan dengan baik. Akupun melakukan perawatan
seadanya dan sewajarnya. Terlebih lagi ketika kantor sedang mengalami penurunan
laba. Para pegawai dilarang lembur demi menjaga stabilitas keuangan perusahaan.
Lembur berkurang, maka gaji juga berkurang. Ekonomi keluarga mulai terganggu
dengan kebijakan perusahaan. Semakin kencang ikat pinggang yang kami lakukan.
Waktu pun berlalu. Pemasukan kembali meningkat seiring
lonjakan kestabilan perusahaan. Suamiku sering pulang terlambat dengan alasan lembur
dan terkena macet. Awalnya aku percaya, namun tiba-tiba hatiku seperti
tersambar petir. Seorang teman mengabarkan tentang kedekatan suamiku dengan wanita
lain. Wanita itu rekan kerja suamiku dan aku pun mengenalnya.
Nafasku sesak menerima kabar itu, namun aku berusaha tetap
tenang. Aku akan meminta penjelasan kabar itu pada suamiku saat ia pulang ke
rumah.
Betapa marahnya suamiku mendengar kecurigaanku. Ia bersumpah bahwa kabar itu salah. Gosip yang tidak berguna. Ia menjelaskan bahwa mereka terlibat sebuah proyek sehingga sering terlihat bersama.
Betapa marahnya suamiku mendengar kecurigaanku. Ia bersumpah bahwa kabar itu salah. Gosip yang tidak berguna. Ia menjelaskan bahwa mereka terlibat sebuah proyek sehingga sering terlihat bersama.
Mendengar alasan logisnya, aku pun coba membuang kecurigaanku. Aku berusaha
mempercayai suamiku. Mengumpulkan cinta agar tetap kuat demi keutuhan keluarga
kami.
Namun kegelisahan semakin menerpaku. Satu demi satu bukti
ketidakwajaran perilaku suamiku mulai nampak. Pernah suatu hari aku menemukan
struk pembayaran di saku celana suamiku. Tertulis sebuah nama restoran cepat
saji dengan dua porsi menu komplit. Aku pun menanyakan perihal itu. Suamiku
menjelaskan bahwa itu makan bersama klien di luar kantor. Lain waktu aku
mencium wangi parfum wanita di bajunya. Dia kembali berkelit bahwa itu tester
parfum dari jualan teman kantor.
Suamiku semakin sering pulang terlambat. Alasannya ada-ada
saja. Dari mulai lembur, kumpul bareng teman, main futsal dan lain-lain.
Semakin lama sikapnya menjadi lebih dingin. Tidak ada kata-kata mesra. Tidak
ada lagi belaian lembut yang mendarat di tubuhku. Kehidupan kami menjadi
semakin hampa. Melihat tetapi tidak nampak. Dekat namun tak bersentuhan.
Kecurigaanku makin bertambah ketika suamiku sering membawa
barang baru. Mulai dari kemeja, jam tangan, sampai sepatu juga baru. Katanya
itu hadiah dari klien karena berhasil menjalin kerjasama dengan perusahaan.
Namun aku mulai tidak langsung percaya padanya. Semua mulai tidak masuk akal.
Semua perubahan pada dirinya membuatku tergerak untuk mencari kebenaran. Gaya
pakaian suamiku berubaah jadi lebih gaul. Kesederhanaan yang sempat kami
terapkan langsung bertolak ke arah modis dan trendi. Aku semakin cemas hingga
kuputuskan untuk menemui salah satu teman yang masih satu kantor dengan
suamiku.
Betapa hancur hati ini mendapati kebenaran teramat sakit.
Hancur sudah pondasi kepercayaan yang kubangun dengan susah payah. Luluh lantak
seperti tertimpa bom nuklir yang jatuh dari pesawat tempur. Tidak ada lagi
barisan ruang, hanya tersisa serpihan debu mengepul di udara. Menguap bersama
air mata yang mengalir deras.
Malam itu, keributan menguasai rumah kami. Peraboat saling
bertabrakan menciptakan kegaduhan. Bantal dan guling memuntahkan kapasnya
akibat hantaman yang bertubi-tubi. Bahkan jendela rumah kami porak poranda.
Melebihi kapal yang pecah setelah menabrak karang.
Malam itu puncak dari amarah seorang istri atas penghianatan suaminya. Perselingkuhan menjatuhkanku ke dalam lembah luka. Aku terpuruk dalam kebodohan atas sebuah kesetiaan. Aku terjerembab akibat kemaksiatan suamiku. Aku sangat membencinya.
Malam itu puncak dari amarah seorang istri atas penghianatan suaminya. Perselingkuhan menjatuhkanku ke dalam lembah luka. Aku terpuruk dalam kebodohan atas sebuah kesetiaan. Aku terjerembab akibat kemaksiatan suamiku. Aku sangat membencinya.
Malam itu suaraku menggelegar. Menembus hingga berhamburan.
Aku tidak peduli para tetangga datang. Kuluapkan semua kesakitanku. Aku
mengusirnya. Dia tidak berhak ada di rumah yang menjadi jerih keringatku.
Kulempar semua pakaian hingga seluruh barang atas namanya. Tidak ada lagi yang tersisa. Semua tak ingin lagi kulihat.
Kulempar semua pakaian hingga seluruh barang atas namanya. Tidak ada lagi yang tersisa. Semua tak ingin lagi kulihat.
Lalu tahukah seperti apa responnya atas semua perbuatanku itu? Sungguh menambah
parah luka ini. Dengan tampang tidak berdosa, dia meneriakkan kata
"cerai". Sebuah kata yang tidak pernah masuk dalam kamus hidupku.
Kata yang tidak sekalipin terlintas dalam benakku.
Aku lemas. Tubuhku lunglai tak bertulang. Semudah itu dia
menceraikanku. Aku sungguh tidak menduganya. Penghianatan itu teramat parah
hingga ia rela menghancurkan janji suci yang pernah diikrarkannya. Kejam.
Perselingkuhan itu menjadi kekejaman terbesar yang dilakukan seorang suami.
Aku mengutuknya agar kesakitan juga datang menimpanya. Agar
dia tahu bahwa karma itu ada. Agar dia tahu bahwa penghianatan tidak akan
pernah berbuah kebahagiaan. Kesakitanku akan menciptakan kesusahan hidupnya.
Sepertinya Tuhan mendengar doaku. Kehidupan mantan suamiku
bersama pelakor kejam itu kini diambang kehancuran. Mereka terbelit hutang rentenir yang
tak mungkin bisa terbayar.
Sekarang, aku menjadi penonton yang sedang bertepuk tangan.
Bersorak gembira atas karma yang sedang menderanya. Bahagiaku melihat deritamu.
Rasakan.
#RuangMenulis
#WritingTresnoJalaranSokoKulino
#KarmaPerselingkuhan
#WritingTresnoJalaranSokoKulino
#KarmaPerselingkuhan
Ehmmm, sadis ya tapi suka😜
BalasHapusThanks, Apik.
HapusAku suka banget dwi, ikut emosi bacanya.
BalasHapusNulisnya sambil berkhayal ini Fren
Hapus