√Keberuntungan Kartini Cilik
Header catatantirta.com

Keberuntungan Kartini Cilik

Foto oleh Dine Egi Wulandari
Tanggal 21 April menjadi peringatan hari RA Kartini. Euforianya identik dengan penggunaan kebaya dan baju adat dari seluruh bumi Nusantara.

Biasanya yang paling heboh adalah anak bangsa golongan PAUD, TK, dan SMP. Bagi pelajar SMA kebiasaan ini sepertinya mulai tergeser. Hanya yang ikut lomba yang menggunakan pakaian adat Indonesia. Sisanya menjadi tim supporter jagoannya masing-masing. Namun banyak juga instansti pemerintah maupun swasta yang memberikan instruksi pada para anggotanya untuk berbusana adat. Meski bukan sebuah kewajiban, tetapi hampir seluruh anggota mengAminkan hal ini.

Saya jadi teringat ketika berseragam putih biru. Masa itu sekolah menghimbau agar para siswa dan siswi berbusana adat untuk memperingati hari Kartini. Semua langsung sibuk berburu kebaya beserta asesorisnya. Berhubung kami tinggal di Jawa Tengah, rata-rata mencari kebaya dan hampir seluruh jasa rias pengantin kehabisan stok kebaya.

"Siapa cepat, dia dapat"

Saya yang tidak punya cukup uang untuk menyewa sepasang kebaya dan sanggul mulai murung. Lalu ibu menyarankan untuk ke rumah nenek. Biasanya orang zaman dulu punya kebaya. Pakaian kebanggaan mereka pada masanya.

Namun, kekecewaan kembali menghampiri. Kebaya yang dimiliki nenek tidak ada yang cukup di badan saya. 

Sedih. Itu yang saya rasakan.

Melihat cucu kesayangannya bermuram durja, nenek pun mencoba membantu. Dia mendatangi beberapa temannya. Menanyakan adakah kebaya yang bisa dipinjam sesuai ukuran tubuh saya.
Rezeki cucu sholehah. Kira-kira seperti itulah kiasannya.

Keberuntungan menghampiri saya. Salah satu teman nenek ternyata punya kebaya yang pas untuk saya. Sebut saja mbah Sumi namanya. Bahagia rasanya mendapatkan apa yang dicari. Terlebih lagi kebaya itu dipinjamkan gratis oleh mbah Sumi. 

Kebahagiaan saya tidak berhenti sampai di situ. Anak dari mbah Sumi menawarkan diri untuk mendandani saya. Kebetulan beliau punya anak seusia dengan saya. Anaknya tersebut juga akan mengikuti perataan Kartini di sekolahnya. Betapa girangnya saya. Kebaya dan riasan saya peroleh tanpa membayar satu rupiah pun.

Hari yang dinanti pun tiba. Pagi sekali saya sudah datang ke rumah anak dari mbah Sumi. Dengan riasan wajah yang sederhana dan balutan kebaya cokelat muda membuat saya percaya diri. Saya siap berangkat ke sekolah dan mengikuti acara hari Kartini bersama teman-teman.

Namun ternyata ada satu asesoris yang terlewatkan. Kedua kaki saya terbungkus sandal yang lebih cocok dipakai untuk berpetualang ke gunung. Masa itu saya memang tidak sefeminim yang lain. Saya cenderung santai dan cuek. Tetapi sandal tersebut tetap saya pakai meskipun kurang serasi jika disandingkan dengan kebaya. Karena ke-cuek-an saya, jadilah rasa percaya diri tetap melekat. Ketimpangan atas dan bawah tidak menjadikan saya ragu mengikuti acara Kartini. Mendapat kebaya dan riasan gratis saja sudah sangat saya syukuri. Jadi, sepasang sandal gunung itu bukan alasan untuk berkecil hati.
Saya bergabung dengan teman-teman lain tanpa rasa malu. Semangat Kartini ikut menemani saya sebagai Kartini cilik yang beruntung.

Foto oleh Dine Egi Wulandari

Selamat Hari Kartini.
Terima kasih buat Egi yang sudah mengijinkan saya memakai gambarnya.

Posting Komentar

Terima kasih sudah main ke Catatan Tirta