√Kamu Tidak Akan Gila
Header catatantirta.com

Kamu Tidak Akan Gila



"Aku tahu kamu tidak gila. Tetapi jika itu benar terjadi pada dirimu, maka aku akan berlari menggapaimu. Menggenggam erat tanganmu hingga kewarasan kembali bersatu dengan ragamu".

Sebuah pernyataan spontan dari Tia ketika sahabat karibnya menyerahkan hasil tes psikologi. Amplop cokelat pembungkus kertas putih berlogo rumah sakit itu terkapar di lantai. Tangan kanan Tia membaca dengan cermat baris demi baris yang terpampang di sana. Sesekali menatap ke arah gadis paruh baya yang telah dikenalnya sebanyak sepuluh purnama. Matanya menyipit, keningnya mengerut bersama dengan bibir yang terkatup rapat.

" Hai, Aya. Kamu baik - baik saja?", tanya Tia sewajar mungkin. Dia tidak ingin membuat sahabatnya semakin kacau.
" Entahlah, Ti. Aku sedang kacau saat tes itu berlangsung. Konsentrasiku buyar memikirkan hal lain. Ibu,bapak, adik, juga calon suamiku. Semua membuat pikiranku bercabang tak tentu arah. Biarlah, aku pasrah jika tidak lolos seleksi ", Aya tertunduk lesu.

Tia mendekat dan duduk si sisi kanan sahabatnya. Berusaha tetap tenang menanti penjelasan atas apa yang sebenarnya terjadi. Keheningan cukup lama berlalu hingga akhirnya tangis Aya pecah tak terbendung lagi. Air matanya mengalir tanpa henti bersama dengan kesakitan yang tengah ia rasakan. Bagaimana semua bisa terjadi ? Kapan semua ini bermula ? Kenapa aku tidak menyadarinya ? Bodoh. Bodohnya aku yang tidak menyadari semua itu.

Aya meraung sejadinya. Memukul kursi ruang tamu yang terbuat dari kayu. Tangannya tidak merasakan sakit sedikitpun. Dia mengulang semua pertanyaan yang jawabannya telah mencipta luka yang amat perih. Melebihi sakit di tangannya yang mulai membiru.

Tia hanya mampu terdiam. Mendekap dan mengusap punggung sahabatnya itu. Berharap ketenangan segera menyapanya. Luapan emosi seorang korban penghianatan dari orang - orang terkasihnya. Siapa yang tidak aka gila jika mengalami semua itu. Dibohongi, ditipu, dan dihianati. Pelakunya adalah orang - orang yang menjadi keluarganya sendiri.

Wajar saja jika kepalanya seperti pecah berhamburan. Darahnya berhenti mengalir, sesak, dan mencekik lehernya. Pantas jika kegilaan nyaris menguasai jiwanya. Tia ikut naik pitam. Otaknya tak mampu menerima kenyataan pahit yang baru saja menimpa sahabat baiknya. Kegilaan itu memang telah tercipta.

Kejam. Seorang adik kandung telah mati rasa. Merebut belahan jiwa milik kakaknya. Sebongkah daging telah terbentuk di dalam rahimnya. Miris. Penanggungjawabnya adalah calon suami dari wanita yang ia panggil kakak.


#CerpenFiksi
#RuangMenulis
#WritingTresnoJalaranSokoKulino
#Odopfor99days26Jan18



 

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta