Krik krik krik krik ,
suara ini selalu menjadi irama malam di desa tempat Vivi tinggal. Sebuah desa
kecil yang diapit oleh gunung Sindoro dan Sumbing. Udara dingin menyelimuti
seluruh penjuru desa. Sebuah tempat yang berada sekitar 3000 meter di atas
permukaan laut. Desa yang damai, asri, sejuk, aman dan tentram. Masyarakatnya
hidup berdampingan dengan kesederhanaan. Air tak perlu menggali ataupun
membayar karena sudah dicukupi oleh alam. ekosistem dijaga dan dirawat dengan
baik karena mereka juga bergantung pada hasil yang alam berikan. Sayur mayur
jarang sekali diperjualbelikan, cukup dengan menanamnya di halaman rumah
ataupun di ladang. Bahkan keseimbangan gizi yaitu protein nabati dan hewani pun
di dapat dengan memelihara dan memanen sendiri. Hasil bercocok tanam andalan
desa ini adalah tembakau dan kopi. Kedua tanaman ini dibudidayakan oleh warga
desa karena memang cocok dengan lingkungan desa yang sejuk. Tidak terkecuali
orang tua Vivi. Bapak dan ibu Vivi adalah orang tua sederhana. Hanya berijasahkan
Sekolah Rakyat ( saat ini disebut Sekolah Dasar ). Pada masa itu, belajar di
sekolah masih sedikit peminatnya. Beruntung keduanya disekolahkan hingga tamat.
Meskipun hanya
tamatan SR ( Sekolah Rakyat ), orang tua Vivi sangat peduli dengan pendidikan
anak-anaknya. Mereka berusaha menyokong pendidikan anak-anaknya sampai tingkat
tinggi. Dengan beternak sapi, kambing dan ayam serta menanam kopi juga tembakau
untuk membiayai sekolah Vivi dan kakak tunggalnya. Sebidang kecil tanah ladang
di pinggir hutan menjadi kunjungan sehari-hari kedua orang tua Vivi. Orang tua
yang tangguh kebanggaan Vivi dan kakaknya.
Sedari Vivi kecil,
keluarganya hidup sederhana. Wejangan bapak dan ibu yang akan selalu diingat
sepanjang hidupnya. "Berusahalah menjadi orang berguna, jangan malu dengan
status sosial karena itu akan tertutupi jika kamu berprestasi. Belajarlah
dengan tekun dan sungguh-sungguh, persoalan biaya adalah tanggung jawab bapak
dan ibu. Kewajiban kamu dan mas mu adalah sekolah setinggi mungkin dan buatlah
kami bangga ". Mungkin kata - kata ini sudah umum diucapkan banyak orang
tua, tetapi bagi Vivi dan kakaknya pesan ini adalah harapan kedua orang
kesayangan mereka.
Hari berganti , tahun pun terus berlalu. Tibalah saat
sang kakak lulus dari Sekolah tingkat atas, lulus sebagai salah satu siswa
terbaik di sekolahnya. Keluarga menyambutnya dengan kebanggaan. Namun di balik
kebahagiaan itu, terselip kesedihan. Sang kakak tidak bisa melanjutkan studinya
ke tingkat perguruan tinggi. Ekonomi orang tua Vivi belum cukup untuk menyokong
kakaknya sampai tingkat perguruan tinggi. Sang kakak berbesar hati, tidak ada
rasa kecewa karena langkahnya harus terhenti. Ia tahu dalam diam orang tua nya
ada rasa sedih dan bersalah. Saat itu Vivi masih duduk di bangku Sekolah tingkat
pertama. Vivi berdiri di balik pintu, ia
mendengarkan percakapan bapak dan kakaknya. Inti dari perbincangan itu adalah
sang kakak tidak menuntut untuk di sekolahkan lagi, kakaknya paham dan mengerti
bahwa prioritas adalah mempertahankan kelanjutan sekolah Vivi. Biarlah kakak
mengalah karena yang terpenting bapak dan ibu tetap bisa membiayai Vivi.
Walaupun Vivi adalah anak perempuan tetapi dia juga berhak mendapat pendidikan
yang layak. Mendengar pembicaraan itu, Vivi sangat tersentuh, betapa ini adalah
budi baik dari sang kakak. Vivi pun bertekad bahwa dia akan rajin belajar dan
membanggakan kakak juga orang tua nya. Vivi tidak akan menyia-nyiakan
pengorbanan kakak semata wayang nya itu. Sang kakak pun akhirnya merantau
keluar kota untuk mencari pekerjaan.
Beberapa tahun
kemudian, sang kakak mengabarkan bahwa dia mendapat pekerjaan yang bagus.
Penghasilannya bisa dibilang lumayan banyak. Kakaknya pun mulai membantu biaya
sekolah Vivi. Sebagai balasan dari ketulusan dan kebaikan sang kakak, Vivi pun
menunjukkan prestasi gemilang. Kelulusannya di Sekolah Menengah Atas dengan
nilai memuaskan membuat Vivi dengan mudah mendapat tempat di Perguruan Tinggi
Negeri. Ketika itu, perekonomian keluarga Vivi sudah jauh lebih baik. Vivi
menyampaikan kabar gembira ini kepada kakaknya. Melalui telepon seluler
pemberian kakaknya, Vivi berbicara. " Mas, aku diterima di fakultas negeri.
Menurut kamu bagaimana, apakah aku ambil? Aku merasa berat, dulu pendidikanmu
terhenti karena mengalah demi aku. Apakah kamu ikhlas jika aku melampaui
mu?". Tanpa disangka sang kakak justru marah. Dengan sedikit nada tinggi
di ujung telepon, dia berkata :" kamu ini gimana sih de, kenapa berkata
seperti itu. Aku ini kakak mu dan aku punya tanggung jawab juga atas dirimu.
Dulu aku mengalah karena hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai tugasku
menjadi kakak mu. Sekarang mengapa kamu merasa berat? Lanjutkan pendidikan mu,
buatlah bapak ibu dan mas mu ini bangga padamu". Tidak disangka begitu
hebat kata - kata kakaknya hingga Vivi tidak dapat menahan air matanya. Di
akhir perbincangan itu, Vivi berterima kasih kepada sang kakak.
Bagi Vivi ini
adalah sebuah hutang yang harus dia tebus. Kebaikan
dan ketulusan sang kakak dan orang tua tercinta memotivasi perjalanannya. Dan dia pun memantapkan hati, melangkah dengan pasti bahwa dia akan
membuat mereka bangga. Mengukir prestasi, menjadi orang yang berguna dan
menjadi kebanggaan keluarga.
Janji itu terpatri dalam hati.
Posting Komentar