"Aku tahu kamu tidak gila. Tetapi jika itu benar
terjadi pada dirimu, maka aku akan berlari menggapaimu. Menggenggam erat
tanganmu hingga kewarasan kembali bersatu dengan ragamu".
Sebuah pernyataan spontan dari Tia ketika sahabat karibnya
menyerahkan hasil tes psikologi. Amplop cokelat pembungkus kertas putih berlogo
rumah sakit itu terkapar di lantai. Tangan kanan Tia membaca dengan cermat
baris demi baris yang terpampang di sana. Sesekali menatap ke arah gadis paruh
baya yang telah dikenalnya sebanyak sepuluh purnama. Matanya menyipit,
keningnya mengerut bersama dengan bibir yang terkatup rapat.
" Hai, Aya. Kamu baik - baik saja?", tanya Tia
sewajar mungkin. Dia tidak ingin membuat sahabatnya semakin kacau.
" Entahlah, Ti. Aku sedang kacau saat tes itu berlangsung.
Konsentrasiku buyar memikirkan hal lain. Ibu,bapak, adik, juga calon suamiku.
Semua membuat pikiranku bercabang tak tentu arah. Biarlah, aku pasrah jika
tidak lolos seleksi ", Aya tertunduk lesu.
Tia mendekat dan duduk si sisi kanan sahabatnya. Berusaha
tetap tenang menanti penjelasan atas apa yang sebenarnya terjadi. Keheningan
cukup lama berlalu hingga akhirnya tangis Aya pecah tak terbendung lagi. Air
matanya mengalir tanpa henti bersama dengan kesakitan yang tengah ia rasakan.
Bagaimana semua bisa terjadi ? Kapan semua ini bermula ? Kenapa aku tidak
menyadarinya ? Bodoh. Bodohnya aku yang tidak menyadari semua itu.
Aya meraung sejadinya. Memukul kursi ruang tamu yang terbuat
dari kayu. Tangannya tidak merasakan sakit sedikitpun. Dia mengulang semua
pertanyaan yang jawabannya telah mencipta luka yang amat perih. Melebihi sakit
di tangannya yang mulai membiru.
Tia hanya mampu terdiam. Mendekap dan mengusap punggung
sahabatnya itu. Berharap ketenangan segera menyapanya. Luapan emosi seorang
korban penghianatan dari orang - orang terkasihnya. Siapa yang tidak aka gila
jika mengalami semua itu. Dibohongi, ditipu, dan dihianati. Pelakunya adalah
orang - orang yang menjadi keluarganya sendiri.
Wajar saja jika kepalanya seperti pecah berhamburan. Darahnya
berhenti mengalir, sesak, dan mencekik lehernya. Pantas jika kegilaan nyaris
menguasai jiwanya. Tia ikut naik pitam. Otaknya tak mampu menerima kenyataan
pahit yang baru saja menimpa sahabat baiknya. Kegilaan itu memang telah
tercipta.
Kejam. Seorang adik kandung telah mati rasa. Merebut belahan
jiwa milik kakaknya. Sebongkah daging telah terbentuk di dalam rahimnya. Miris.
Penanggungjawabnya adalah calon suami dari wanita yang ia panggil kakak.
#CerpenFiksi
#RuangMenulis
#WritingTresnoJalaranSokoKulino
#Odopfor99days26Jan18
#RuangMenulis
#WritingTresnoJalaranSokoKulino
#Odopfor99days26Jan18
Posting Komentar